“Hompimpa Alaium Gambreng”: Dari Horor ke Humor

ANDAIKAN kita mahasiswa sastra yang disodori puisi “Hompimpa Alaium Gambreng” karangan Hamzah Muhammad disertai perintah untuk memparafrase sebagai salah satu tahap lazim pra-analisis maka kita akan menghasilkan fiksi mini memuat cerita realisme magis lokal dengan alur patah-patah disertai lanturan.

Pertama, kita mendapatkan kisah hidup Wan Abud sang barista. Lalu dia wafat entah karena apa, pokoknya dia wafat, tiada angin, tiada hujan: satu patahan alur yang akan menjengkelkan mahasiswa sastra yang diuber tenggat waktu. Lalu lanturan dengan latar berpindah ke alam kubur disertai kemunculan karakter baru, malaikat. Fiksi mini ini kemudian ditutup dengan Zaenab istri Wan Abud menganggap candaan orang-orang terkait alam kubur itu kelewatan.

Pertanyaan yang menggoda, atau menjengkelkan, selain kenapa Wan Abud seenaknya wafat adalah dari mana karakter-karakter dalam cerita tahu adegan tanya jawab Wan Abud dan malaikat di alam kubur? Apakah Wan Abud, seperti kisah mitis Abu Nuwas, setelah meninggal datang ke dalam mimpi orang-orang yang lantas bertukar cerita? Ataukah itu hanya candaan orang-orang yang kehilangan?

Kita boleh yakin hasil parafrase itu akan menjadi prosa yang membuat kita teringat cerpen-cerpen Putu Wijaya. Akan tetapi “Hompimpa Alaium Gambreng” sejak awal adalah puisi, nomor 33 dari total 44 puisi dalam antologi berjudul sama: Hompimpa Alaium Gambreng (Jakarta: Anagram, 2022). Menyulap 5 bait puisi tersusun dari 22 baris ini menjadi fiksi mini tak berarti nilainya lantas ditakar berdasarkan karakteristik prosa, proses itu dimaksudkan untuk sekadar melihat narasi konten dengan lebih jelas sehingga mungkin membantu–dan mungkin juga tidak–memunculkan titik tolak obrolan terkait statusnya sebagai puisi naratif.

Pindaian puisi “Hompimpa Alaium Gambreng”, hal. 35

Sebagaimana puisi-puisi lain dalam antologi, “Hompimpa Alaium Gambreng” bergerak dalam sungkup atmosfer bermain-main. Ketika kita membuka halaman pertama antologi dan menjumpai teks berjudul “Pembukaan”, kita mungkin bertanya-tanya apakah teks itu sendiri dimaksudkan sebagai puisi. Menengok daftar isi di halaman sebelumnya, jawaban jelas positif karena kita temukan juga teks puisi terakhir dalam antologi berjudul “Penutupan”.

Maka dengan teks “Pembukaan” yang mengadopsi poin-poin biodata pemilik buku lengkap dengan titik-titik kosong untuk diisi, kita membayangkan puisi “Pembukaan” sebagai puisi yang–saat titik-titik di dalamnya diisi–akan selalu berbeda sesuai pemilik eksemplar antologi ini. Sejak halaman awal antologi, kita sudah disambut dengan ajakan “bermain” si penyair.

Kritikus Michael Riffaterre dalam buku legendaris Semiotics of Poetry (1978: 99) mengatakan bahwa “judul puisi juga bisa berfungsi sebagai tanda ganda” sehingga judul “memperkenalkan sajak yang ada di bawahnya” sekaligus “merujuk pada teks di luar”. Bersandar pada argumen tersebut, ketika kita berjumpa judul “Hompimpa Alaium Gambreng” di halaman 35 antologi maka pada saat yang sama kita berjumpa teks di luar sajak, yakni Hompimpa alaium gembreng sebagai ungkapan permulaan permainan kanak-kanak zaman dulu.  

Dengan kata lain, judul tersebut mengisyaratkan teks yang berada di bawahnya sebagai sebuah permainan. Bukan tanpa alasan bahwa Freud, dalam salah satu esainya yang terkenal di ranah teori sastra, “The Creative Writer and Daydreaming”, menganalogikan penulis kreatif dengan anak-anak yang bermain: keduanya sama-sama melibatkan diri secara emosional dalam permainan dan dengan demikian sama-sama mengharapkan kesenangan.1Terjemahan Inggris terbaru teks ini bisa dibaca dalam The Uncanny (New York: Penguin, 2003), hal. 26. Terjemahan Indonesia dimuat dalam Hidup Matinya Sang Pengarang (Jakarta: YOI, 2000), hal. 77.

Proses penggiringan yang tampaknya penyair rancang menuju penautan antara “Hompimpa Alaium Gambreng” sebagai judul puisi dengan Hompimpa alaium gambreng sebagai pembuka permainan kanak-kanak mengingatkan kita pada proses asosiasi bebas dalam ranah psikoanalisis, sesuatu yang kurang lebih kita kenal sebagai Intertekstualitas dalam ranah sastra. Tiba di “Hompimpa Alaium Gambreng” setelah membaca 32 puisi, kita akan menemukan banyak intertekstualitas muncul dalam puisi-puisi di dalam antologi ini, cukup banyak untuk menyusup ke dalam cakrawala ekspektasi kita.

Jika permainan bertujuan menimbulkan kesenangan, teks “Hompimpa Alaium Gambreng” memperbesar peluang tercapainya kesenangan tersebut menggunakan humor. Bahkan meski berbicara tentang kematian dan tanya jawab kubur, teks ini bernada riang memuat potensi memancing tawa, atau minimal senyum. Akan tetapi, senyum atau tawa itu bukan sebuah akhir, karena—kembali mengutip Freud—esensi humor terletak pada fakta bahwa melaluinya “orang menyelamatkan diri dari dampak-dampak yang akan ditimbulkan oleh situasi terkait dalam dunia riil, dan menghindarkan kemungkinan ekspresi-ekspresi emosi dengan lelucon”.2Freud menulis dua karya khusus terkait humor dan lelucon, satu buku utuh The Joke and Its Relation to the Unconscious, dan satu esai berjudul Humor. Kutipan di atas diambil dari karya yang disebutkan belakangan, terjemahan terbaru dimuat dalam The Penguin Freud Reader (New York: Penguin, 2006). Apa yang lantas penting pada telaah humor dalam sebuah teks kreatif adalah proses lahirnya senyum atau tawa pada pembaca yang kurang lebih analog dengan proses lahirnya lelucon melalui si penyair sebagai bidan.

Humor paling besar dalam puisi ini berlatar alam kubur pascakematian Wan Abud dalam 6 baris pada bait ketiga di mana malaikat selip lidah saat mengajukan pertanyaan yang dijawab dengan lugu dan khusyuk oleh roh Wan Abud. Pertanyaan man robbuka (siapa Tuhanmu) beralih menjadi man robusta, pertanyaan yang menautkan kita pada pekerjaan Wan Abud sebagai barista terkait jenis kopi apa yang pengunjung inginkan. Dengan adegan ini kita temukan pembalikan peran: saat hidup Wan Abud adalah barista, saat mati Wan Abud adalah pengunjung.

Pembalikan peran tersebut mungkin memberikan pesan moral ilusi doktrin khas agama sebagai satu pilar peradaban: tidak masalah kita hidup miskin, asalkan saleh maka di kehidupan pascakematian kita akan kaya. Akan tetapi puisi “Hompimpa Alaium Gambreng” belum masuk ke dalam buku pelajaran sekolah dan kita tampaknya masih jauh dari tuntutan mencari-cari pesan moral yang paling sesuai pada pilihan ganda yang tersedia dalam lembar soal. Satu argumen yang jauh lebih jelas dan menarik, pembalikan peran dan selip lidah malaikat di dalam kubur pada puisi ini menandakan sebuah humor sekaligus upaya bermain-main dengan yang sakral.

Dalam ranah agama, adegan tanya jawab dalam kubur lengkap dengan karakter malaikat dan roh manusia adalah satu adegan penting dalam perjalanan manusia dari dunia ke akhirat. Adegan tersebut merupakan bocoran apakah kelak manusia terkait akan dimasukkan ke dalam neraka atau surga, ia merupakan jenjang awal penentuan kualitas manusia sebelum mendapatkan keputusan akhir pada hari kiamat. Menunjukkan pentingnya pembahasan mengenai hal itu, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam bukunya yang merupakan rujukan populer ketika membicarakan roh misalnya memberikan ruang untuk membahas perihal roh dan alam kubur dalam sembilan dari total dua puluh satu bab. Ada banyak juga buku yang membahas secara khusus mengenai alam kubur, baik asli lokal ataupun terjemahan termasuk misalnya buku Aidh al-Qarni yang diterjemahkan sebagai Malam Pertama di Alam Kubur.

Pembahasan mengenai alam kubur berbasis doktrin agama cenderung menitikberatkan momen tanya jawab tersebut sebagai momen mengerikan, lengkap dengan deskripsi visual malaikat penanya yang tak kalah horor dibandingkan komik Siksa Neraka. Simak misalnya narasi dalam kitab Daqaiqul Akhbar, salah satu kitab yang paling populer dirujuk di pesantren–dan juga sudah banyak diterjemahkan–ketika membahas tentang tanya jawab alam kubur:

Dalam sebuah hadis dikatakan: ketika mayat diletakkan dalam kubur, datang dua malaikat yang berwarna hitam, matanya melotot, suaranya bagaikan geledek, dan pandangannya bagaikan kilat yang menyambar, mereka membelah bumi dengan taringnya dan mendatangi mayat di sebelah kepalanya…

Daqaiqu al Akhbar fi Dzikr al-Janna wa al-Nar, hal. 17

Sebagai tambahan deskripsi dari beberapa hadis yang dimuat dalam buku ulama lain yang juga sangat populer dijadikan rujukan di kalangan pesantren, Imam Jalaluddin as-Suyuthi, disebutkan bahwa nama malaikat yang mendatangi manusia di alam kubur adalah Munkar dan Nakir. Mata mereka digambarkan seperti “ketel tembaga, taringnya seperti tanduk banteng, dan suara mereka seperti geledek”. Deskripsi lain: “mereka bertubuh hitam, berambut gondrong, bersuara seperti bunyi geledek, bermata seperti sambaran kilat.”3Lihat selengkapnya dalam S.R. Burge, Angels in Islam: Jalal al-Din al-Suyuti’s al-Habaik fi akhbar al-malaik (London: Routledge, 2012), hal. 190-192.

Jika doktrin agama menyodorkan tanya jawab alam kubur sebagai lanskap gotik dengan karakter horor demi efek yang juga dituju oleh prosa-prosa Abdullah Harahap, “Hompimpa Alaium Gambreng” mengubahnya menjadi bernuansa humor sehingga dampak-dampak psikologis buruk yang mungkin ditimbulkan oleh narasi-narasi semacam itu bisa dihindari, satu situasi yang mungkin diniatkan oleh sang penyair supaya sedikit banyak juga pembaca alami. Jika doktrin agama menyodorkan tanya jawab alam kubur sebagai drama tragedi yang mengincar efek iba dan ngeri menuju katarsis, “Hompimpa Alaium Gambreng” menyodorkannya sebagai drama komedi.

Terlepas dari pendapat klasik yang menautkan dikotomi tragedi dan komedi dengan kualitas karya, pertanyaan menarik selanjutnya terkait “Hompimpa Alaium Gambreng” adalah apa kira-kira tujuan akhir yang disasar oleh humor ini?

Mari kita sepakati bahwa malaikat dalam puisi ini mengalami proses antropomorfisme dari makhluk yang tunduk kepada Tuhan secara absolut menjadi setara manusia, makhluk yang ketundukannya terhadap Tuhan adalah pilihan bebas. Ia mengalami selip lidah, kilir lidah, slip of the tongue, atau parapraksis dalam istilah klinis Freud yang distandarkan oleh James Strachey bagi publik Anglofon. Posisi malaikat terkait relasi kuasa dengan Wan Abud memang tidak berubah dari posisinya yang lazim. Ia penanya, Wan Abud yang ditanya. Akan tetapi relasi kuasa itu pun sudah direduksi dari posisi interogator pada pesakitan menjadi posisi barista pada pengunjung.

Malaikat yang kita ketahui tidak mungkin mengalami parapraksis, hanya manusia yang mungkin mengalaminya. Melalui antropomorfisme ini sifat absolut malaikat pun berubah: salah satu sebab parapraksis, menurut Freud, adalah “gangguan yang ditimbulkan oleh pikiran yang direpresi yang tidak memiliki hubungan kontekstual atau hubungan makna dengan kata-kata yang terpeleset itu”, sesuatu yang bersifat psikis yang “terletak di luar kata, kalimat, dan bahkan di luar konteks”.4Kutipan-kutipan teori Freud tentang selip lidah diambil dari The Psychopathology of Everyday Life (New York: Penguin, 2003), Bab V, Slips of the Tongue. Dengan kata lain, ia didorong oleh motif lebih dalam dari selip lidah sekadar karena, misalnya, ketergesaan berbicara.

Malaikat yang pikirannya gelisah lantas mengalami selip lidah dan dengan demikian mengubah peran dirinya menjadi barista jelas bukan malaikat yang kita temukan dalam doktrin agama dan lebih dekat dengan malaikat-malaikat yang kita temukan dalam literatur sufi. Kita kemudian menemukan kemungkinan alasan hadirnya adegan komedi itu pada baris-baris selanjutnya dalam bait keempat:

Proses tidak mengkhianati hasil.

Terpujilah Wan Abud dengan bejibun ikhtiarnya.

Sampai almarhum ia tidak curang.

Sifat tidak curang atau jujur adalah satu sifat yang, sebagaimana saleh, pada malaikat adalah absolut sementara pada diri manusia adalah pilihan. Pembahasan tentang jujur, dalam Islam, berada dalam kategori akhlaq atau Etika, kategori yang tidak disinggung sama sekali dalam doktrin Islam tentang tanya jawab di alam kubur.

Berdasarkan hadis, ada tiga pertanyaan yang diajukan oleh malaikat Munkar dan Nakir di alam kubur: man robbuka (siapa Tuhanmu), ma dinuka (apa agamamu), dan man nabiyyuka (siapa nabimu). Ketiga pertanyaan itu berada dalam kategori usul al-din atau Teologi. Dengan menciptakan lelucon terkait pertanyaan teologis ini, “Hompimpa Alaium Gambreng” lantas menggeser perhatian pada kategori Etika sebagai kategori yang juga penting dalam penentuan kualitas manusia.

Pembahasan mengenai aspek teologi sebagai aspek paling utama untuk menilai kualitas manusia dalam Islam mau tidak mau akan menyinggung kehadiran berbagai golongan dengan pendapat yang beragam, minimal antara puritan ekstrem, moderat, dan liberal. Kaum puritan ekstrem misalnya berpendapat bahwa nonmuslim—yang dengan demikian minus pada sisi teologi—hanya sia-sia saja berbuat baik—artinya memiliki akhlak yang baik, bernilai saleh secara sosial—karena prakondisi untuk nilai kebaikan adalah aspek teologi.

Pembahasan mengenainya jelas menarik, tetapi akan mengubah obrolan ringkas tentang puisi ini menjadi risalah filosofis tentang agama.5Satu pembahasan kontemporer yang memikat mengenai persoalan tersebut bisa dibaca dalam karya Murtadha Muthahhari, sudah diterjemahkan sebagai Keadilan Ilahi: Asas Pandangan-Dunia Islam (Bandung: Mizan, 2009), terutama Bab 7, “Perbuatan Baik Non-Muslim”. Oleh sebab itu cukup di sini disinggung bahwa dengan menyodorkan parapraksis karakter sublim dan penonjolan etika Wan Abud, “Hompimpa Alaium Gambreng” tampaknya tidak dimaksudkan melakukan kritik radikal mengganti kategori teologis dengan kategori etis sebagai tolok ukur kualitas manusia. Ia sekadar mengingatkan bahwa kategori teologis yang biasa dipandang kategori utama pada praktiknya kerap disalahpahami sebagai kategori satu-satunya, bahwa sepanjang manusia memiliki nilai plus pada kategori teologis lantas minus dalam kategori etis pun tidak masalah. Kesalahpahaman lazim semacam itu pada akhirnya memunculkan fenomena-fenomena aneh di mana misalnya orang yang saleh secara ritual—sebagai perpanjangan dari kondisi plus dalam kategori teologis—ternyata pada saat yang sama tidak saleh secara sosial, misalnya adanya ustaz yang melakukan penipuan bisnis, orang yang rajin salat sekaligus menjadi lintah darat, orang rajin salat berjemaat tetapi hobi memukul istri.  

Sebagai sebuah parapraksis pada level suku kata yang menciptakan humor dan terjadi menyalahi karakter umum malaikat yang sublim, gugatan “Hompimpa Alaium Gambreng” memang menohok tetapi tidak memekakkan. Ia mengingatkan tetapi tidak menantang baku hantam karena sumbu dipanjangkan melalui potensi senyum atau tawa, terlepas dari bahwa tidak menutup kemungkinan adanya audiens yang sumbunya terlalu pendek untuk mampu diulur. Jujur bukan sesuatu yang istimewa pada malaikat karena padanya sifat-sifat baik adalah kemestian. Sebaliknya, jujur menjadi sesuatu yang istimewa pada manusia karena sifat tersebut menjadi pilihan: manusia berbuat baik bukan karena bawaan melainkan karena dia memilih berbuat baik.

Zaenab kemudian hadir sebagai karakter yang juga berperan mengulur sumbu, kali ini tanpa humor. Posisi Zaenab sebagai karakter dalam “kehidupan nyata” Wan Abud sementara kisah tanya jawab kubur dikaburkan antara sungguhan terjadi atau hanya cerita karangan orang-orang juga melemparkan pilihan percaya atau tidak percaya pada audiens. Jika di satu sisi ada orang-orang yang percaya Tuhan suka bercanda, maka Zaenab yang telinganya pengang oleh cerita orang-orang dan tahu itu kelewatan hadir sebagai kutub lain. Puisi ini menyuarakan argumen berbeda terkait doktrin agama sebagai sebuah kritik terhadap fenomena malapraktik yang mengabaikan kategori etis dan relasi sosial sekaligus tidak memblokir ruang bagi audiens yang berpihak pada doktrin umum, orang-orang yang rutin membaca surah Al-Mulk demi terhindar dari siksa kubur, orang-orang yang percaya bahwa sebodoh-bodohnya si saleh berbahasa Arab, kelak dia akan bisa menjawab pertanyaan man robbuka dengan tata bahasa dan diksi Arab yang fasih.

Puisi “Hompimpa Alaium Gambreng” menyebut Machine Draw dalam epigraf, posisi yang biasanya cukup penting untuk mengarahkan tafsir. Pertanyaan semacam “bagaimana relasi si penyair dengan Machine Draw sebagai karakter historis” merupakan satu pertanyaan relevan, tetapi epigraf tersebut yang cenderung personal daripada universal menyaran perlunya obrolan khusus dengan si penyair atau minimal keakraban tertentu dengan latar tempat puisi ini ditulis, dua hal yang tidak penulis lakukan dan miliki. Akan tetapi berdasarkan penelusuran sekadarnya pada aspek biografis si penyair tampak bahwa hasilnya tak akan jauh dari apa yang sudah diobrolkan di atas: suatu pandangan hidup yang menjunjung tinggi kategori Etika, dalam hal ini secara spesifik kejujuran. Berhubung sifat jujur pada akhirnya sangat erat terkait relasi dengan manusia lain maka pandangan hidup semacam itu berpotensi mengantarkan pada kesalehan sosial.

Dus, bisa jadi makna epigraf itu terkait erat kisah Wan Abud sebagai simbol orang yang menjalani hidup jujur dan tekun sejak muda sebagai barista, hidup sekadarnya dengan penuh penghayatan yang dibuktikan dengan fakta bahwa dia khatam aneka gilingan dan racikannya masyhur di lidah pelanggan. Pandangan hidup bersahaja semacam itu sedikit banyak mengingatkan kita pada kisah-kisah sufi. Dalam kisah-kisah sufi pula kita kerap menemukan cara mati yang ujug-ujug, sebagaimana wafat tiada angin, tiada hujan yang Wan Abud alami. Cara kematian semacam itu biasanya menjadi simbol kematian yang damai.

Obrolan ringkas ini jelas tidak menyaran pada generalisasi Hompimpa Alaium Gambreng sebagai sebuah antologi, tetapi fokus pada satu puisi “Hompimpa Alaium Gambreng”. Sebagai sebuah puisi yang sekaligus berposisi menjadi judul antologi maka ia bisa dianggap memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan puisi-puisi lain. Tidak masalah kalau ternyata pemilihan puisi tersebut sebagai judul antologi dilakukan semata atas pertimbangan di luar teks karena toh obrolan singkat di atas sedikit banyak sudah menunjukkan bahwa puisi ini bukan omong kosong.

Pembahasan puisi-puisi dalam antologi ini–dan juga banyak antologi lain para penyair muda kita–secara keseluruhan jelas menarik dan penting. Penelusuran benang merah antara satu dan lain puisi dalam antologi ini misalnya memungkinkan kita menemukan akar kepenyairan Hamzah sekaligus menentukan di mana posisi puisi-puisinya pada peta besar perpuisian kita kini: dua hal yang terlalu gegabah jika dihasilkan hanya dari pembacaan sepintas lalu bertukar ego dengan julid di media sosial. Akan menarik misalnya menelusuri intertekstualitas “Hompimpa Alaium Gambreng” dengan “Amboro Ketempelan Buya” terkait humor ritual agama yang tak kalah sakral, yakni salat, dan seberapa bervariasi ruang-ruang kritik yang hadir pada 44 puisi dalam antologi. Akan menarik juga menelaah seberapa jauh pertautannya dengan genre Puisi Mbeling atau apakah nuansa humor hadir semata pelarian dari represi atau justru upaya sadar untuk melakukan kritik dengan lugas sekaligus berkelit dari kemungkinan dakwaan menghina hal-hal sakral?

Namun cukuplah tulisan ringkas ini sekadar mencoba ikut merayakan kehadiran Hompimpa Alaium Gambreng dengan cara memasuki salah satu puisi di dalamnya melalui pintu agama dan religiositas, upaya yang bukan berarti menihilkan kemungkinan masuk ke dalamnya melalui pintu-pintu lain yang mungkin sangat sekuler. Bisa jadi terdengar agak aneh bahwa dari sekian kemungkinan yang ada, tulisan ini menarik puisi “Hompimpa Alaium Gambreng” ke obrolan soal agama dan religiositas. Akan tetapi semoga hal itu tidak menyebabkan jengah karena toh beberapa diksi yang hadir dalam puisi ini juga menyaran ke arah tersebut, seperti khatam, khusyuk, almarhum, meski selaras dengan obrolan di atas tampak bahwa alih-alih menggunakan diksi Idul Fitri yang rasa bahasanya lebih agamis, puisi ini menggunakan diksi yang lebih kultural, yakni Lebaran.

Selain itu, mari kembali ke Michael Riffaterre dan argumen dia tentang judul puisi sebagai tanda ganda. Etimologi hompimpa alaium gambreng sebagai 1 ungkapan pembuka permainan kanak-kanak zaman dulu memiliki asal-usul religius, bahkan konon agamis senafas dengan salah satu ayat Alquran yang lazim spontan kita ucapkan saat mendengar kabar musibah, yaitu inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, sesungguhnya kita semua adalah milik Allah dan kepada-Nya pula kita kembali. Maka kita boleh-boleh saja curiga bisa jadi Hamzah Muhammad sebenarnya seorang ustaz yang zuhud menghindari tampil di televisi dan memilih jalan dakwah melalui racikan jus jeruk sambil mendaras sajak-sajak Bukowski di tempatnya bermukim: Rawamangun.

Tentu saja kecurigaan itu hanya lelucon yang, sebagaimana lelucon dalam “Hompimpa Alaium Gambreng”, semoga berhasil menjadi humor. Menutup esainya tentang humor, Freud mengatakan bahwa sikap humoris adalah berkat yang langka dan menyenangkan, sesuatu yang tidak semua orang mampu memilikinya. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa “banyak orang bahkan tak memiliki sekadar kemampuan untuk menikmati kesenangan yang humor berikan pada mereka”.

Kita boleh sepakat bahwa jenis orang yang disebutkan terakhir adalah orang-orang malang yang menjalani hidup sebagai sebuah tragedi sehingga mereka dikondisikan selalu memasang wajah muram: satu kondisi hidup yang bisa kita hindari dengan membaca Hompimpa Alaium Gambreng. Semoga.  

Karangsari, 2022.

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer

Sliding Sidebar

Tentang Penulis

Tentang Penulis

Cep Subhan KM. Lahir di Ciamis tanggal 6 Juni. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi bersama Ludah Surga (2006) dan Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (2007), sementara beberapa puisinya diikutkan dalam antologi penyair muda Ciamis Kota Menjadi Kata (2017). Sudah menerbitkan novel Serat Marionet (2011) dan dwilogi Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021), dan satu buku puisi, Hari Tanpa Nama (2018). Satu novelnya yang lain, Kosokbali (2021), bisa dibaca di portal Kwikku. Esai-esainya tersebar dalam Jurnal Sajak, Jurnaba.co, dan beberapa media daring lain. Esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 dan Juara 2 Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023.