Kambing Hitam di Toko Kelontong Koh San

Misalkan, kota ini punya penduduk sepuluh juta

Ada yang tinggal dalam gedung, ada yang tinggal dalam gua

Tapi tidak ada tempat buat kita, sayangku, tapi tidak ada tempat buat kita

Chairil Anwar, “Lagu Orang Usiran”

(Terjemahan “Song XXVIII” karya W. H. Auden)

1

Cerpen “Toko Kelontong Koh San” karya Gabriella Kusuma, dipublikasikan di Kompas 9 April 2023, menyajikan kisah klise. Akan tetapi klise itu menjadi penting karena satu hal: menimbang kisah semacam itu berulang kali kita dengar, baca, dan tuliskan sampai-sampai terasa klise, kita boleh curiga jangan-jangan memang ada yang luput kita pelajari dari masa lalu.

Karena pengarang yang baik—dan kita boleh percaya Gabriella Kusuma cerpenis baik, setidaknya dia menulis cerpen lebih baik daripada 3 cerpen lain yang sama dipublikasikan Kompas pada April 2023—biasanya membawa masa kini dalam karyanya, bahkan meski hal tersebut dia lakukan melalui kunjungan ke masa lalu atau masa depan. Terlepas dari hasrat cerpen koran untuk menjadi anomali di tengah serbuan berita kontemporer, kecenderungan untuk ikut memotret masa kini dengan cara yang tentu berbeda dari cara seorang wartawan menyajikan berita sesekali pasti terlihat juga dalam cerpen-cerpen Kompas.

Judul cerpen membocorkan isi: kisah toko kelontong Koh San. Nama tersebut juga sejak awal membocorkan pusat cerita, toko kelontong milik etnis Tionghoa. Pada satu masa toko kelontong dan keluarga tersebut menjadi tumpuan orang-orang di kompleks, dari mulai belanja barang-barang dengan harga murah sampai meminjam uang.

Akan tetapi kemudian posisi tersebut semakin lama semakin goyah. Peran Koh San dan toko kelontongnya sebagai bagian dari kompleks semakin lama semakin surut. Pembeli beralih ke toko kelontong lain, cara berpakaian Koh San dianggap tidak sopan, es bon-bon yang menjadi ciri khas yang tersisa dari toko kelontong tersebut kemudian juga diterpa isu bahannya “mengandung unsur tak jelas”.

Puncaknya adalah Imlek. Perayaan yang sudah dilakukan oleh keluarga Koh San secara privat karena “sadar bahwa dia adalah minoritas” ternyata tetap bermasalah ketika “sekelompok pria” memaksa masuk kemudian mempermasalahkan pesta kembang api, bau dupa, dan “kepala babi panggang”.

Pada akhirnya, toko tersebut tutup ditandai dengan tulisan dalam kertas A4: “Tutup Sementara”. Mudah ditebak kata “sementara” itu tidak lagi memiliki makna denotatif dan sampai akhir cerpen toko tersebut tidak pernah lagi buka sebagaimana juga kita tak tahu pergi merantau ke mana lagi keluarga Koh San.

Tidak ada penanda waktu pasti kapan peristiwa dalam cerpen tersebut terjadi. Akan tetapi jika melihat deskripsi bahwa “tidak pernah ada larangan baginya untuk merayakan Imlek sesuai kebiasaan orang Tiongkok”, maka kita bisa menduga bahwa peristiwa tersebut memang dimaksudkan kontemporer, karena pernah ada masa ketika perayaan Imlek dilarang dari tahun 1967-1999 melalui Instruksi Presiden.

Dengan kata lain, peristiwa tersebut minimal diandaikan berlangsung di atas tahun 2000, tahun ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres terkait. Sementara tidak adanya singgungan sedikit pun tentang pernah adanya pelarangan tersebut mengindikasikan jarak yang lumayan jauh dari tahun tersebut. Artinya, cukup aman untuk menempatkan kisah tersebut sebagai kisah yang diandaikan terjadi tidak lama dari momen ketika kita membaca cerpen tersebut.

Kisah semacam “Toko Kelontong Koh San” klise karena mau tidak mau kisah tersebut bergabung dengan sangat banyak cerita lain memicu deret kata kunci dari memori kita: etnis Tionghoa, minoritas, intoleransi. Akan tetapi sebagaimana sudah dijelaskan di awal, klise itu bisa jadi justru menunjukkan satu fakta getir bahwa deret kata kunci itu ternyata tak pernah benar-benar menjadi memori, melainkan bagian dari apa yang dengan menyedihkan masih kita temukan hari ini.   

2

Tidak ada jawaban pasti untuk pertanyaan tentang asal-usul intoleransi. Upaya untuk merumuskan motivasi manusia adalah upaya tanpa akhir. Salah satu analisis cukup terang tentang motivasi manusia bersikap intoleran sehingga dalam sebagian besar kasus berujung melakukan tindak kekerasan disodorkan oleh René Girard.

Pemikir besar dari Prancis tersebut mendapatkan tempat dalam wacana kita salah satunya melalui buku Sindhunata, Kambing Hitam: Teori René Girard (Jakarta: GPU, cet. II 2007). Selepas mengurai evolusi pemikiran René Girard, Sindhunata menutup bukunya dengan menyajikan telaah menarik menggunakan konsep Girard terkait persoalan Etnis Tionghoa di Indonesia.

Dalam pembahasan tersebut, Sindhunata menyoroti adanya sejarah panjang “pengejaran terhadap etnis Cina” di Indonesia, dari mulai pembantaian 100.000 orang Cina di Batavia tahun 1740 sampai Kerusuhan Mei 1998. Keberadaan sejarah panjang tersebut menciptakan stereotipe yang mengakar tentang etnis Tionghoa. Stereotipe tersebut muncul berulang tiap kali kultur kita mengalami krisis.

Pertanyaannya, dari mana stereotipe itu lahir?

Tampaknya, pertama-tama, dari anggapan bahwa etnis Tionghoa berbeda dengan etnis yang menganggap dirinya pribumi, bahwa mereka pendatang dan karenanya minoritas.

Konsep pribumi dan nonpri memang merupakan sasaran tembak terutama kritik sastra Pascakolonialisme yang menunjukkan betapa goyahnya basis kategorisasi umum yang biasa digunakan, tetapi tulisan ini tidak fokus ke sana. Di sini, mari akui bahwa memang ada kategorisasi pribumi dan nonpri yang sudah umum di Indonesia, sekabur apa pun basisnya.

Anggapan atau bahkan fakta bahwa satu etnis memiliki perbedaan dalam berbagai hal dengan etnis lain sebenarnya normal, tetapi apa yang normal itu menjadi berubah abnormal tiap kali terjadi krisis. Mengapa demikian? Karena kultur membutuhkan kambing hitam di balik krisis, suatu upaya ekskavisme yang bertolak dari keengganan menyematkan kesalahan pada diri sendiri.

Ketika etnis Tionghoa menjadi kambing hitam, perbedaan yang normal menjadi perbedaan yang sangat jomplang. Cerpen “Toko Kelontong Koh San” menggambarkan perubahan-perubahan tersebut dengan menarik. Terkait tuntutan supaya Koh San berpakaian lebih rapi misalnya dideskripsikan sebagai berikut:

Semuanya itu tak pernah menjadi masalah selama bertahun-tahun. Namun, dalam waktu semalam, banyak pria yang datang dan meminta Koh San untuk berpakaian lebih rapi. Mereka menyebut-nyebut pengunjung toko itu banyak anak kecil dan perempuannya. Kaus kutang dan celana pendek bukan penampilan yang pantas untuk diperlihatkan. Menolak untuk terlibat dalam masalah, si Kokoh meminta maaf dan berjanji akan mengenakan baju yang tidak terlalu “mengganggu”.

Titik tekan pada “banyak anak kecil dan perempuannya” menandai perubahan status Koh San menjadi, mengutip frasa Sindhunata, “monster yang membahayakan”. Status “membahayakan” tersebut juga yang muncul ketika es bon-bon kreasi Koh San dicap “mengandung unsur tak jelas”. Demikian juga ketika pesta kembang api di halaman belakang rumah Koh San diminta dihentikan karena “dianggap berbahaya oleh para tetangga”.

Krisis yang menimpa penghuni kompleks sebenarnya bisa dikerucutkan menjadi krisis ekonomi. Hal tersebut tampak dari posisi yang sudah dipegang oleh Koh San dalam waktu lama sebagai pihak pemberi pinjaman utang. Ketika sikap Cik San terkait peminjaman uang itu berubah, hal tersebut memperkuat distingsi “monster” yang sudah lahir lebih dahulu.

Momen tersebut menggambarkan apa yang sudah disinggung di awal sebagai keengganan kultur untuk menyalahkan diri sendiri sebagai sebab krisis. Artinya, krisis ekonomi yang menimpa penghuni kompleks tidak disebutkan disebabkan oleh Koh San, bahkan dalam penilaian narator “Aku” Koh San dan keluarganya justru terlalu baik kepada orang lain dan tak segan mendahulukan orang asing daripada kepentingan pribadi. Akan tetapi ketika Cik San tidak semudah dulu meminjamkan uang, status kambing hitam menjadi terarah ke sana: Koh San adalah monster penyebab krisis.

Menarik bahwa tanda krisis dalam kehidupan kompleks tempat Koh San tinggal adalah munculnya sosok-sosok yang identitasnya kabur. Sosok-sosok yang meminta Koh San untuk berpakaian lebih rapi adalah “banyak pria”, sementara pihak yang menerobos masuk momen Imlek juga digambarkan “sekelompok pria”.

Dengan kata lain, sosok-sosok penanda krisis tersebut disimbolkan kabur karena mereka bisa siapa saja. Selain itu, kekaburan itu sekaligus mengindikasikan bahwa Koh San berhadapan dengan masyarakat—bukan individu—yang dalam istilah Girard sebagaimana dijelaskan oleh Sindhunata mengalami “krisis distingsi”. Krisis distingsi merujuk pada tidak adanya distingsi dalam masyarakat karena mereka sudah sama-sama menempatkan Koh San sebagai “kambing hitam” yang nyata, pihak yang sebagaimana dideskripsikan dengan bagus dalam cerpen “mengusik keharmonisan kompleks perumahan”.

Jika sudah berada di tahap demikian, apa yang selanjutnya dikehendaki oleh masyarakat yang mengalami krisis distingsi tersebut untuk menyempurnakan ritual kurban adalah distingsi lebih besar sebagai bukti puncak bahwa kambing hitam tersebut benar-benar berbeda dengan mereka. Bukti itu, dalam cerpen “Toko Kelontong Koh San”, hadir dalam bentuk “kepala babi panggang”.

Si bapak ini kemudian memandang menu-menu yang tersaji di meja makan bundar besar dan terkesiap ngeri saat melihat kepala babi panggang. Sambil menyumpah-nyumpah, dia menunjuk-nunjuk Koh San tepat di muka. Di pengujung sumpah serapahnya, dia ingin Koh San pergi dari daerah itu.

Pengusiran Koh San adalah puncak ritual kurban kambing hitam, seperti kisah pengusiran Ayub dalam kitab suci. Bahkan sampai sudah terusirnya keluarga Koh San, masyarakat kompleks masih tetap menyalahkan Koh San

Yang terlalu sensitif, yang salah mengartikan nasihat baik para tetangga, dan malah kabur. Sebagai minoritas, sudah tentu dia harus mengutamakan kepentingan kelompok mayoritas, kan? Kalau apa yang dia lakukan mengganggu tetangganya, tentu itu karena yang dia lakukan melenceng dari kebiasaan masyarakat di kompleksnya.

Kultur “kambing hitam” menunjukkan rapuhnya basis kultur, problem utama yang harus dibenahi. Secara teori, usai terusirnya keluarga Koh San, masyarakat kompleks akan merasakan kedamaian karena hasrat massal mereka sudah terlampiaskan. Kemudian rasa bersalah muncul dan sosok Koh San akan berangsur-angsur berubah menjadi sosok sakral, hero yang telah menyebabkan kedamaian.

Pada titik itulah, sebagaimana ditunjukkan petikan terakhir di atas, cerpen ini tampak menyimpang meski juga tidak sepenuhnya demikian. Masyarakat memang masih mencari legitimasi sikap mereka mengkambinghitamkan Koh San, tetapi kita juga bisa memaknai sikap tersebut sebagai pengandaian bahwa andai saja Koh San mau mengikuti keinginan masyarakat maka dia akan tetap berposisi sebagai bagian dari kompleks tersebut.

Dengan kata lain, dalam sikap menyalahkan tersebut tetap terkandung kerinduan dan rasa bersalah. Masyarakat kembali menempatkan Koh San sebagai bagian dari mereka, bukan sebagai monster berbahaya, tetapi dengan embel-embel “andai saja”. Selain itu, sikap narator Aku dalam paragraf terakhir cerpen juga menarik untuk disimak:

Sejak saat itu, aku selalu bertanya-tanya. Seandainya kami para warga yang tidak terganggu dengan keberadaan keluarga Koh San melakukan sesuatu, apakah sekarang toko kelontong itu masih menjadi bagian dari kami?

Dalam ungkapan tersebut kita menemukan rasa bersalah yang lain. Meski narator Aku—dan “kami” yang merujuk sebagian warga—tidak ikut berperan dalam pengambinghitaman Koh San, tetapi sikap diam mereka tetap menempatkan mereka di posisi massa tanpa distingsi yang mengharapkan ritual kurban. Lagipula sosok ibu narator Aku juga ikut berperan sebagai penyebar gosip.

Dengan demikian, kita juga bisa mengatakan justru pada rasa bersalah narator Aku itu kita temukan tahap akhir ritual kurban Koh San sebagai kambing hitam, yakni pengagungan sosok Koh San. Sikap semacam itu tentu saja tidak berguna karena problem utama kultur adalah basis ritual pengambinghitaman yang rapuh itu, sementara kita tahu rasa bersalah tak mengubah nasib Koh San dan keluarga sebagai orang usiran.

3

Aspek lain yang juga penting untuk diperhatikan dari cerpen “Toko Kelontong Koh San” adalah peranan gosip dalam genealogi intoleransi. Cerpen itu sendiri menyajikannya dengan paragraf pendek:

Meski demikian, pengunjung tetap menurun. Tidak ada yang tahu kesalahan apa yang diperbuat pemilik generasi kedua toko kelontong itu. Orang-orang hanya berubah tidak menyukainya. Titik. Tidak ada koma, titik koma, atau tanda baca lain yang menjelaskan akar permasalahannya.

Akan tetapi gosip justru berbahaya karena ia memang cenderung bertolak tidak dari situasi “tahu”, melainkan dari campuran sok tahu dan ingin tahu. Sebagaimana biasa audiens, baik kita sebagai pembaca cerpen ataupun ibu-ibu yang menonton sinetron di televisi, lebih tahu daripada tokoh-tokoh dalam kisah yang kita simak.

Maka kita tahu bahwa kronologi kebangkrutan dan berakhir dengan pengusiran yang menyiratkan intoleransi dalam cerpen “Toko Kelontong Koh San” bermula dari persaingan ekonomi. Persaingan, situasi keberadaan pembanding, kemudian merembet ke segi-segi yang sebelumnya tak pernah menjadi problem: cara Koh San berpakaian, bahan es bon-bon aneka rasa, sikap Cik San terhadap pengunjung.

Isu-isu yang kemudian beredar menjadi gosip tersebut menciptakan jarak, situasi yang tinggal menunggu momen ketika isu yang lebih besar meledak. Lalu isu tersebut muncul dalam bentuk pesta kembang api, bau dupa, dan babi panggang pada momen Imlek. Melalui isu tersebut resmilah Koh San dan keluarga menjadi monster yang berbeda dari penghuni lain kompleks tersebut.

Gosip dalam cerpen tersebut adalah gosip kompleks, diketahui oleh tokoh “Aku” melalui ibunya “yang juga merupakan salah satu ibu-ibu penggosip di depan tukang sayur”. Tentu saja kita harus mencatat bahwa kebiasaan gosip bukan bawaan jenis kelamin dan fakta bahwa para penggosip dalam cerpen ini dilekatkan pada gender perempuan semoga tidak bertolak dari pengekalan stereotipe yang akan menjadi bahan lezat protes feminis karbitan.

Sebaliknya, kita bisa husnuzan menimbang bahwa situasi penggosip di kompleks dalam kisah cerpen ini justru bisa menjadi titik tolak analisis lain. Misal, kita tahu bahwa meski Koh San disebut sebagai pihak yang murah hati memberi pinjaman, tetapi pihak yang bersentuhan dengan para ibu yang akan meminjam uang adalah Cik San. Dengan demikian, salah satu gosip yang berperan menjauhkan jarak antara keluarga Koh San dengan para penghuni kompleks yang lain memang bertolak dari relasi melalui jalur ibu-ibu.

Terlepas dari itu, meyakini bahwa kebiasaan gosip bukan monopoli perempuan, kita idealnya khawatir bahwa situasi kontemporer memanjakan hasrat gosip melalui kemudahan mengakses media sosial dan internet. Situasi semacam itu mengkhawatirkan karena dengan melihat hengkangnya keluarga Koh San akibat gosip lokal sebagai miniatur, intoleransi dan sikap-sikap lain bisa dipantik oleh gosip yang disebarkan di media sosial dan internet untuk Koh San yang lebih besar. Kita tahu literasi internet sebagian besar dari kita berbanding terbalik dengan menjamurnya hoaks yang disebarkan oleh pihak-pihak tertentu dalam berbagai situasi dan dengan berbagai motivasi.

Isu agama dan etnis adalah isu sensitif. Jika isu semacam itu, semisal “babi panggang” disebarkan dengan konteks yang diolah dengan licin ditujukan bagi pemeluk agama tertentu yang mengharamkan babi maka saat ini mengubah keyakinan “Kami” yang inklusif menjadi “Kita” yang eksklusif menjadi hal mudah. Dari keyakinan semacam itu lahir intoleransi yang motivasinya dilegitimasi oleh pemahaman dangkal ajaran agama.

Satu dari 3 cerpen lain yang  juga dipublikasikan di Kompas bulan April, “Mama Eta” (30 April 2023) karya Silvester Petara Hurit juga mengangkat persoalan sosial yang mirip meski titik tolaknya lebih mengerucut pada latar belakang agama: bagaimana para pemeluk agama justru gagal mengedepankan sikap manusiawi. Apakah kenyataan yang kerap terjadi tersebut menandakan agama sudah tidak berguna lagi dalam kehidupan kita?

Konklusi ekstrem semacam itu jelas loncatan logika gampangan. Satu konklusi lain yang lebih sederhana sekaligus merupakan klise lain adalah bukan agamanya yang keliru, tetapi pemeluknya yang memahami ajaran agama secara keliru. Seperti sudah dikatakan sejak awal, klise bisa jadi penting sebagai pengingat akan hal penting yang mungkin kita lupakan selama ini, termasuk dimensi toleransi dan sosial dalam ajaran agama.

Sambil merenungkan ulang makna repetisi klise semacam itu kita mungkin sadar justru karena kita kerap lupa dan meremehkan berbagai klise dalam kehidupan sehari-hari maka tidak semua orang beragama dijamin masuk surga. Salam.

Mei 2023.      

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer

Sliding Sidebar

Tentang Penulis

Tentang Penulis

Cep Subhan KM. Lahir di Ciamis tanggal 6 Juni. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi bersama Ludah Surga (2006) dan Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (2007), sementara beberapa puisinya diikutkan dalam antologi penyair muda Ciamis Kota Menjadi Kata (2017). Sudah menerbitkan novel Serat Marionet (2011) dan dwilogi Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021), dan satu buku puisi, Hari Tanpa Nama (2018). Satu novelnya yang lain, Kosokbali (2021), bisa dibaca di portal Kwikku. Esai-esainya tersebar dalam Jurnal Sajak, Jurnaba.co, dan beberapa media daring lain. Esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 dan Juara 2 Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023.