Bahasa puisi adalah bahasa paradoks.
Cleanth Brooks, The Well Wrought Urn
1
ANTOLOGI puisi M. Aan Mansyur Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau (Gramedia Pustaka Utama, 2020) adalah buku yang merupakan karya seni baik dari segi konten maupun fisik. Dicetak ukuran 12,5×18,5 sentimeter dengan konten 98 pagina, orang tak akan keliru mengira antologi ini buku kuliah ataupun hagiografi. Kover berlidah yang membentuk tampilan artistik ornamen bagian depan dan belakang buku, konten bagian dalam yang memainkan tata visual kombinasi blok hitam dan putih dilengkapi ilustrasi Lala Bohang yang sebagian menampilkan sapuan warna biru tua sama-sama berpotensi membuat pembaca bukan hanya menikmati teks tetapi juga tampilan visual.
Ada sebuah ungkapan menarik dari Orhan Pamuk: “jika seorang novelis bisa menyelesaikan sebuah buku tanpa memimpikan kovernya, maka dia orang bijak, memiliki pengetahuan luas, dan sepenuhnya dewasa, tetapi dia juga kehilangan kepolosan yang pertama-tama menjadikan dia sebagai seorang novelis.” Pamuk memang berbicara tentang novelis, tetapi sah-sah saja jika kita menerapkan hal sama kepada penyair. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa “kita tak bisa mengingat buku-buku yang paling kita cintai tanpa sekaligus mengingat kover-kovernya.”
Lantas kita bisa membalik premis tersebut, yakni ketika kita tidak bisa mengingat kover sebuah buku maka kecintaan kita terhadap buku tersebut layak dipertanyakan. Dengan premis tersebut maka kita bisa mengatakan bahwa Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau sejak awal lolos saringan ini: berkat tampilan fisiknya, ia berpotensi menjadi buku yang dicintai para pembaca bahkan sebelum mereka masuk ke dalam teks.
Bagi para pembaca yang mengikuti buku-buku puisi M. Aan Mansyur, menemukan tampilan estetis Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau tentu tak akan membuat mereka terkejut. Beberapa buku puisinya yang terbit lebih dahulu juga memiliki tampilan sama estetisnya: Cinta yang Marah (edisi Gramedia Pustaka Utama 2017), Melihat Api Bekerja, ataupun Tidak Ada New York Hari Ini.
Kesadaran akan aspek estetis visual semacam ini—dalam artian buku puisi diterbitkan bukan sekadar asal lempar teks dengan tata letak sangat biasa dan kover muram dengan dalih arogan tanpa dasar bahwa teks saja sudah cukup magis membuat para pembaca mencintai bukunya sementara tambahan ornamen luar teks adalah penghinaan terhadap puisi—merupakan sikap kekinian yang wajar, untuk tak mengatakan harus. Pada masa ketika buku elektronik mulai melakukan agresi menggeser buku cetak sehingga apa yang ditampilkan dalam Fahrenheit 451 mungkin tinggal menunggu waktu, salah satu langkah teknis paling efektif untuk mempertahankan kelestarian buku cetak adalah memperbagus fisik dan tampilan visual buku. Tak ada cela dalam memandang pembaca sastra sebagai konsumen, karya sastra sebagai produk, dan sastrawan sebagai produsen: kritik sastra Marxis sudah melihat jejaring relasi semacam itu sejak lebih dari delapan dekade lalu.
Selain itu, era Pascamodernisme dalam kesusastraan Anglofon sudah berlalu, meski dalam kesusastraan kita masih kita jalani terseok-seok dan terkadang dengan bangga seolah kita berada di baris terdepan kesusastraan dunia. Memudarnya batas-batas antar jenis karya seni yang merupakan salah satu konsekuensi pascamodernisme—kita misalnya tahun 1995, menjelang era berakhirnya pascamodernisme kesusastraan Inggris, menemukan penerbitan anumerta karya Anthony Burgess (1917-1993) berjudul Byrne yang diberi embel-embel “sebuah novel” pada kovernya tetapi di dalamnya kita temukan puisi naratif dengan rima-rima ketat sepanjang 150 pagina—memungkinkan kombinasi antara puisi dan seni lukis sebagai perkawinan biasa, bukan sebagai pertanda inferioritas puisi seperti yang terkadang digaungkan oleh sebagian penghuni bumi salah zaman. Sejak dahulu puisi memiliki kecenderungan elit dengan penikmat terbatas sehingga memperkuat keelitan itu dengan membuatnya semakin terasing dari pembaca bukan merupakan tindakan waras. Jika puisi mampu lebih menjangkau pembaca disebabkan perkawinannya dengan seni lukis dan desain buku, maka penyair yang sadar zaman pasti siap menjadi wali ataupun saksi perkawinan itu.
Pada akhirnya, kita tahu bahwa hanya penyair yang sadar zaman dan tidak melap-lap nisan yang akan bisa bertahan sebagai penyair, kecuali kalau dengan istilah penyair kita memaksudkan orang yang menulis puisi untuk para arwah dan membacakannya untuk batu dan deret pohon kemboja.
2
Ungkapan pembuka Anna Karenina yang sangat populer mengatakan bahwa “keluarga bahagia itu di mana-mana sama saja, keluarga tak bahagia itu tak bahagia dengan caranya sendiri-sendiri.” Ada aroma pesimisme dalam ungkapan itu: ada lebih banyak jalan menuju ketakbahagiaan daripada menuju kebahagiaan. Dalam Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau, kita bisa melihat M. Aan Mansyur datang dengan premis lain bahwa baik ketidakbahagiaan maupun kebahagiaan itu sama-sama “unik”, sama-sama tak seragam.
Sejak bagian persembahan buku ini yang ditujukan untuk keluarga, untuk Anna & anak-anak kami, kita cenderung diarahkan pada cakrawala ekspektasi menemukan puisi-puisi tentang keluarga. Masuk ke dalam daftar isi, cakrawala tersebut makin tampak jelas. Antologi puisi dibagi menjadi lima bagian dan kita mendapati keseluruhan bagian sebagai penanda relasi keluarga dengan anasir lain baik itu dengan aku-lirik sebagai individu di Bagian II ataupun dengan komunitas yang semakin ke belakang semakin besar: masyarakat di Bagian III, negara di Bagian IV.
Pada Bagian I kita menemukan pembukaan berupa puisi-puisi puitika, tipe puisi yang lazim ditulis oleh penyair yang sudah memiliki konsepsi khas tentang puisi. Jenis puisi yang sama bisa ditemukan juga di Bagian V sebagai bagian terakhir meski sudah tercampuri kepekatan pengalaman pasca-jelajah tiga jenis relasi pada bagian-bagian sebelumnya. Epigraf pada pembuka Bagian I, kutipan dari Adrienne Rich, for now, poetry has the capacity—in its own ways and by its own means—to remind us of something we are forbidden to see (saat ini, puisi memiliki kapasitas—dengan cara dan perangkat-perangkatnya sendiri—untuk mengingatkan kita tentang sesuatu yang tak boleh kita lihat) mengingatkan pada fungsi karya seni dalam pandangan Psikoanalisis klasik.
Ungkapan tersebut menunjukkan posisi puisi sebagai medium komunikasi, untuk “mengingatkan”, tetapi puisi berbeda dengan media komunikasi lain yang berupaya memberikan pesan secara linear semaksimal mungkin dengan mereduksi kemungkinan kesalahpahaman seminimal mungkin. Puisi berkomunikasi secara paradoksal, menyampaikan tetapi pada saat yang sama menyembunyikan. Mengutip epigraf lain untuk keseluruhan buku ini dari Mary Ruefle: it is not what a poem says with its mouth, it’s what a poem does with its eyes, sajak menyampaikan pesan tidak secara literal sebagaimana manusia berkomunikasi menggunakan “mulut”, ia menggunakan mode komunikasi yang lebih sublim, yakni menggunakan “pandangan mata.”
Maka kita temukan puisi-puisi dalam antologi ini sebagai bukan puisi telanjang yang berpayah-payah mereduksi kebebasan tafsir pembaca sekaligus memosisikan diri sebagai rezim kebenaran, meski pada saat yang sama kita menyadari bahwa “dengan cara dan perangkat-perangkatnya sendiri” puisi-puisi tersebut mencoba menyampaikan “pesan”. Mode komunikasi unik itu mengandaikan bahwa pesan terkait bisa saja merupakan sesuatu yang “terlarang”, sehingga puisi-puisi itu sendiri tidak berpretensi menjadi pendukung status quo yang untuk legitimasinya kerap menggunakan istilah peradaban.
Freud meyakini bahwa “pada hakikatnya setiap individu merupakan musuh peradaban” yang melalui berbagai institusinya memaksakan aturan-aturan: kultur, hukum, agama, dan masyarakat. Kreativitas seni, termasuk penciptaan puisi, merupakan sesuatu yang diakui keabsahannya oleh peradaban—dalam banyak kasus bahkan menjadi agennya—tetapi pada saat yang sama mampu menampung aspek-aspek pada individu yang tidak bersepakat dengan peradaban. Karena itulah sang penyair
meyakini yang lain (puisi tempat belajar percaya karena puisi tidak pernah meminta percaya) meragukan (di luar puisi semua perkara memaksamu meyakini sesuatu. meragukan adalah melawan adalah menghidupkan hidup) "Cara Lain Membaca Sajak Cinta" (hal. 12)
Namun, seperti apakah sebenarnya “menghidupkan hidup”? Puisi “Setiap Pagi” memberikan contoh orang-orang masa kini yang mencoba keluar dari “mimpi buruk” menuju hidup dengan berbagai cara yang lebih mengingatkan kita pada mekanisme defensi: salah satu fungsi ego untuk mempertahankan diri. Mekanisme defensi, sayangnya, tidak selalu menghasilkan keseimbangan psikis, tipe yang tidak matang akan membawa pada neurosis, sementara tipe arkais justru akan membawa pada psikosis yang salah satu gejalanya kesukaran membedakan realitas dan imajinasi.
Karena itulah hidup yang hidup tampaknya justru sesuatu yang lebih sederhana, privat, dan natural, yakni sekadar
...menemukan alasan untuk tertawa & pohon-pohon senantiasa merentangkan tangan untuk burung-burung "Setiap Pagi" (hal. 17)
Tertawa: simbol kebahagiaan. Salah satu cara memancing tawa yang merupakan salah satu mekanisme defensi, humor, merupakan mekanisme defensi yang matang. Sementara itu pohon-pohon dan burung merupakan simbol natur, sesuatu yang tak dibuat-buat, sesuatu yang tak memuat kepura-puraan kultur. Tepat pada titik itulah peradaban berseberangan dengan individu. Apa yang “memutuskan tujuan hidup adalah semata prinsip kenikmatan,” suatu kesadaran bahwa “aku pemilik tubuhku sendiri. aku pemeluk/ketidakyakinanku sendiri.” Akan tetapi pada saat yang sama manusia menyadari ketidakmungkinan pergi sepenuhnya dari peradaban yang menyodorkan prinsip realitas, “sesuatu yang dipaksakan untuk diyakini” yang kemudian—dalam istilah Freud—“membatasi kemungkinan-kemungkinan kebahagiaan.” Maka pada akhirnya manusia pun menyadari bahwa ia sendiri merupakan paradoks, “aku sendiri & aku tidak sendiri.” Cara yang dilakukan untuk kompromi adalah bagaimana si “aku mencoba mencintai/diriku sedikit lebih banyak.”
Paksaan prinsip realitas yang tak indah tergambar dengan cara indah dalam baris-baris “Tuhan di Kedai Kopi” sebagai “kenyataan berhamburan/dari pikiran yang lebam & belum berhenti/mencari.” Pikiran lebam mengandaikan sebuah pikiran yang sakit sebagaimana fisik habis dihantam sehingga juga mengandaikan adanya kuasa yang melakukan pemaksaan terhadap pikiran. Jika realitas hadir dari pikiran semacam itu maka realitas tersebut jelas bukan sesuatu yang menyenangkan, sebagaimana diperkuat dengan fakta bahwa pikiran masih terus mencari.
Sesuatu yang dicari oleh pikiran adalah sesuatu yang sebaliknya, sesuatu yang selaras dengan prinsip kenikmatan. Kita mendapati kejelasan tentang hal itu pada perbandingan kota riil dengan kota imajinatif dalam puisi “Makan Malam di Restoran Baru Tidak Jauh dari Pantai Losari”. Jika kota riil/sekarang/prinsip realitas adalah kota yang tulang-tulangnya merupakan “perampasan & kepatuhan”, maka kota imajinatif/dulu/prinsip kenikmatan adalah “kota yang diterangi cinta & kecemasan sehari-hari.” Kebahagiaan, tampaknya, bukanlah momen ketika dengan campur tangan sesuatu di luar dirinya manusia bebas dari kecemasan, melainkan momen ketika manusia bebas memutuskan sendiri untuk mencintai sekaligus untuk cemas: dua simbol rasa, emosi. Pada saat pikiran manusia lebam dihantam kuasa dari luar diri maka rasa menjadi simbol independensi manusia.
Kita juga mendapati kontras senada tiap kali kita mendapati “ibu”, simbol memori masa lampau. Di tangan aku-lirik, memori itu bukan sesuatu yang sia-sia. Jika ada represi terhadap memori itu maka represi tersebut bukan berasal dari dalam diri, melainkan dari luar. Ia misalnya mempraktikkan “Pelajaran Menulis Puisi dari Ibuku” dan mencampurkannya dengan bahan dari istri dan anak yang merupakan simbol sekarang. Maka kita temukan kemudian baris-baris yang berbisik tentang sesuatu pernah ada tetapi kini hilang, semisal hutan yang
...terlampau jauh di masa lampau & orang-orang masih sibuk membakarnya. "Kesedihan" (hal. 24)
Sosok ibu merupakan arketipe dari satu masa yang jauh yang memuat konten tabu inses, aturan yang dalam jangka waktu lama mampu mempertahankan keseimbangan relasi manusia dengan alam. Hutan tumbuh rimbun di masa lampau karena manusia memperlakukan tanah secara antropomorfis sebagai ibu: sosok yang tak boleh dijamah, sosok yang harus dihormati. Warisan masa lampau yang hilang dikikis oleh kolaborasi antara doktrin agama yang setengah hati dengan rasionalitas hukum di tangan minoritas yang berkuasa membawa pada kondisi dunia masa sekarang yang ditandai perubahan iklim ekstrem: ia tak lagi dihormati, ia “dibakar.”
3
Di dalam Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau ada banyak tanya tanpa jawab dan ada banyak jawab tanpa tanya. Jika puisi adalah pertanyaan maka ia tidak menyediakan jawabannya sendiri karena jawaban yang ia suguhkan diperuntukkan pertanyaan lain yang—kita bayangkan—juga ia ajukan. Dengan kata lain, berhadapan dengan puisi, bagi manusia, sama dengan berhadapan dengan cinta: mereka “masih mencari maknanya”.
Maka puisi hadir membawakan mungkin, bukan pasti, bahkan meski dalam puisi-puisi Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau kita temukan kelisanan yang kuat. Kita ingat Plato dan pendapatnya bahwa lisan menyaran pada dialog dan menguatkan daya ingat, sebaliknya tulisan meski mungkin mengabadikan kata-kata tetapi ia justru membuat manusia malas dan daya ingatnya menurun. Akan tetapi satu poin yang menjadi prasyarat kebenaran pendapat Plato itu adalah lisan hadir dalam bentuk dialog, bukan monolog. Ketika tanya hadir tanpa jawab dan jawab hadir tanpa tanya, tidakkah itu menunjukkan kemungkinan ada yang luput dalam memori kita?
Mungkin karena itu pula dalam Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau kadang-kadang kita temukan baris-baris yang dibangun oleh teknik larik sambung dengan patahan akhir larik yang terasa gagap, seolah kepala sang aku-lirik terlalu penuh dan pilihan kata yang berebutan akibat represi panjang membuat ujaran terhenti di tengah-tengah. Ragu, tetapi keraguan yang berganti yakin seiring tanda titik, lantas kembali menjadi ragu pada baris-baris lanjutan dalam gerak sirkular yang sekaligus mengandaikan gerak silih bergantinya kebahagiaan dengan ketidakbahagiaan hidup.
Dalam “Makassar adalah Jawaban. Tetapi, Apa Pertanyaannya?” kita menemukan potret aku-lirik yang mencoba mengidentifikasi identitas kota dengan menengok masa lalu, masa kini, dan rancangan masa depan yang populer. Dalam relasinya dengan aku lirik, kota itu sendiri memuat paradoks sebagaimana epigraf Bagian III yang dikutip dari Rebecca Solnit: I have been both a ghost and haunted in the city I love (Aku merupakan hantu sekaligus yang dihantui dalam kota yang aku cintai).
Di dalam puisi panjang ini, masa lalu dan masa kini sebuah kota dikontraskan, antara sebuah kota yang telah hilang dan hanya ada dalam imajinasi dengan kota yang riuh diserbu modernisasi. Maka kita temukan sebuah kota yang berharap menjadi “tempat/bersandar kapal-kapal dari seluruh/penjuru dunia” (imajinatif/lampau) tetapi ternyata berakhir sebagai sebuah kota “hujan. hujan. hujan. Banjir.” (realitas/kini). Sebuah kota tempat “tidak ada lagi biduk./tidak ada lagi pantai” melainkan hanya ada “layar milik bioskop/jaringan XXI yang terkembang di mall-mall.”
Modernisasi sebuah kota lahir dari kekaguman terhadap ibukota, sebuah harapan untuk mengibukota. Akan tetapi “harapan selalu membawa Makassar ke tempat/yang salah.” Bukan hal sukar untuk melihat apa yang salah: kota itu melupakan identitasnya sendiri, sebuah kota yang semboyannya hanya berlaku dalam imajinasi dan tak mampu mengingat lirik lagu yang lahir di tanah dan lautnya. Pada titik itu, kota tersebut undur diri ke dalam pikiran dan menjadi “kebohongan saat diucapkan,” kebohongan yang meski diucapkan “menggunakan bahasa ibu” tidak lantas menjadi kebenaran.
Maka dalam kota semacam itu aku-lirik pun menjelma “hantu”: sesuatu yang tak akrab dengan kota riil tersebut karena ia tinggal di dunia lain, dunia yang tak kasat mata, dunia imajinatif, dunia memori. Akan tetapi pada saat yang sama ia pun “dihantui”: potret-potret kota itu memenuhi pikirannya seperti gambar-gambar sebuah film muram yang masih tertancap dalam memori bahkan setelah film tersebut tuntas diputar. Mungkin karena itu maka menjelang akhir puisi si aku lirik mengajukan tanya: “Makassar adalah hal-hal yang sudah selesai/atau Makassar adalah hal-hal yang belum dikerjakan?”
Jawaban untuk pertanyaan itu menentukan masa depan sebuah kota dan kita tahu ada secercah optimisme di dalamnya, sekaligus kecemasan.
4
Pertentangan antara individu dan peradaban—melalui perangkatnya: negara—menjadi tema besar Bagian IV. Negara dipandang sebagai ikut campur, dalam pengertian negatif, bukan hanya dalam relasi antara manusia dengan hutan (natur), melainkan juga ke dalam kehidupan harian individu (kultur).
tubuh kita sudah terbagi-bagi; separuh milik negara, separuh milik bank. sisanya milik tidur yang sendiri & hampa. "Tubuh di Tempat Kerja" (hal. 73)
Dalam situasi semacam itu, tubuh individu hanya menjadi miliknya dalam tidur: momen ketika ketaksadaran lebih bebas melewati ambang kesadaran. Tolok ukur bahagia yang ditawarkan kesadaran yang ditanamkan dari luar individu adalah kepatuhan mutlak dan uang. Dalam situasi semacam itu, kebahagiaan hanya kepura-puraan karena represi terlalu tinggi yang pada tataran ekstrem membuat orang-orang tidak sehat, kondisi yang jika merujuk pada Psikoanalisis maka merujuk pada minimal 4 kemungkinan dari yang terlemah ke yang terparah: gangguan kepribadian, neurosis, psikopat, psikosis.
jika aku menulis negara, puisi ini penuh orang jakarta berusaha sembuh dari diri mereka sendiri. "Pukul 7.15 Sehelai Daun Jatuh di Kaki Jendela Sebuah Dusun" (hal. 76)
Jika kita menghubungkan kondisi ibukota ini dengan kondisi kota Makassar dalam sajak terdahulu maka kita memahami mengapa aku-lirik memandang upaya mengibukotakan kota (Makassar, dan tentu juga kota-kota lain) adalah sesuatu yang tak semestinya. Jika ibukota cenderung membuat penghuninya mengalami kebahagiaan sebagai kepura-puraan, seperti “api & gergaji” yang “pura-pura mencintai batang” pohon, kenapa orang di kota lain harus ikut-ikutan pergi dari kebahagiaan yang mungkin ke kebahagiaan yang (di)harus(kan) atas nama peradaban?
Bentrokan individu dan negara itu lantas memuncak dalam bentrokan antara aktivis dengan agen negara: polisi dan wakil rakyat. Kita menemukan halaman-halaman gelap, sebuah simbol ketidakpastian nasib sekaligus juga rasa duka “Kehilangan”, rasa yang tak dikenal oleh “remaja yang berciuman/di simpang empat//tempat seorang mahasiswa/mati tertembak polisi empat hari/sebelumnya.” Dalam hal ini, remaja tersebut menjadi simbol individu-individu yang sudah sukses tunduk pada internalisasi aturan negara. Apatisme dan pandangan mereka yang menyimpang tentang realitas merupakan hasil konstruksi keyakinan palsu (kultur) yang sudah dipandang sebagai berkat Tuhan (natur), bahwa negara hadir sebagai agen peradaban dan ketika terjadi benturan antara individu dengan negara maka negara selalu berada di pihak yang benar.
Akan tetapi benarkah suara individu, sang aku lirik itu, merupakan suara hanya individu?
Tampaknya tidak. Peradaban—dengan bantuan, misalnya, propaganda media—selalu mencitrakan diri sebagai suara mayoritas dan karenanya suara Tuhan, padahal sebagaimana ditunjukkan Freud, ia adalah “sesuatu yang dibebankan pada mayoritas yang menolak oleh satu minoritas yang memahami bagaimana cara memperoleh hak milik atas perangkat-perangkat yang bisa digunakan untuk menguasai dan memaksa.” Kita tentu sudah terlalu paham siapakah minoritas itu sebagaimana kita juga paham perangkat-perangkat apa yang dimaksud: kita hanya terlalu sering berpura-pura tak tahu, atau terlanjur berada di bawah jampi kuasa.
Mungkin karena memahami posisi individu sebagai sesungguhnya mayoritas, suara aku sebagai suara komunal, maka kita menemukan nada optimis dalam puisi panjang di Bagian V. Bahwa “kehidupan yang rindang/…di dalam/ibuku.//Dari sana ibuku melahirkan ribuan aku.//Dalam masing-masing aku ada ribuan dan.” Menyuarakan optimisme, bahkan melalui puisi-puisi yang marah, adalah tanda bahwa kemarahan itu tidak suwung dari cinta.
Jadi, mengapa luka tidak memaafkan pisau? Mungkin karena luka individu hasil tusukan pisau oleh sesuatu di luar dirinya itu pada akhirnya melahirkan paradoks cinta yang marah. Kita akan mudah terkenang baris-baris puisi prosa yang tertulis dalam lembar-lembar muram Cinta yang Marah saat kita membaca bagian III sampai V puisi-puisi dalam Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau, meski latar waktu pada antologi yang terdahulu berbeda secara spesifik.
Mengunjungi kembali Cinta yang Marah setelah menamatkan Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau bisa mendorong bukti bahwa puisi bagus tak pernah menawarkan kebenaran tunggal dan/atau final, ia tak seperti lisan dalam pandangan Plato karena ia berbicara melalui sepasang mata. Sementara itu, puisi yang mendorong pembaca untuk menjadi seperti “aku [yang] selalu menuju/& aku tidak pernah hilang arah” dalam “Sajak Cinta untuk Anna” selalu merupakan puisi yang menyenangkan. Esok hari ketika ia kembali kita baca, ia menjanjikan mungkin yang lain, mungkin yang berbeda. Salam.
Yogya, Komunitas Imajiner, 2021