Lucretia, Catia, dan Suami yang Kursi Rusak Itu

Terlepas dari 30 tahun penelitian yang saya lakukan tentang jiwa feminin, saya tak pernah mampu menjawab pertanyaan besar ‘apa yang Wanita inginkan?’

Sigmund Freud

1

Dibaca telanjang, cerpen “Batavia yang Tak Sesuai Rencana Lucretia” karangan Sasti Gotama menyajikan kepada kita kisah pelakor, istri dominan, dan suami-takut-istri di ruang dan pada almanak yang jauh: Batavia, 7 Juni 1898. Dibaca—meminjam ungkapan “Pidato Chairil Anwar 1943”—“sampai keputih tulang-belulang” kita mungkin menemukan gambaran muram relasi manusia yang tak terkurung ruang dan masa.

Organ-organ cerpen yang kasatmata terpasang dengan patut. Kita tak menemukan, misalnya, hidung yang tertempel pada kening, atau betis dan paha yang terbalik. Bahkan pakaiannya pun rapi. Bahwa kita menemukan ejaan Ommeladen yang muncul 2 kali menyalahi ejaan buku Bondan Kanumoyoso, Ommelanden (2023), maka anggaplah itu jam tangan mati yang tetap dipakai, ia tak merusak tata busana karena, katakanlah, mereknya mirip nama salah satu penulis yang karyanya konon Sasti gemari: Alexandre Christie.

Tangkapan layar cerpen Sasti Gotama, “Batavia yang Tak Sesuai Rencana Lucretia”, Kompas, 15 Januari 2023.

Ada 3 cerpen Kompas Minggu yang kita baca pada Januari 2023. “Ciu dan Durian Tembaga” (8 Januari) karangan Widjaya Harahap, “Batavia yang Tak Sesuai Rencana Lucretia” (15 Januari) karangan Sasti Gotama, dan “Perempuan Hujan” (29 Januari) karangan Indra Tranggono. Cerpen terakhir disodorkan dengan mode puitis dan sedikit bagian cerita di dalamnya mengingatkan kita pada cerpen lama Agus Noor “Mawar di Tiang Gantungan” (Kompas, 21 Desember 2008).

Sementara dua cerpen yang disebutkan lebih awal realis dan sama-sama menyodorkan di antaranya topik “perasaan” dan “relasi manusia”, tetapi tema keduanya berlainan. “Ciu dan Durian Tembaga” menyodorkan tema pria tua kesepian saat Hari Raya seperti yang mungkin pernah kita baca dalam beberapa cerpen Umar Kayam dengan latar situasi keagamaan berbeda plus lakuan ekstrem di akhir. Sementara “Batavia yang Tak Sesuai Rencana Lucretia” menyodorkan tema suami yang tertekan di rumah akibat istri yang terlalu dominan memutuskan selingkuh dan nasib buruk selingkuhannya di tangan istrinya saat perselingkuhan itu ketahuan.

Kita sebagai pembaca tidak pernah tahu “nasib buruk” itu persisnya seperti apa karena dengan keusilan yang menyenangkan Sasti hanya menyebarkan petunjuk samar tentang hal itu. Akan tetapi apa yang juga terutama menyenangkan dari cerpen ini adalah bagaimana ia dengan rapi dan tanpa tendensi penghakiman menyajikan kepada kita drama manusia yang berlangsung di Batavia tahun 1898 dan masih serta akan selalu terulang kini dan kelak dengan pemeran yang bisa siapa pun di panggung mana pun.

Drama itu diperankan oleh 3 pemeran utama yang sudah dikenalkan kepada kita sejak awal cerita: Lucretia van der Maas, Catia, dan Bastiaan van der Maas. Cerita berpusat pada sikap Lucretia saat mengetahui suaminya, Bastiaan van der Maas selingkuh dengan Catia, gadis pemasok sayur. Afair terbongkar akibat surat dari Catia untuk Bastiaan yang dialamatkan ke kantor malah dikirimkan ke rumah karena Bastiaan mengalami kecelakaan dan dirawat di Rumah Sakit Ratu Emma.

Lantas apa yang Lucretia lakukan?

Dia mengunjungi Bastiaan, mengatakan bahwa dia tahu afair Bastiaan, memotong-motong apel untuk Bastiaan dengan pisau buah yang dia bawa, kemudian mengatakan bahwa “dengan mudah aku, maksudku kita, akan menyingkirkannya.”

Hanya itu. Akan tetapi justru karena ceritanya hanya itu maka cerpen “Batavia yang Tak Sesuai Rencana Lucretia” menjadi cerpen padat dan utuh yang akan diapresiasi tinggi oleh kritikus Strukturalis. Selain itu, dari cerita yang tampak sederhana juga bisa disuling banyak hal yang mungkin memperdalam pengertian kita tentang salah satu pokok yang kata Chairil Anwar “berulang-ulang telah mengharukan si seniman”: asmara.

2

Asmara adalah salinan keriangan polos anak kecil yang merasa seisi dunia adalah taman bermain. Ia menyenangkan sekaligus menyimpan potensi kaos: bola sepak yang memecahkan kaca ruang tamu, lengan kursi yang patah akibat alih peran kuda lumping, kopi yang tumpah di atas taplak.

Oleh sebab itu Freud percaya, sebagaimana dia jelaskan dalam salah satu risalahnya yang paling kontroversial, Des Unbehagen in der Kultur, bahwa orang-orang yang merasa diri masinis gerbong peradaban pada setiap era selalu bersikap waspada dan curiga terhadap asmara. Untuk menekan potensi kaos, mereka menyusun, katakanlah, 10 perintah Tuhan tentang cinta. Pelanggaran terhadap poin-poin di dalamnya dihukumi dosa (agama), melanggar adat (masyarakat), bahkan melanggar hukum (negara). Tiga frasa dalam parentesis, menurut Psikoanalisis, adalah agen-agen peradaban.

Akan tetapi kita juga tahu bahwa tak semua anak kecil rela masuk ke dalam gerbong sempit yang sama. Selalu ada alasan bagi sebagian dari mereka untuk menyelinap ke luar dan bermain di taman: di sana kita temukan Bastiaan van der Maas dan Catia.

Dari sudut pandang para masinis, termasuk Lucretia van der Maas, Bastiaan van der Maas dan Catia adalah duo pendosa. Bastiaan adalah suami serong, Catia adalah pelakor. Akan tetapi 10 perintah Tuhan tentang cinta yang dipahat sepanjang dinding gerbong disusun dengan basis rasio dan karena itulah sejak zaman Adam sampai Virgoun kita menyaksikan selalu ada anak-anak kecil yang dengan beragam alasan berlompatan keluar gerbong.

Problemnya mudah dipahami tetapi bukan berarti gampang dipecahkan. Asmara adalah pemuja rasa, Id, Lustprinzip ‘insting bersenang-senang’, sementara pahatan pada gerbong disusun oleh para pemuja rasio. Karena basis asmara adalah Rasa maka sebab itulah ia memiliki potensi kaos yang tinggi. Solusi mengantisipasi kaos itu adalah Rasio, Ego, Realitätprinzip ‘insting realistis’. Argumen tersebut bisa kita pahami, tetapi siapa berani menjamin anak kecil mau menendang bola jauh dari kaca jendela jika dia merasa ruang tersedia baginya hanya “gudang pengap yang penuh asap”?

Karena alasan yang sama cerpen “Batavia yang Tak Sesuai Rencana Lucretia” tampak mengingatkan kita bahwa berhadapan dengan anak kecil itu kita harus berhati-hati menjatuhkan putusan. Satu klise umum dilakukan suami selingkuh yang manipulatif adalah menimpakan motivasi selingkuh pada kesalahan istri dengan menciptakan berbagai alasan. Akan tetapi sahihkah kita menggebyah-uyah bahwa semua suami yang selingkuh karena kesalahan istri adalah manipulatif dan dengan demikian selalu pendosa?

Lagipula Bastiaan tidak menimpakan kesalahan pada istrinya. Dia tidak manipulatif meski kita boleh curiga dia tidak demikian bukan karena dia tidak mau, tetapi lebih karena dia tidak mampu. Sejak awal dia hidup di bawah dominasi istri, posisinya berada di bawah dalam mata rantai kuasa institusi yang disakralkan peradaban untuk mengganti promiskuitas dan prostitusi: perkawinan. Akan tetapi membaca kisahnya kita cenderung sukar memutuskan Bastiaan sepenuhnya salah dan Lucretia sepenuhnya saleh.

Pada sikap Bastiaan kita melihat dominasi asmara, si pemuja rasa itu, sementara pada sikap Lucretia, bahkan sikap dia terhadap asmara, kita melihat sosok masinis, dan rasio. Simak alasan di balik afair Bastiaan:

Catia adalah teka-teki penuh letupan. Tak ada yang harus teratur. Setiap detik adalah kejutan. Catia tak pernah mengarahkannya untuk ini-itu. Matanya selalu berpijar setiap Bastiaan menceritakan rencana hidupnya. Catia membuatnya merasa ada. Catia adalah napasnya.

Teka-teki, letupan, ketidakteraturan, kejutan: empat frasa yang khas Rasa dan dibenci Rasio. Semua itu bagian dari biner yang bertentangan dengan bagian lain, yaitu Lucretia dalam pandangan Bastiaan, Lucretia yang menganggap “semua harus sesuai rencana Lucretia, seolah dunia tak akan berputar jika bukan karena campur tangan Lucretia.”

Kita bisa mengatakan bahwa sikap dominan Lucretia hadir karena dia terjebak pada posisi menimbang segala hal dalam hidup dengan rasio. Situasi itu bahkan sudah digambarkan dengan sangat bagus sejak pembuka cerpen:

Selasa pagi 7 Juni 1898, seharusnya menjadi hari yang biasa bagi Lucretia van der Maas. Ia berencana menyiram gladiol jingganya yang baru berbunga, menerima kiriman sayur segar dari Catia, dan memanggang roti kismis bagi Bastiaan van der Maas, suaminya. Hidupnya selalu tertata dan ia tak ingin menyesali setiap detiknya. Karena itu, ia selalu merencanakan semua yang ia anggap penting dan melaksanakannya tanpa cela, tak terkecuali untuk hari Selasa ini.

Hidup yang tertib, “selalu tertata”, selalu terencana. Rasio menolak kaos dan selalu menyodorkan rasionalisasi di balik segala sikap dengan rumus kausalitas yang lempang. Sikap dominan Lucretia membuat dirinya menempatkan diri sendiri sebagai pusat kehidupan yang tanpanya “dunia tak akan berputar”. Ironisnya, kita tahu bahwa justru karena itulah dia gagal menerapkan rumus kausalitas pada afair suaminya.

Sebab menerapkan rumus kausalitas terhadap kasus itu akan menggoncang status dirinya sebagai pusat, satu situasi yang dalam frekuensi kecilnya sudah dia rasakan sebagaimana digambarkan di awal cerpen ketika dia “menerima surat” yang membuat dia tahu afair suaminya dengan Catia. Frekuensi kecil itu merupakan peringatan kaos dan sekadar itu saja sudah cukup membuat dia “merasa semua rencananya tak lagi penting.”

Maka Lucretia lebih memilih rasionalisasi yang lebih aman, yaitu dengan menempatkan Catia sebagai “perempuan sekelas budak hitam legam, bahkan lebih hina dari pribumi” yang tak tahu diri mencuri miliknya.

Miliknya: Bastiaan van der Maas alias suaminya alias kursi rusak.

3

Setiap afair menyimpan pertanyaan seragam tentang misteri sebuah akhir. Kecuali dalam afair yang didasari transaksi, dan dari beberapa deskripsi sikap Catia dan Bastiaan van der Maas satu sama lain kita bisa menarik kesimpulan bahwa afair mereka tidak termasuk kategori afair tersebut, setiap pasangan afair pada dasarnya sadar kisah mereka cenderung sebuah tragedi. Karena alasan yang sama, afair semacam itu sama sekali tak bernilai untuk dijalani bagi Rasio.

Namun, kategorisasi Tragedi dan Komedi untuk berbagai fragmen hidup kita lahir di bawah sungkup peradaban, ia bagian dari pahatan 10 perintah Tuhan pada dinding gerbong. Menurut pahatan itu, tragedi hadir bukan untuk ditiru, melainkan untuk tidak ditiru, sekadar tontonan yang memberi makan sisi-sisi pendosa dalam diri kita supaya kemanusiaan kita disuling proses Katarsis. Maka tak heran jika Lucretia merasa heran dan terhina saat mengetahui Bastiaan van der Maas menjalin afair dengan Catia.

Terutama karena Catia dan bukan perempuan lain yang jadi pasangan afair suaminya. Kita boleh curiga seandainya Bastiaan van der Maas menjalin afair dengan perempuan yang dalam pandangan Lucretia memang lebih dari dia maka reaksi Lucretia akan lain, meski bukan berarti dia akan toleran pada afair tersebut. Akan tetapi sudut pandang Lucretia itu, sudut pandang istri korban afair—yang juga kerap diadopsi mentah-mentah oleh netizen tiap kali menilai sebuah kasus afair kontemporer yang dilempar ke pengadilan media sosial—adalah sudut pandang yang sejak awal mengandung bias.  

Bias itu terdapat pada fakta bahwa nilai “kualitas” dalam perbandingan antara entitas “korban afair” dan “pelakor” murni rasional, luaran, dan sudah dibantu berat timbangannya oleh “moral”. Karena bias yang sama kita kerap heran mengapa dalam banyak kasus afair pihak pria cenderung memilih pelakor yang secara timbangan rasional tampak kalah kualitasnya dalam berbagai aspek dibandingkan sang istri, kecenderungan kebangetan yang menyebabkan semakin ringannya timbangan martabat pelaku serong di mata penonton. Keheranan yang sama juga lazim muncul, dalam atmosfer lebih positif, ketika kita melihat pasangan yang dalam pandangan kita Beauty and the Beast.

Dalam bersikap demikian, kita lupa bahwa asmara dan afair, sekali lagi selain yang berbasis transaksi yang sudah jelas afair jenis terburuk, dari sudut pandang para pelakunya bukan berpedoman pada pahatan di dinding gerbong, ia berpedoman rasa, hati, sementara hati—mengutip Amir Hamzah dalam “Nyoman”—“berkitab sendiri, tiada sudi mendengarkan kitab lain”.

Lantas kita bertanya-tanya, berkitab apakah hati Lucretia?

Melalui lamunan Lucretia kita tahu pernah ada masa dia jatuh cinta pada Bastiaan van der Maas, yakni pada awal kisah mereka menjadi pasangan, ketika Lucretia sadar tetapi dengan senang hati terjerat oleh “kata-kata Bastiaan [yang] sarat tipu daya”. Karena cinta itulah dia rela pergi bersama Bastiaan ke Batavia, “kubangan penyakit” itu, dan membuang mimpi dia sebelumnya untuk menjadi penari balet.

Ada yang terasa khidmat dalam pengorbanan demi cinta semacam itu, tetapi sekaligus di situlah justru permasalahannya. Saat dihitung-hitung pada masa yang jauh terkemudian, pengorbanan itu menjadi banal karena setiap perhitungan mengandaikan peran rasio dan asmara yang jatuh pada hitungan untung rugi adalah asmara yang berubah menjadi transaksi.

Pada titik itulah kita menemukan Lucretia bermetamorfosis menjadi masinis gerbong peradaban yang tidak lagi menimbang asmara dengan rasa, melainkan dengan rasio. Lucretia yang menganggap bahwa tanpa dia “tentu Bastiaan akan mati kelaparan”, Lucretia yang rela berkorban “hanya makan pepaya, pisang, dan sayur-sayuran” supaya pinggangnya “tetap seramping ranting bugenvil” sesuai keinginan Bastiaan, Lucretia yang dengan dingin mendatangi Bastiaan dan mengabarkan dia tahu soal afair suaminya sambil menampilkan tubuh yang dia banggakan, satu kode yang menyiratkan anggapan dirinya sebagai lebih berkualitas dari Catia.

Maka kita duga pertama-tama motivasi Lucretia memutus afair itu adalah karena dia tidak rela wanita lain memiliki Bastiaan, miliknya, terlebih lagi wanita itu Catia. Ada sisi persaingan yang membuat harga diri Lucretia hancur seandainya Catia dibiarkan memiliki Bastiaan. Akan tetapi tepat pada titik ini muncul pertanyaan: apakah Lucretia benar-benar menginginkan Bastiaan?

Dalam “Über einen besonderen Typus der Objektwahl beim Manne” (1910) Sigmund Freud mengurai apa yang ada dalam pikiran manusia ketika memilih objek cinta. Salah satu tipe yang dia jelaskan adalah adanya aspek Eigentumsrechte ‘hak kepemilikan’ dalam pertimbangan pria tertentu ketika memilih objek cinta.

Secara sederhana konsep ini mengatakan bahwa bagi sebagian pria, perempuan yang tidak masuk radar ketika dalam kondisi jomblo akan menjadi objek cinta membara saat dia sudah menjadi “milik orang”. Diungkapkan lebih sederhana lagi konsep ini mengatakan bahwa bagi sebagian pria, binor lebih memikat daripada jomblo.

Kelak kita temukan juga jejak konsep ini dengan cakupan lebih luas dalam teori Hasrat Segitiga René Girard: kita menginginkan sesuatu bukan murni karena sesuatu itu sendiri melainkan karena sesuatu itu milik orang lain. Keberadaan cara kerja hasrat semacam ini juga menjadi basis cara kerja iklan, bahwa kita tertarik membeli produk bukan karena produk itu sendiri melainkan karena seleb tertentu mengiklankannya: seleb punya produk tersebut maka kita juga jadi ingin ikut-ikutan punya.

Tentu dari sudut pandang agama Islam ada divisi khusus setan di bawah komando Jenderal Dasim di balik lebih memikatnya binor, tetapi Psikoanalisis memiliki penjelasan sendiri bertolak dari pengamatan terhadap perkembangan mental. Selain itu, meski Sigmund Freud membatasi konsep tersebut pada pelaku pria, hal tersebut semata karena objek pengamatan dia cenderung pria bukan karena konsep tersebut tidak bisa digunakan untuk menimbang sikap pelaku perempuan. Keabsahan penggunaan konsep tersebut untuk mengintip perempuan, semisal Lucretia, juga tampak dari fenomena kontemporer menjamurnya pelakor, gadis-gadis muda yang alih-alih bercita-cita meniru Sri Mulyani justru malah bercita-cita menjadi piaraan sugar daddy, ataupun adanya perempuan-perempuan yang terang-terangan mengatakan bahwa dia gandrung pria beristri, misalnya terbaru Ayu Aulia.

Maka bahkan dalam motivasi Lucretia memutus afair Bastiaan dengan Catia kita tak melihat sosok istri yang merasa cintanya dikhianati, melainkan lebih sosok tuan rumah yang mendapati lengan kursi di rumahnya patah. Dengan kata lain, tampaknya apa yang Lucretia inginkan bukan Bastiaan sebagai sosok mandiri dengan segala kualitas inherennya, melainkan Bastiaan sebagai sosok yang Catia miliki.

Fenomena asmara Lucretia ini juga kira-kira analog dengan banyak fenomena masa kini. Misal, ada banyak kasus perempuan yang merasa diacuhkan pasangan atau calon pasangan kemudian mengetes reaksi si pria dengan menunjukkan bahwa ada banyak pria lain menginginkan dia. Tindakan semacam itu terlihat normal dan lazim, tetapi dari sudut pandang Psikoanalisis membawa konsekuensi yang sama-sama tidak sehat.

Jika si pria tetap cuek maka ada kemungkinan pria itu memang tidak menyimpan asmara pada si perempuan. Akan tetapi jika si pria bereaksi cemburu—dan biasanya ini yang diharapkan si perempuan tanpa memedulikan perasaan pria lain yang dia jadikan objek pemancing—maka ada kemungkinan si pria itu menginginkan perempuan tersebut bukan karena menurut dia perempuan tersebut berkualitas untuk dicintai, melainkan lebih karena persoalan harga diri.

Misal lain yang lebih ekstrem dan melibatkan psikologis yang lebih rumit adalah pria yang merasa bergairah terhadap istrinya hanya jika istrinya “pemanasan” dulu dengan dicumbu oleh pria lain. Gambaran yang sangat bagus untuk situasi semacam itu kita temukan, misalnya, dalam cerpen Laksmi Pamuntjak “Pembunuhan Pukul Delapan Malam” di antologi Kitab Kawin (2021).

Terakhir, menarik menimbang posisi Lucretia yang cenderung selalu menempatkan diri sebagai tolok ukur moralitas. Kita menemukan situasi yang menggambarkan hal tersebut dalam beberapa lakuan, salah satunya ketika Lucretia menunjukkan sikap khas kulit putih yang mengklaim diri sebagai pembawa peradaban, the white man’s burden, satu sikap yang biasa menjadi salah satu bahasan kritik sastra Pascakolonial:

Batavia memang kubangan penyakit. Seharusnya para pribumi itu bersyukur ketika Belanda datang ke bumi mereka dan membawa peradaban modern dan menyelamatkan mereka dari gempuran penyakit mematikan.

Atau bagian ini:

Baginya, Catia tetaplah kaum budak dan tak sejajar dengannya. Namun, sebagai penganut kasih Kristus, tentu ia harus berbelas kasih kepada kaum rendahan, dan sudah sepatutnya Catia bersyukur karena Lucretia sudi berbincang dengannya.

Atau bagian ketika Lucretia setuju Catia membawakan sekeranjang wortel segar pada hari Selasa, bukan sesuai keinginan awal Lucretia pada hari Minggu. Pada momen itu Lucretia menganggap sikap dia adalah sikap luhur, bahwa

Betapa murah hati dirinya. Karena dirinyalah, Catia dan keluarganya bisa makan.

Maka tampaknya apa yang juga mengganggu Lucretia terkait afair suaminya selain ihwal pasangan afair itu wanita yang derajatnya jauh di bawah klaim sepihak dia tentang derajat dirinya adalah ihwal suaminya sebagai sesama kelas luhur kulit putih dari sudut pandang dia ternyata memiliki cacat moral. Meski dua ihwal tersebut dia putuskan secara absolut dan arbitrer, tetapi apa yang dia lakukan bukan membuang si cacat moral itu, melainkan tindakan khas seseorang yang merasa mengemban kewajiban membenahi moralitas manusia-manusia lain di muka bumi. Karena alasan yang sama kita bisa memahami mengapa Lucretia tidak mengajukan gugatan cerai—selain kemungkinan alasan lain terkait agama yang dia anut—dan kita boleh yakin seandainya sudah ada media sosial di Batavia tahun 1898 maka Lucretia tidak akan berkoar-koar membocorkan nama Catia sebagai pelakor dalam unggahan Instagram atau Twitter.

Dalam sikap semacam itu kita mungkin menemukan keagungan yang bukan hanya mengingatkan kita pada Kristus yang mengunjungi lokalisasi untuk mengobati moral gerempang, melainkan juga pada karakter suami yang mendapati istrinya selingkuh lalu memilih mempertahankan istrinya dalam alasan yang dia ocehkan berpanjang-panjang tanpa jeda sambil terus menyetubuhi sang istri dalam novela Sah (1977) karangan Putu Wijaya.

Teks klasik meyakinkan kita bahwa sikap Kristus dituntun oleh kasih seorang dokter yang melihat pendosa sebagai pasien. Akan tetapi kita boleh berdebat bahwa alih-alih analog dengan itu, sikap Lucretia-korban-afair dalam cerpen Sasti Gotama dan suami-korban-afair dalam novela Putu Wijaya lebih mirip sikap seorang tuan rumah yang gagal lolos inaugurasi fase anal dalam perkembangan mental Freudian.

Tuan rumah semacam itu punya kepercayaan penuh bahwa semua perabot yang dia pajang adalah perabot sempurna sehingga ketika mendapati diri berada dalam situasi kaos lengan kursi patah akibat anak kecil yang lebih suka main kuda lumping daripada duduk tertib seperti ilaharnya dalam gerbong, dia langsung melakukan rasionalisasi untuk mengangkat kembali harga diri yang goyah: bahwa dia adalah masinis yang ketika menemukan kursi rusak maka yang harus dilakukan bukan membuangnya, satu hal yang bagi dia merupakan tanda ketiadaan tanggung jawab, melainkan memperbaikinya.

Menarik untuk dicatat dalam cerpen digambarkan bahwa Lucretia mendapatkan ajaran tersebut dari ayahnya. Dalam Psikoanalisis, ayah dipercaya sebagai sumber hukum, penanda tapal batas hidup riang individu masa kecil dengan hidup represif sosial dalam peradaban manusia dewasa.

Yang tampaknya Lucretia—sebagaimana juga sering kali kita—lupakan adalah sepanjang kursi itu tetap ditaruh di “gudang pengap yang penuh asap” maka diperbaiki seperti apa pun sangat besar kemungkinan ia akan selalu kembali rusak. Salam.

Mei, 2023.

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer

Sliding Sidebar

Tentang Penulis

Tentang Penulis

Cep Subhan KM. Lahir di Ciamis tanggal 6 Juni. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi bersama Ludah Surga (2006) dan Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (2007), sementara beberapa puisinya diikutkan dalam antologi penyair muda Ciamis Kota Menjadi Kata (2017). Sudah menerbitkan novel Serat Marionet (2011) dan dwilogi Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021), dan satu buku puisi, Hari Tanpa Nama (2018). Satu novelnya yang lain, Kosokbali (2021), bisa dibaca di portal Kwikku. Esai-esainya tersebar dalam Jurnal Sajak, Jurnaba.co, dan beberapa media daring lain. Esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 dan Juara 2 Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023.