DUA anak muda tinggal di alam terbuka, yang satu banyak bicara sementara yang lainnya berwajah murung dan tampak bukan pribadi yang terbuka. Bosan memakan kacang merah mereka menembak rusa, suatu kali—dan kemudian berkali-kali—bercinta, suatu kali berbicara tentang dosa.
Akan tetapi apakah sebenarnya dosa? Apakah dosa adalah mereka berdua yang kedinginan dan kemudian menghilangkannya dengan bercinta dan membiarkan domba-domba tak terjaga? Siapakah sebenarnya yang berdosa antara Autolycus yang mencuri domba Sisyphus atau Sisyphus yang memerkosa anak Autolycus?
Ennis Del Mar dan Jack Twist datang dari keluarga kristiani meski dalam sebuah guyonan Jack mengatakan dia tak mengerti arti Pantekosta, hari raya 50 hari sesudah Paskah untuk memperingati turunnya Roh Kudus. Keduanya tak pernah diceritakan pergi ke gereja kecuali dalam satu adegan pernikahan Ennis dengan Alma, tapi Ennis menolak disebut pendosa.
“Brokeback Mountain” (cerpen, 1997; film, 2005; terjemahan Indonesia Gramedia Pustaka Utama, 2006) karya Annie Proulx memang bukan cerita tentang pemuda kota yang merasa menjadi pihak yang paling cinta alam hanya karena mereka memilih mendaki gunung dan mendirikan tenda di alam bebas sekali dalam sebulan. Kedua pemuda itu, jika mereka punya pilihan, akan memilih tak tinggal di sana: mereka harus bekerja, mereka harus menjaga—dan menggembala—domba yang sudah ditandai, seperti Sisyphus yang harus menjaga dombanya dari Autolycus.
Penggembala. Domba. Ada yang akrab antara dua hal itu dengan gambaran umum Kristiani mengenai Yesus dengan umatnya. Domba-domba yang patuh digiring, sang penggembala yang bebas sebab dia memiliki hak istimewa dari Tuhan: Joe Aguirre.
Dan kita tahu Yesus tak menikah, kisah sebaliknya hanya kita dapatkan dari novel Dan Brown dan beberapa buku yang laris setelahnya, sebagian hanya picisan yang numpang ketenaran, sebagian lagi hanyalah karya yang muncul dari anggapan bahwa novel itu terlalu “nyata” sampai membutuhkan semacam bantahan.
Peristiwa lahirnya Yesus yang tanpa melalui campur tangan bapak secara antropologis dikenal sebagai tonggak sistem matrilineal, sistem yang kemudian berubah dan dikukuhkan menjadi patrilineal setelah kedatangan Muhammad yang lahir di tengah masyarakat gurun pasir yang memuja falus. Matrilineal-patrilineal, perempuan-laki-laki: oposisi biner yang tampak sesuai dengan doktrin kitab suci bahwa Tuhan menciptakan 2 jenis makhluk: laki-laki dan perempuan, Adam dan—sebagaimana dipatenkan oleh Bibel dan terkemudian para penafsir Alquran aliran maskulin: kemudian—Hawa.
Akan tetapi benarkah memang sesuai? “Brokeback Mountain” tak menggugat hal itu tetapi menunjukkan satu kenyataan bahwa alam—hawa dingin, ketiadaan pasangan beda kelamin—bisa menciptakan “saling mengenal” yang bukan antara 2 oposisi tapi juga antara dua laki-laki.
“Aku bukan homo,” begitu Ennis dan Jack awalnya berkata. Kita lantas teringat Freud yang mengatakan bahwa pada kita semua terlahir dengan kecenderungan biseksual. Maka dalam klasifikasi inversi yang Freud berikan, kita bisa mengategorikan keduanya, pada awalnya, sebagai tipe inversi temporer yang dipantik oleh sikon.
Maka kita kemudian menyaksikan Ennis menikah dengan Alma, menikmati bercinta dengannya, memiliki dua anak yang kemudian dijadikan alasan oleh sang istri untuk pindah ke kota: jangan sampai mereka dibesarkan sama dengan sang bapak, dalam sunyi.
Kita juga menyaksikan Jack menikah dengan Laureen, gadis lincah putri orang kaya, latar belakang yang mungkin menyebabkan pernikahan keduanya tak benar-benar harmonis: sang mertua tampaknya tak sepenuhnya rela anaknya menikah dengan seorang rodeo. Atau bisa jadi juga karena mereka menyalahi hukum Schopenhauer terkait pasangan: Jack si periang + Laureen si periang bukan pasangan tepat sebagaimana juga Ennis si pemurung + Alma si pemurung.
“Aku terjebak dalam kehidupanku,” demikian Ennis mengeluh dalam pertemuan pertama dengan Jack setelah 4 tahun perpisahan, setelah bercinta. Jebakan: pekerjaan untuk menghidupi istri, yang tentu saja juga bisa bermakna lain, yakni jebakan dari oposisi kelamin, perempuan. Pada titik ini kita menemukan keduanya berubah dari inversi temporer menjadi inversi absolut, meski kita sadar Freud sedikit meleset karena keduanya tetap bisa bercinta dengan lawan jenis hanya saja tidak menikmatinya.
Namun “Brokeback Mountain” tidak menyuarakan hak untuk inversi itu sebagai sebuah teriakan. Sebagaimana Ennis dan Jack selalu bercinta tanpa kata lantas mengisap rokok, “Brokeback Mountain” adalah sebuah desisan, kelun asap rokok yang hilang tak lama setelah dihembuskan. Ennis adalah wujud kegamangan, dia percaya dirinya yang laki-laki dan Jack yang juga laki-laki adalah satu pasangan, tetapi dia juga percaya bahwa dua orang laki-laki tak mungkin hidup bersama. Itu tak normal, pikirnya.
Orang pertama yang memperkenalkan arti konsep itu padanya adalah sang ayah, saat dia berusia 9 tahun, dengan memaksa dia mengetahui bahwa hukuman masyarakat atas ketaknormalan (yang dikerucutkan dalam “dua orang laki-laki yang hidup bersama”) adalah mayat yang tak jelas bentuknya di tengah parit. Kegamangan Ennis adalah kegamangan yang tak sepenuhnya mengakui kenyataan bahwa apa yang diciptakan alam akan kembali ke alam: alam yang memaksa mereka berdua bercinta, alam yang mengubah pandangan mereka tentang apa yang alami.
Dengan kata lain, Ennis tetap ingin hidup normal sesuai garis yang dititahkan peradaban: hidup yang terpisah dari alam tapi bersatu dengan Alma. Akan tetapi apa sebenarnya normal jika istrinya hanya dapat menangis memandang kepergian suaminya dari balik jendela, suami yang bisa bercinta dengannya tapi juga bisa tergesa pergi, bergairah untuk bercinta dengan seorang pria, kawan lama?
Setelah tragedi di dapur istrinya, Ennis kemudian yakin apa yang menurutnya normal tak sama dengan apa yang dipahami orang lain. Apa yang disebut Jack Twist sebagai “kehidupan yang menyedihkan”, itulah yang sebenarnya normal. Saat itulah dia menyadari ada sesuatu yang retak antara mereka berdua, retak yang ia coba tutupi kembali dengan berdansa dengan Cassie, meski kemudian hanya sampai di situ: kau orang yang tak bisa dimengerti, demikian Cassie bilang.
“Mungkin aku bukan orang yang menyenangkan, ya?” Demikian Ennis menjawab dengan murung. Selalu ada yang tak menyenangkan memang pada sosok yang tak berani menentukan di mana sebenarnya ia berdiri, seperti orang yang menjengkelkan yang selalu ingin cari aman, tak berani mengambil risiko, sebagaimana selalu ada yang heroik pada orang yang berani menunjukkan sikap seperti Jack Twist.
Namun dunia modern adalah dunia yang memiliki bajingannya sendiri: mereka yang tak punya tanggungan, mereka yang bebas seperti Jack Twist yang “sudah lupa rasanya tak punya uang”. Memang dunia modern adalah dunia tempat kasur dan selimut hangat tersedia, tetapi kehidupan sudah meluas dari hanya sekadar suku ke dalam Negara yang tangannya menggurita sampai ke dalam keluarga: Ennis harus membiayai anaknya, ia terhimpit, ia harus bekerja.
Maka kita mendengar suara Ennis lebih sebagai suara gamang orang yang tercekik. Ia tak mampu melepaskan diri dari tangan yang mencekiknya, tetapi ia hidup, berbeda dengan Jack Twist yang garang, yang memilih tetap “tersesat” setelah dirinya retak dengan Ennis, seorang bajingan yang kemudian mati tragis.
Kita lantas sadar bahwa yang tragis itu sejak awal tercipta dari keheningan dan “Brokeback Mountain” mungkin hanya desisan yang mencoba sedikit meramaikan keheningan itu: sebagai cerpen ataupun film, ia meraih sederet nominasi dan penghargaan. Melalui kisah yang dia anggit, Annie Proulx tampaknya mencoba menyadarkan kita bahwa langit tak selamanya cerah seperti di lanskap awal “Brokeback Mountain”, ia bisa berubah menjadi abu-abu, menawarkan gelap yang menurunkan hujan dan mencampurbaurkan domba-domba sekaligus menawarkan kehangatan dari sumber yang dipandang oleh peradaban—yakni agama, adat, hukum—sebagai takbiasa.
Campurbaur, kebingungan: tidakkah manusia memang seperti itu? Kepastian akan segala hal, keyakinan bahwa kebenaran adalah apa yang kita ketahui, Brokeback Mountain menolak hal seperti itu, sebab sebagaimana dikatakan oleh narator di akhir cerita pendek yang panjang itu: “ada jarak terbentang antara apa yang dia ketahui dan apa yang berusaha dipercayainya, tetapi tak ada yang bisa dia lakukan terhadap hal itu, dan kalau kau tidak memperbaikinya maka kau harus bisa menghadapinya.”