ANTOLOGI Ia Meminjam Wajah Puisi (Yogyakarta: Basabasi, 2020) memuat 52 puisi Aya Canina periode 2017-2019. Judul diambil dari puisi ke-48 dalam antologi yang bisa jadi memiliki kesan istimewa bagi sang penyair, terlihat dari judulnya yang diadopsi dengan perubahan subjek untuk menjadi judul pengantar.
Puisi dalam antologi diurutkan secara kronologis meski kita temukan juga satu anomali pada puisi “Kelinci Bulan” (hal. 31-33) yang bertarikh 2019 tetapi terselip di tengah puisi-puisi bertarikh 2018. Mengutip Goenawan Mohamad dalam pengantar Gandari (Jakarta: Tempo, 2013), penyusunan puisi dalam sebuah antologi secara kronologis kadang-kadang memang penting untuk tujuan telaah dan tidak ada hubungannya dengan “menikmati” puisi. Akan tetapi tinjauan ringkas ini mencoba mencari tautan-tautan antar (baris) puisi tanpa mengikuti tertib kronologis demi kenikmatan menjelajahi satu antologi puisi sebagai satu puzzle yang kadang mengajak kita mundur menengok ulang potongan yang sudah kita letakkan dalam konstruksi sebelum maju kembali untuk menggantinya dengan potongan lain yang terasa lebih pas.
Antologi ini memuat puisi-puisi lirik, terlihat dari dominannya monolog yang memang merupakan salah satu, tetapi bukan satu-satunya, ciri khas puisi lirik, terkadang dalam bentuk puisi-prosa. Kita temukan juga satu tampilan puisi berpola pada akhir puisi “Luka Sama Dipikul, Pilu Sama Dijinjing”, menampilkan empat baris penutup dengan jarak baris menjauh dari atas ke bawah menyimbolkan gerak melemparkan dadu dan repetisi tiap kata penyusun baris keempat sebelum akhir pada masing-masing 3 baris selanjutnya sebagai gambaran ketidakpastian angka—berdasarkan konteks puisi menyimbolkan “ketidakpastian nasib”—yang akan muncul.
Pengantar penyair untuk buku puisinya sendiri mungkin kurang disukai oleh sebagian pembaca yang semata ingin menikmati karya penyair dalam bentuk puisi tanpa terlebih dahulu dibebani informasi biografis sang penyair. Akan tetapi pengantar juga bisa menyenangkan bagi pembaca yang ingin memanfaatkan segala sumber daya yang bisa diakses untuk melengkapi tafsir karya. Biografi penyair memang biasa dikesampingkan dalam pendekatan tafsir objektif, tetapi kita tahu pendekatan objektif bukan satu-satunya pendekatan dalam Ilmu Sastra dan informasi biografis penyair baik dari dirinya sendiri ataupun dari sumber lain bukan sesuatu yang haram. Malapraktik terjadi ketika tafsir karya lebih banyak berbicara tentang penyair daripada teks atau ketika penafsir menyerah pada godaan terbesar puisi lirik: meyakini–dan selanjutnya meyakinkan publik–bahwa aku lirik sepenuhnya sama dengan sang penyair.
Pengantar Ia Meminjam Wajah Puisi menyinggung terutama relasi si penyair dengan puisi: puisi sebagai perayaan, puisi sebagai—salah satu—rumah, puisi sebagai cara bertahan “menunda kekalahan”. Relasi tersebut bermain-main dengan definisi lazim realitas dan ilusi, satu benang merah yang mungkin membantu kita menyigi puisi-puisi dalam antologi. Jika “Ia Meminjam Wajah Puisi” mengesankan salah satu puisi istimewa dalam antologi ini, maka berdasarkan alasan sama kita boleh menempatkannya sebagai pintu masuk di antara berbagai opsi pintu masuk yang lain.
“Ada yang berlari ke utara”, demikian puisi “Ia Meminjam Wajah Puisi” dibuka dan kita lantas membayangkan sebuah peta dengan sedikit optimisme. Utara dalam peta yang kita kenal selalu berada di bagian atas, daerah yang karenanya kerap disebut dalam bahasa klasik sebagai atas angin, dalam konteks geografi klasik merujuk pada Timur Tengah dan wilayah Barat. Maka optimisme spontan hadir karena kita membayangkan lanskap sumber pencerahan klasik yang lantas ditegaskan:
Di pundaknya menunggang Jibril memberi perintah, bacalah! Maka ia melihat segala: pesan bapak sebelum tiada domba-domba yang mengunyah firman ta’ala kekasih yang pergi meninggalkan tanda baca
Pencerahan yang ia dapatkan menunjukkan kuasa rasio sebagai basis peradaban: dua nasihat, satu dari keluarga sebagai perpanjangan tangan peradaban dalam lingkup kecil, satu dari wakil agama sebagai lembaga yang lebih besar. Pertentangan dengan yang terakhir ini kita temukan juga gambarannya lebih kuat dalam puisi “Tuhan dan Kau Tidak Libur” dan “Nirmala”.
Kedua nasihat itu dikuatkan dengan fakta yang getir: kepergian kekasih. Akan tetapi optimisme itu koyak karena ia bukan robot melainkan manusia yang memiliki kehendak personal, “ia ingin merapal doa dari bibirnya sendiri. | Ia ingin memanen rindu dari bola matanya sendiri.” Apa yang rasional, objektif, ego yang menunjukkan realitas sekaligus menyuarakan super ego, menjadi sesuatu yang tersisih karena pada momen yang sama rasa, subjektif, id, sedang menguat.
Mari sejenak kembali ke judul puisi yang memberikan informasi bahwa ia lantas “meminjam wajah puisi” dan mencoba melihat wajahnya sendiri dengan bercermin. Sayangnya, puisi yang merupakan “cara merayakan”, merupakan “rumah”, merupakan “cara bertahan”, ternyata menyimpan ironinya sendiri: ia tidak menunjukkan wajah riil, ia menunjukkan topeng pinjaman, “Patah hati selalu nisbi dan kita pandai berpura-pura.”
Puisi lantas menjadi sesuatu yang asing alih-alih rumah nyaman, riang perayaan, atau cara untuk bertahan. Puisi lirik, yang kerap diyakini sebagai medium ekspresi rasa, di dalam puisi mendadak banal, situasi yang digambarkan dengan cara lain dalam baris-baris puisi “Tanda Baca” secara simbolis melalui sanggahan ibu bahwa si aku “tak pernah belajar | tanda baca. Ada tanda elipsis panjang | yang memisahkan keyakinanmu dan keraguannya”.
“Keyakinanmu” berbasis rasa, subjektif, “keraguannya” adalah fakta, objektif. Tanda elipsis adalah simbol pertentangan dua hal tersebut, pertentangan yang sama yang membuat ia mengeluh bahwa dalam puisi:
Tidak ada hujan bulan ini. Tidak ada celana yang membawa nama ibu. Tidak ada Aku di mana-mana.
Kita lantas sadar bahwa puisi hadir dengan medium bahasa. Setelah melewati tahap imajiner dalam terminologi Lacan, kita dikenalkan dengan bahasa sebagai sesuatu yang mesti memuat arti: “kata-kata terseok meminta makna” (“Kemacetan di Ibu Kota”). Melihat situasi ia dalam puisi ini yang berhadapan dengan ego sebagai prinsip realitas dan super ego sebagai kumpulan nasihat dari luar, sementara “realitas” yang dia harapkan adalah wajah jujur personal melalui peminjaman “wajah puisi”, satu hal luput dari pertimbangan ia adalah bahwa bahasa yang ia gunakan untuk menulis puisi itu sendiri tidak tak terpengaruh oleh ego dan bayang super ego.
Psikoanalisis percaya bahwa rasa, yang sangat erat dengan id, cenderung peradaban waspadai dan curigai karena ia kaos, tak bisa sepenuhnya—meski terus-menerus diupayakan—dijinakkan, termasuk melalui doktrin agama, hukum, dan–secara lebih halus melalui–kontrol bahasa. Problem yang ia keluhkan dalam puisi di atas berupa ketidakmemadaian bahasa kemudian bisa dirunut pada proses konstruksi kata yang dalam hal ini menyusun puisi.
“Menautkan sesuatu dengan kata-memuat-gagasan tidak sama dengan menjadikan sesuatu itu berpindah ke dalam kesadaran”, kata Freud dalam “The Unconscious”.1Sigmund Freud, “The Unconscious”, dalam The Unconscious (London: Penguin, 2005), hal. 84.“Tindakan itu hanya menjadikan situasi tersebut dimungkinkan dan dengan demikian tindakan itu sekadar karakteristik sistem prakesadaran.”
Dengan kata lain, jika puisi lahir melalui bahasa dan bahasa lahir dari proses berpikir, proses berpikir itu sendiri sudah dikenai sensor super ego sehingga apa yang pada akhirnya kita temukan dalam bentuk puisi belum tentu—tetapi memang memiliki potensi—sama dengan apa yang memang ingin penyair ungkapkan. Potensi hadir terutama karena posisi tindakan tersebut ada di sistem prakesadaran sehingga supaya dimungkinkan untuk mencapainya maka kita membutuhkan tafsir. Akan tetapi tafsir juga tidak memberi jaminan akan membawa kita mencapai titik awal, ia hanya menjamin membawa kita mencapai sesuatu, bisa titik awal ataupun ufuk yang lain.
Hal tersebut digambarkan dengan sangat bagus dalam baris:
Itulah gamangnya kata. Bilangnya begini, maksudnya bagaimana?
Sampai akhir, ia tak merasa puas dan puisi ini ditutup dengan muram sebagaimana dalam ungkapan yang kurang lebih sama juga diungkapkan dalam pengantar:
kau menulis kata-kata, tapi mereka tetap tidak bisa menyelamatkan kalian berdua.
Sebagaimana tergambar di atas, kita boleh menganggap bahwa puisi ini memotret ketidakmemadaian bahasa pada tahap simbolik dalam terminologi psikoanalisis Lacan, meski pada puisi lain, “Plastikos”, kita menemukan ketidakmemadaian itu ditautkan dengan penerimaan liyan alih-alih diri sendiri sebagai subjek. Ketidakmemadaian itu menunjukkan satu titik di mana puisi tidak lagi menjadi rumah yang dalam situasi lebih ekstrem digambarkan dalam “Menyambut Rindu di Pagi Buta”:
aku lantas membuka pintu. menyambut setan pagi sembari memungut kata-kata untuk cadangan puisi malam nanti, sebelum mereka berangkat piknik dan lupa alamat pulang.
Pada situasi ekstrem imajiner ini kata-kata bukan lagi tidak memadai melainkan mereka sendiri memang gagal hadir, “piknik | dan lupa alamat pulang”. Kata-kata yang gagal membentuk puisi dianalogikan dengan kata-kata yang gagal pulang ke rumah.
Ada situasi mirip dan memiliki tautan dengan dua situasi di atas disebut dalam puisi “Penyair yang Jatuh Cinta” sebagai “kematian puisi”. Kita bisa merekonstruksi cerita bahwa si penyair dalam puisi ini adalah “kekasih yang pergi meninggalkan tanda baca” dalam puisi “Ia Meminjam Wajah Puisi”. Kematian puisi si penyair—berdasarkan konteks dan selaras cerita yang kita rekonstruksi adalah pria—menyimbolkan puisinya sebagai tidak lagi memiliki makna bagi si ia. Di akhir puisi, si penyair pria kemudian membawa “pusara puisinya” ke ufuk lain, yakni perempuan lain, “perempuan itu”.
Mau tidak mau kita kemudian akan terdorong meyakini intertekstualitas dengan puisi “Kamar Mandi dan Peluru yang Terpantul di Empat Sisi Dinding”, terutama bagian ke-4:
aku menembakkan cemburu ke dinding yang terpantul justru puisimu— yang terbit di surat kabar dan jadi paling tenar orang-orang dan kau sendiri tidak pernah memberinya judul. aku membuatkannya untukmu sekarang juga: “Laki-Laki yang Kawin dengan Anjing”
Pria penyair dalam puisi sebelumnya bisa kita identikkan dengan pria penulis puisi dalam puisi ini. “Laki-Laki yang Kawin dengan Anjing” mengingatkan kita pada judul cerpen Kuntowijoyo dengan perubahan: jika sosok pasangan dalam cerpen terkait adalah peri, maka di puisi ini peri digantikan Anjing dan jika masih merunut cerita yang kita rekonstruksi maka sosok anjing ini identik dengan sosok “perempuan itu”.
Dalam pengantar, Aya memosisikan ibu dan puisi sama-sama sebagai “rumah”. Selaras dengan itu, tema kepulangan atau perjalanan menuju rumah, kenangan, dan masa kecil berulang hadir pada puisi-puisi dalam antologi sebagaimana juga pertentangan kehendak dengan keharusan.
kepalaku ingin terus jadi pejalan, sementara kaki dan lengan dan sisa tubuh yang bisa kupungut tak mau lagi lebih jauh dari pulang. "Menjemput Pulang"
“Kepala” merupakan simbol rasio yang selepas kenal dengan dunia luar–dalam psikoanalisis fase setelah mengenal keluarga–lantas mau tidak mau harus mempertimbangkan kehendak masyarakat yang ternyata bertentangan dengan kehendak personal untuk “pulang”. Kehendak masyarakat ini tersirat dalam kehidupan kontemporer disimbolkan salah satunya oleh kehadiran media sosial dalam puisi “Kekinian” yang menyodorkan ironi: di satu sisi dia “percaya setiap orang boleh memilih menjadi apa”, tetapi di sisi lain dia ingin “dipuja sosialita dan kekasih lama” yang berarti pada akhirnya dia terkungkung oleh harapan mereka yang berada di luar dirinya. Pada titik ini Aku–dengan A kapital sebagai tanda subjek sadar yang sampai tataran tertentu berkuasa atas dirinya sendiri seperti ditampilkan ketiadaannya dalam baris puisi “Ia Meminjam Wajah Puisi”–menjadi hanya aku.
Lebih jauh, situasi pertentangan yang tidak nyaman tergambar kuat dalam puisi “Jam Istirahat”, situasi “di mana-mana tak ada tempat untuk sembunyi” atau dalam puisi “Menjadi Pisces” di mana “cahaya adalah bahaya”. Pada puisi yang sama juga kita temukan kesejajaran antara ibu dengan tempat pulang.
Pada titik itulah kita kemudian menemukan satu analogi yang sangat khas dalam tafsir psikoanalisis:
Tapi kita sama-sama tahu, kau tunawisma dan satu-satunya tempat kembali adalah rahim ibu. "Riwayat Puan Kelana"
Fantasi kembali ke rahim ibu biasa ditafsirkan sebagai fantasi hasrat untuk melarikan diri dari dunia, bahwa “hidupku sangat tidak bahagia sehingga aku mesti kembali ke rahim ibu”.2Sigmund Freud, “From the History of an Infantile Neurosis [The ‘Wolfman’], dalam The “Wolfman” and Other Cases (London: Penguin, 2003), hal. 298.Sementara dalam risalah lain, Civilization and Its Discontents,3Sigmund Freud, Civilization and Its Discontents (London: Penguin, 2004), hal. 36.Freud menganalogikan rahim dengan rumah karena rahim adalah “tempat tinggal pertama”. Penafsiran ini dalam puisi terkait dikuatkan oleh baris-baris sebelumnya di mana kita temukan ungkapan sambutan kepulangan dan imajinasi si kau berubah menjadi “gadis cilik | berpipi labu yang riang.”, citraan yang selaras dengan gambaran aku dalam puisi lain:
sementara aku lebih suka bertelanjang kaki menuju masa kecil dan angan-angan ibu. "Ingatan Seorang Kawan"
Atau dalam puisi lain yang menyajikan monolog sang ibu sekaligus dalam monolog tersebut memuat dialog sang ibu dengan anaknya:
Beranda kini satu-satunya tempat wisata dan Masa Kecil adalah wahana favoritku "Menanam Jagung di Rumah Kita"
Dengan menjelajahi tema-tema tersebut, kita pada dasarnya menemukan fase-fase hidup dengan tautan bahasa sebagai pokok dalam terminologi psikoanalisis Lacan. Bermula dari masa kecil, momen ketika bahasa adalah nonsens dan justru karena itu kita mendapatkan kenikmatan dari bermain-main dengannya. Berlanjut masa simbolik tempat kita belajar bahasa sebagai kumpulan kata bermakna dengan makna hadir sebagai akibat adanya relasi antara satu kata dengan kata lain. Bahasa menjelma menjadi ruang tempat perabotan ditata dengan tertib.
Berbasis ketertiban yang sama dan pemaknaan yang sama, bahwa kita memiliki makna hanya disebabkan relasi kita dengan orang lain, kita lantas terdorong menjalin relasi dengan orang lain sehingga berakhir membentuk komunitas-komunitas–untuk membedakannya dengan horde, gerombolan, yang terbentuk pada fase primitif manusia–penyusun peradaban yang tertib: keluarga, masyarakat, negara. Ketika melibatkan emosi sampai tataran tertentu, relasi itu bergerak kembali ke bahasa primitif yang sebelumnya direpresi dalam ketaksadaran dan kita mendapati diri berjumpa kembali dengan nonsens. Bahasa yang teratur dan memiliki arti lugas sebagai media komunikasi menjadi “gamang”, “bilang begini, maksudnya bagaimana?”, satu hal yang sejauh kita tangkap dari teks-teks puisi dalam antologi ini juga melibatkan ketidakmemadaian pada tataran lebih kecil dari kata, yakni tanda baca, sebagaimana tergambar terutama pada puisi “Tanda Baca” dan “Sudah Sampai di Mana Kita?”. Kita ingat bahwa tanda baca adalah bagian dari upaya tulisan memindahkan aspek-aspek penyerta kata dalam kelisanan untuk memperkecil kemungkinan salah paham.
Momen tersebut mirip–tetapi memiliki perbedaan signifikan–dengan momen masa kecil sejauh kita percaya memori yang mencatatnya. Jika bahasa menciptakan kenikmatan bagi anak kecil justru karena ia sebuah permainan yang fondasinya nonsens, maka nonsens pada kali kedua memantik rasa negatif: setelah memasuki masa simbolik (secara sederhana berarti setelah belajar bahwa kata harus memiliki arti dan arti dihasilkan dari relasi dengan kata lain), mau tidak mau otak menerapkan logika pada bahasa dan menolak nonsens.
Pada titik ini tafsir menjadi satu upaya memenuhi tuntutan rasio akan ketertiban bahasa, bukan dengan mengembalikannya pada ketertiban bahasa komunikasi yang lurus, melainkan dengan sekadar mengubah status nonsens menjadi bermakna. Jika pun kita mengakui bahwa menulis karya sastra adalah satu upaya penulis mengomunikasikan gagasan, bahwa penyair adalah komunikator dan pembaca puisi–termasuk kritikus sastra–adalah komunikan, maka puisi dengan mode komunikasinya yang merayakan ketaksaan–satu hal yang justru sejak awal sudah membuatnya bertentangan dengan karakteristik bahasa komunikasi umum, kecuali dalam aliran puisi tertentu misalnya kebanyakan penyair Lekra yang puisi-puisinya kita baca dalam antologi Gugur Merah (Yogyakarta: Mera Kesumba, 2008)–memaksa kita untuk memandangnya sebagai mode komunikasi khusus.
Kita boleh percaya jika fase hidup ditakar oleh relasi kita dengan bahasa, apa yang menanti di seberang kata dan tanda baca adalah puisi. Akan tetapi puisi tidak pernah menjadi milik kita sebagaimana buku setelah kita beli lantas menjadi milik kita lengkap dengan pengetahuan statis dan tuntas tentangnya: ukuran 11×19 cm, kover warna biru, tebal 120 halaman. Puisi, sebagai teks yang memuat makna, tidak pernah bisa benar-benar kita genggam baik kita penyair ataupun kita pembaca, ia hanya pinjaman entah dari mana seperti legenda Medusa yang tiba-tiba hadir dalam kehidupan kita. Setelah peminjaman pertama, kita mungkin kembali ke tanda baca dan kata dengan lapis kesadaran—atau ketaksadaran—baru lantas kembali tiba di seberang yang lain dan melakukan peminjaman kedua kalinya.
“Hidup hanya menunda kekalahan”, kata Chairil dan Aya kutip dalam pengantar. Setiap kita mungkin memiliki tafsir masing-masing tentang “kekalahan” tersebut, tetapi Aya—dan karakter dalam puisi-puisi di dalam antologi ini yang bisa saja merujuk pada dia penyair ataupun kita pembaca—memilih menafsirkannya sebagai momen ketika pilihan cara “bertahan supaya tidak kalah” berupa menulis puisi sudah tak lagi mempan. Selaras obrolan yang sudah lewat, kita tahu sebabnya terkait ketidakmemadaian bahasa, terkait sensor bahasa yang dipaksakan dari luar dan ketika kita sadar akannya maka pikiran kita sudah terlanjur melakukan internalisasi sensor tersebut.
Dengan kata lain, momen ketika kita sudah berada di batas peminjaman. Mengingat kembali Lacan, kita membayangkan hidup sebagai upaya terus-menerus menjelajah peta buta mencari jalan pulang demi memperoleh sesuatu yang kita rindukan di dalam rumah. Akan tetapi pada satu titik kita mungkin sadar bahwa titik merah pada peta yang kita bayangkan sebagai rumah pada dasarnya hanya sisa-sisa memori yang rapuh, sesuatu yang fondasinya lebih merupakan kekhawatiran akan realitas daripada realitas itu sendiri: “ingatan masa kecil” yang “tidak membuat [kita] menangis”. Freud menyebut memori semacam itu sebagai memori saringan, memori yang menyimpan hanya poin-poin yang membuat kita nyaman.
Maka repetisi perjalanan dan ketibaan di satu ujung pasti tak memuaskan kita karena rumah yang kita cari pada dasarnya adalah ilusi dan jalan yang kita tempuh, sejauh dikaitkan dengan niatan menempuh jalan tersebut, hanya fatamorgana. Ironisnya, ilusi itu justru hadir untuk membuat kita mempertahankan kehidupan dengan cenderung membuat kita tetap menganggapnya sebagai memori sebuah realitas lampau dan pada “memori masa kecil” itulah kita percaya bisa kita temukan “pintu darurat”. Dalam hal ini Chairil tampak sahih ketika mengatakan bahwa
hidup hanya menunda kekalahan tambah terasing dari cinta sekolah rendah dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah "Derai-Derai Cemara"
Karena “cinta sekolah rendah” adalah simbol memori tentang sesuatu yang memberi kita tujuan, rumah yang selalu kita cari jalan menuju ke arahnya sepanjang hidup sekaligus membuat kita merasa “kian terasing” tiap kali kita merasakan kenyamanan sejenak akibat perasaan sudah mencapainya. Apa yang “tetap tidak diucapkan” adalah sesuatu yang berada di luar bahasa, memori riil yang direpresi dalam ketaksadaran. Kesadaran tentang adanya penghuni ketaksadaran itulah yang “pada akhirnya” membuat “kita menyerah”.
Hasrat kita untuk mengalami “penyatuan” dengan pasangan, misalnya, pada dasarnya didorong oleh memori yang mengusik kerinduan kita terkait kenyamanan lampau berupa penyatuan dengan ibu dalam rahim. Akan tetapi apa jaminan bahwa kita dalam realitasnya dulu merasa nyaman saat berada dalam rahim? Apa tolok ukur kita membandingkan kenyamanan bersama pasangan dengan kenyamanan rahim yang memori kita sodorkan?
Pada akhirnya adalah ketidakpastian yang lantas menyeret pesimisme. Akan tetapi melalui cara bertahan seperti yang Aya—dan mungkin juga kita—pilih, yakni menulis puisi, kita boleh berharap kekalahan yang mesti itu bisa kita reduksi dengan memberinya makna lain melalui perangkat khas sastra yang kita kenal sebagai anakronisme: silap waktu tempat masa lalu dan masa kini saling menyalip.
Anakronisme memang tidak menyurutkan repetisi perjalanan menuju rumah ilusi, tetapi ia menciptakan rumah lain menandai titik temu dua masa yang jauh pada satu titik di tengah-tengah peta, mungkin pada sebuah “kota semagis Tubaba”: tidak sepenuhnya terbebas dari ilusi memori–yang memberi obat penenang temporer dengan menyembunyikan poin-poin tidak menyenangkan di dalam ketaksadaran sekaligus menuntut kita membayar harga untuk layanan itu dengan membuat kita terus-menerus merasa “ada yang hilang dan kita tidak tahu itu apa”–tetapi juga tidak sepenuhnya terlepas dari realitas. Tidak semua kita memang mau atau mampu menemukan “rumah baru” ini, karena “banyak pura-pura yang menyaru | di sepanjang jalan”, banyak “cuma-cuma yang menyaru | sebagai jalan pulang”, dan jalan yang ditempuh
[…] menyajikan banyak persimpangan dan penunjuk jalan palsu. "Dendam yang Tergesa-Gesa"
Namun sebagaimana dikatakan dalam puisi “Menjadi Pisces”, “tidak ada jalan yang tidak berbahaya” atau dalam puisi “Almanak di Tubuhku” dan diulang dengan penekanan dalam puisi penutup antologi berjudul “Belum Selesai”, “kita sudah menempuh bahaya ini berkali-kali”. Selain itu, ketibaan di sana pun memang tidak berarti kita menghapus kekalahan, tetapi ketibaan itu sedikit banyak memberi makna lain pada “kekalahan” sebagaimana kita membayangkan Sisifus di ujung risalah Albert Camus: “pada akhirnya kita menyerah”, tetapi kita bahagia karena kita bisa beristirahat di dalam rumah. Salam.
Komunitas Imajiner, 2022.