1
ALFIN RIZAL pertama-tama adalah seorang penyair dan dia tetap sebagai penyair bahkan ketika menulis novel. Novel dia, Jauh di Mata Nekat di Hati (Gradien Mediatama, 2020) bukan sekadar rangkaian kisah beralur dengan narasi prosais, melainkan juga puitis dan memuat puisi.
Namun, kepuitisan itu tidak sampai membuat mode bahasa dia gunakan menjadi sepenuhnya ekspresif alih-alih komunikatif ilaharnya sebuah prosa. Kepuitisan bahasa novel tidak sampai membuat kita mempertanyakan identitas keprosaannya dan tampaknya karena itu siapa pun bisa dengan mudah memahami novel ini secara umum.
Contoh paling mudah, kita menemukan epigraf puitis dan layak-kutip pada awal setiap bab berjumlah 31 bab. Kita juga menemukan kutipan puisi Sitok Srengenge pada tengah narasi bab 2, kutipan puisi Sapardi di bab 24, dan satu puisi sepanjang 4 halaman pada bab 28, puisi disebutkan “untuk Tania”, sementara kita bisa menemukan puisi sama dalam antologi puisi cinta Alfin Rizal Manusia Bermiliar-miliar, Cuma Kamu yang Bikin Ambyar (mediakita, 2020) berjudul “catatan panjang tentang rindu” dengan tambahan informasi puisi tersebut “untuk mutiasenja”.
Kita boleh bertanya-tanya apakah itu berarti “Tania” dalam novel sama dengan “mutiasenja” dalam antologi puisi, konsekuensi yang jika diperpanjang akan berujung mengidentikkan “aku” dalam novel dengan “Alfin Rizal” di dunia riil. Akan tetapi biar itu menjadi urusan pembahas lain karena, selaras ucapan T. S. Eliot bahwa “penemuan tagihan penatu Shakespeare tak akan ada banyak gunanya bagi kita”, maka pelacakan tersebut tak akan ada banyak gunanya juga sejauh yang ingin kita obrolkan di sini adalah karya Alfin Rizal dan bukan biografi dia. Lebih penting bagi kita, misalnya, mengeluhkan bahwa puisi terkait seluruhnya ditulis dengan huruf italik dalam Jauh di Mata Nekat di Hati sehingga membuat beberapa barisnya agak sukar kita—dan boleh kita bayangkan juga Tania—pahami, kesukaran tak muncul saat kita membaca puisi terkait dalam antologi Manusia Bermiliar-miliar, Cuma Kamu yang Bikin Ambyar tempat hanya bagian-bagian tertentu puisi tersebut ditulis italik.
Bahasa puitis lain bertebaran dalam novel terutama dalam bentuk solilokui yang memang diberi ruang seluas-luasnya karena penggunaan sudut pandang orang pertama. Beruntung kita tak menemukannya dalam bentuk dialog kecuali dalam momen “gombal” tertentu, karena kalau kita menemukannya berlebihan maka novel bisa tidak lagi realis dan akan cenderung genit: kita tak lazim bercakap sehari-hari dengan kalimat-kalimat yang mengingatkan pada baris-baris liris Sitok Srengenge ataupun Alfin Rizal. Apa yang lebih kerap terjadi sebaliknya: baris-baris puisi mengambil bentuk vernacular, bahasa harian.
Karena itu sempat ada masa dalam kesusasteraan dunia—yang mencakup juga kesusastraan kita, kecuali kalau kita mengidap arogansi bahwa kesusastraan kita eksklusif dalam tempurung—terjadi perdebatan antara puisi sebagai susunan bahasa harian ataukah bahasa khusus. Dalam kesusastraan Inggris misalnya diributkan oleh William Wordsworth, dalam kesusastraan kita kurang lebih mendorong apa yang kemudian dikenal sebagai puisi mbeling.
Perdebatan itu tak pernah selesai dan memang tak perlu tuntas. Puisi terbukti bisa sama bagusnya baik disusun dengan bahasa harian ataupun bahasa khusus, karena apa yang lebih berperan adalah kecakapan sang penyair mengolah bahasa itu sendiri. Maka kita mungkin saja sama takjubnya membaca puisi-puisi Goenawan Mohamad dengan membaca puisi-puisi pamflet Rendra, puisi-puisi Usman Arrumy dengan puisi-puisi Remy Sylado, puisi-puisi Coleridge dengan puisi-puisi Ginsberg.
Hal itu juga lantas membuktikan kesusastraan semakin menjauh dari pakem bentuk mutlak seperti kita temukan pada periode klasik. Irisan genre prosa dan puisi kian mengabur seiring eksperimen berkelanjutan para pengguna bahasa sehingga pada akhirnya kita temukan puisi prosais dan sebaliknya prosa puitis, sebagaimana novel Alfin Rizal. Suara-suara pemuja bentuk pada akhirnya akan semakin sayup meski kita juga percaya suara itu tak akan dan memang tak boleh hilang.
Karena sastra, kita boleh menduga dengan bijak, tampaknya memiliki fleksibilitas yang di dalamnya kita dengar Chairil Anwar berbisik: “semua musti dicatet, semua dapat tempat.”
2
Lantas, di mana kita bisa menempatkan novel Jauh di Mata Nekat di Hati dan penulisnya, Alfin Rizal dalam peta kesusastraan, atau katakanlah, literasi kita?
Jawaban mungkin akan membosankan sekaligus tak bisa pendek dan bisa jadi Alfin Rizal, sebagaimana banyak penulis muda kontemporer lain, tak membayangkan hal tersebut saat mereka membuat karya. Kita bisa berdebat kusir dikotomi fiksi pop dan sastra tinggi, kita bisa baku cakap berlarut-larut boleh tidaknya novel berbaju—atau minimal berhiaskan—puisi. Tulisan ini lebih memilih melintas jalan setapak bertolak dari keyakinan sederhana ketika sebuah novel sudah dipublikasikan dan disambut pembaca, kerja paling sederhana adalah melakukan apresiasi.
Dengan kata lain, karya tersebut pertama-tama harus diberi tempat di dalam, bukan dibiarkan menunggu di depan gerbang saat petugas yang merasa punya hak untuk menyortir siapa-siapa boleh masuk berbusa-busa soal kriteria di halaman. Sementara itu, penentuan karya terkait dimasukkan ke dalam ruangan berisi karya-karya bagus atau karya-karya buruk, atau justru ruang-ruang dengan berbagai klasifikasi lain terbayangkan, bisa dilakukan di “tempat yang bersih dan cahayanya terang.”
Novel Alfin Rizal adalah cerita tentang tokoh masa kini tanpa berpretensi menggagah-gagahkan diri menjadi novel historis dengan mengusung tema musiman. Ia tampaknya tidak disusun dengan niat agung membela pop melalui sastra: ia berbicara tentang cinta, pada zaman kini, tema yang bisa kita temukan baik dalam roman Balai Pustaka ataupun fiksi-fiksi Ilana Tan.
Dengan zaman kini yang dipersempit di Yogya, novel menawarkan lanskap sudah terpaut jauh dengan yang kita temukan dalam novel-novel klasik S.H. Mintardja. Di dalamnya orang patah hati dengan sederhana, tanpa ada adegan mengacungkan keris, di dalamnya pria tidak jadi berpasangan dengan wanita pujaan lantas keluyuran, bukan ke luar pulau atau ke puncak gunung dan belajar ilmu gendam, melainkan ke kafe-kafe. Jika diringkas dengan deret beberapa kata, Yogya yang akrab hadir dalam novel Alfin Rizal dalam tiga hal: buku, musik, dan kopi.
Dan tiga hal itu penting bagi karakter-karakter dalam novel sebagaimana mungkin bagi kita. Sebelum itu, menarik melihat bahwa hero cerita ini tidak kita ketahui namanya selain hanya sebagai “aku,” bahkan kita tak menemukan bocoran nama saat dia berkenalan dan Tania menyebutkan nama, kita hanya diberitahu bahwa “kusebut namaku” (hal. 77). Tania, sebaliknya, si aku ingat
Saat menemukan nama-nama baru. Alasannya sama: ia menyukai nama. Semua benda yang ia miliki pasti punya nama. Ada Riri, catatan harian miliknya yang hingga sekarang masih terus beranak-pinak. Kubayangkan kini ia sedang bersama Jarvis—ponsel miliknya. Serta benda-benda lain dengan namanya masing-masing.
Jauh di Mata Nekat di Hati, hal. 87
Kita boleh menduga alasannya sederhana: untuk lebih mengakrabkan karakter dan kisah dengan pembaca, karena dengan tak memberi nama untuk hero kisah maka pembaca akan lebih mudah larut dan menjadi hero itu sendiri, bahwa kisah si aku dalam novel adalah kisah yang bisa siapa saja alami dalam kehidupan riil.
Namun mungkin ada penjelasan lain yang tidak sesederhana itu. Mengetahui nama adalah pertanda kuasa. Orang-orang primitif di zaman lampau percaya ketika nama kita musuh ketahui maka kita akan kalah oleh musuh tersebut, kepercayaan yang jejaknya saat ini kurang lebih bisa kita temukan dalam metode pelet dan gendam. Maka kita boleh menduga bahwa Tania tipe karakter yang suka memiliki kekuasaan penuh terhadap “milik”, hal yang menjelaskan kenapa ketika dia mendengar kabar keakraban si aku dengan Gita lantas bergegas kembali pada Riko: dia tak lagi melihat kemungkinan “memiliki” si aku sepenuhnya.
“Sejak dulu, aku memang suka perempuan berkacamata, terutama jika ia memegang buku!” begitu kata si aku di halaman 33 mengisahkan kesan pertama perjumpaan dia dengan Tania di toko buku. Penanda waktu “dulu” membawa kita pada kisah cinta-tak-(ter-)sampai(-kan) si aku terhadap Lira pada saat SD. Si aku menganggap Lira berbeda dari teman-teman perempuan dia yang lain baik dari segi fisik maupun sikap, termasuk bahwa Lira lebih suka “membaca buku pada jam istirahat” daripada bermain sebagaimana siswi-siswi lain.
Maka Tania sejak awal hadir sebagai sosok khas, kesan yang kita temukan di banyak tempat dalam narasi si aku sepanjang buku termasuk ketika si aku secara literal mengatakan bahwa Tania “berbeda dengan perempuan pada umumnya, atau setidaknya perempuan yang pernah kukenal” (hal. 123). Tentu kita boleh dengan nakal menganggap hal itu sebagai keluhan: jika si aku menganggap perempuan “memegang buku” dan “membaca” itu tampilan visual beda, tidakkah dengan demikian secara tersirat keakraban perempuan dengan buku dianggap langka?
Namun kita juga boleh mengabaikan anggapan itu dan lebih memilih melihatnya sebagai konsekuensi dari situasi jatuh cinta yang dalam istilah Sigmund Freud “hanya memberikan ruang untuk si pencinta dan objek yang dia cintai”. Artinya, karena si aku sedang jatuh cinta, maka dia menyematkan segala atribut khas terhadap Tania sebagai objek cinta dia untuk membuat perempuan itu istimewa, berbeda dari perempuan-perempuan lain. Hal itu dilakukan semata supaya dia bisa menjelaskan alasan dia mencintai dan kelayakan objek tersebut untuk dicintai, bahkan ketika sebenarnya atribut tersebut sama sekali bukan sesuatu yang khas. Alasan jatuh cinta kerap kali diciptakan belakangan setelah jatuh cinta itu terjadi: akibat dirasionalisasi menjadi sebab.
Setelah itu, si aku yang mengaku “bukan pembaca buku yang baik dan lebih senang menghabiskan waktuku untuk mengobrol atau menonton film” (hal. 53) menjadi kenal dengan judul-judul buku Elif Shafak (melalui Tania si perempuan berkacamata) atau Seno Gumira, Oscar Wilde, Nina George (melalui Mas Eko si penjaga toko buku). “Pertemuan” dengan banyak pengarang melalui jalur kebetulan yang bermula di toko buku ini mengingatkan pada kisah Elif Shafak saat mengisahkan “pertemuan” kebetulan pertama dia dengan karya-karya Najib Mahfuz gara-gara seorang penjual buku lawasan di Turki. Buku, apa boleh buat, memiliki cara sendiri-sendiri untuk sampai ke tangan pembaca.
Sementara itu, John Lennon sudah menyambut kita bahkan dari bab pertama yang bersama satu bab berikutnya masih merupakan prolog cerita si aku masa kini sebelum membuka masa lalu, “cerita yang semula jadi tahanan terpendam”. Berlanjut di bab-bab selanjutnya—yang harus kita baca sambil tetap mengingat bahwa si aku adalah juru kisah yang menceritakan masa lalu sehingga memungkinkan kita silap menyusun kronologi peristiwa-peristiwa novel—kita temukan banyak yang lain: The Beatles, Lana Del Rey (aku kenal melalui Tania), Jason Ranti, Aerosmith, sampai Iwan Fals yang empat baris lagunya Nak dikutip di halaman 182.
Si aku mengatakan bahwa buku, musik, film, kopi, dan rokok adalah “hal-hal yang lebih sederhana” yang bisa mengalihkan pikiran dia dari “hal-hal membingungkan” dalam hidup, termasuk kedatangan kembali Tania setelah hilang tanpa kabar. Kita boleh percaya sebagaimana juga boleh menduga bahwa tanpa si aku sadari, semua itu lebih dari sekadar pengalih perhatian. Si aku, misalnya, mungkin lebih banyak membaca buku setelah perkenalan dia dengan Tania, tetapi kemudian dia disebutkan bahkan membaca buku seorang penyair setiap pagi (hal. 215), aktivitas yang terlalu hebat untuk menjadi sekadar.
Pada akhirnya, buku, musik, dan kopi, menjadi kesatuan di kafe, tempat yang makin sering si aku kunjungi setelah kepergian Tania. Kafe dan warung kopi di Yogya sering menjadi tempat diskusi buku atau pembacaan puisi dan si aku juga dikisahkan sering mengikuti acara-acara tersebut. Artinya kalaupun pada awalnya kafe adalah tempat pelarian, tujuan-tujuan lain bermunculan seiring waktu dan memperkuat keakraban si aku dengan buku dan juga dengan banyak orang, termasuk Gita yang dengannya si aku “sering bertemu dan menghabiskan malam dari satu kafe ke kafe yang lain” (hal. 193).
Maka kita bisa mengatakan bahwa pada satu momen dalam kehidupan dia di Yogya, kafe menjadi tempat hidup si aku “berpusat”, tempat bagian-bagian kecil hidup dia bertemu dan berkumpul. Gambaran semacam itu, sampai titik tertentu, bisa dikatakan gambaran umum peran kafe dan warung kopi di Yogya dalam kehidupan riil saat ini, bahwa kafe dan warung kopi pada dasarnya memiliki “peran kultural” tertentu bagi orang-orang tertentu.
Kritikus Terry Eagleton pernah menulis merujuk pendapat Jurgen Habermas, bahwa kafe adalah dunia institusi sosial yang merupakan salah satu “ruang publik” tempat para individu partikelir “berkumpul demi pertukaran wacana masuk akal yang bebas dan setara”. Eagleton memang berbicara tentang pembentukan kekuatan politik borjuis di Eropa pada abad ketujuhbelas dan kedelapan belas, tetapi kita bisa menerapkan pendapat tersebut pada masa kini dengan sedikit modifikasi: kafe dan warung kopi masih merupakan tempat sama, ruang publik tempat wacana apa pun dipertukarkan secara bebas, baik memang memiliki tujuan “politis” ataupun “partikelir”. Peran semacam itu, setidaknya di Yogya, didukung oleh jumlah kafe dan warung kopi yang—kian bertambah—banyak dan keakrabannya dengan literasi. Poin terakhir ini, dalam Jauh di Mata Nekat di Hati tergambar bukan hanya dari seringnya kafe dijadikan tempat diskusi buku dan pembacaan puisi, juga dari salah satu kafe tempat si aku dan Gita nongkrong, Prada Coffe yang disebutkan “berdampingan dengan toko buku langgananku” (hal. 206).
Maka bukan tanpa alasan misalnya si aku bertukar obrolan dengan Gita soal Gita putus dengan pacarnya, Riko, di kafe sebagaimana si aku memutuskan menemui Tania sebagai reaksi atas email yang dia terima setelah si aku mengobrol dengan Edoy di warung kopi. Dua momen tersebut bagian penting ikut mendorong alur novel. Yang pertama menjadi cermin sikap Tania ambil terkait hubungan dia dengan Riko, yang kedua mengantarkan kita pada klimaks cerita.
3
Dari segi fisik, Jauh di Mata Nekat di Hati dikemas dengan visual menarik, lengkap pembatas buku unik dan sepucuk surat puitis memiliki visual indah dari penulis. Ini kekhasan tersendiri yang bisa memancing ketertarikan orang terhadap buku dan karenanya layak ditiru kalau kita memang memublikasikan buku dengan harapan menjangkau pembaca sebanyak-banyaknya. Dari segi konten, sebagaimana sudah dibahas ringkas di atas, melalui kisah kasih aku dan Tania yang tak sampai, novel sukses memotret salah satu sisi kehidupan Yogya masa kini.
Namun, ada sedikit catatan lain untuk novel terkait penyusunan kronologi peristiwa-peristiwa dalam alur. Dengan kata lain, terkait “Cerita”, sebagai istilah teknis yang kita bedakan dari “Alur”. Jika Cerita merujuk pada urut-urutan waktu terjadinya peristiwa-peristiwa, Alur merujuk hal sama tetapi bukan terkait urutan waktu melainkan aspek sebab akibat peristiwa-peristiwa tersebut. Jika Cerita berkaitan dengan durasi, Alur berkaitan dengan logika.
Jauh di Mata Nekat di Hati, sebagaimana si aku katakan dalam dua bab awal, merupakan kisah masa lalu. Kita bisa membayangkan bagian tersebut sebagai pengantar menciptakan “cakrawala ekspektasi” para pembaca supaya mereka bisa memilih satu mode pembacaan saat melahap novel ini.
Dengan menggunakan mode penceritaan semacam itu, si aku memiliki kebebasan pulang pergi dari masa kini ke masa lalu dan sebaliknya sehingga memudahkan penyusunan Alur, sementara bagi pembaca hal tersebut bisa mengurangi kemungkinan cerita monoton. Akan tetapi mode semacam itu tidak tanpa risiko: bagi penulis, dia harus sangat cermat menyusun kronologi Cerita yang menjadi disajikan tidak sepenuhnya linear maju; bagi pembaca, Alur bisa saja menjadi lebih mudah dipahami daripada Cerita.
Ambil contoh bagaimana surat si aku bisa sampai pada Tania atau kisah cinta Tania dengan Riko dan Gita.
Alkisah, Tania menghilang mendadak dari kehidupan si aku. Pada akhirnya si aku menitipkan surat untuk Tania pada Mas Eko, sang penjaga toko buku (akhir bab 20). Sampai dua tahun kemudian tidak ada balasan, sementara Mas Eko sudah pergi dari Yogya, beberapa bulan sebelum genap dua tahun itu, dan menjadi barista kopi di Malang. Lalu suatu hari si aku mendapatkan email dari Tania yang mengatakan bahwa “dua bulan lalu aku baru menerima suratmu” saat dia kembali ke Yogya dan bahwa berdasarkan tanggal dalam surat itu, “sudah dua tahun lebih surat itu menginap di jarak antara kita” (bab 27). Berdasarkan kronologi peristiwa yang kita ingat selintas selaras kronologi penceritaan, bukankah sebelum genap dua tahun usia surat itu, Mas Eko sudah tidak di toko buku?
Kita lantas boleh berimajinasi mungkin Mas Eko menitipkan pesan pada penjaga toko buku pengganti dia untuk menyerahkan surat itu pada wanita yang memiliki ciri-ciri Tania. Akan tetapi ketika si aku dan Tania bertemu (bab 29), Tania mengatakan saat kembali ke Yogya, dia langsung ke “toko buku tempat kita bertemu dulu” dan bertemu Mas Eko yang bercerita banyak tentang si aku. Artinya, kita sebagai pembaca diyakinkan bahwa jalur sampainya surat dari si aku ke Tania memang melalui Mas Eko yang masih merupakan penjaga toko buku. Bagian remang ada pada anakronisme antara masa Mas Eko pindah dari toko buku dengan masa Tania kembali ke Yogya dan mendapatkan surat.
Maka kita susun ulang kronologi Cerita dengan lebih cermat. Ada jeda waktu lumayan antara saat Tania menghilang dengan saat si aku membuat surat, jeda yang tersaji samar karena efek mode penceritaan. Di bab 14 kita mendapatkan sebagian informasi jeda tersebut “berbulan-bulan” (hal. 126), kemudian terjadi peristiwa ibu si aku meninggal. Lalu kita mendapatkan informasi tambahan di bab 18 bahwa “tiga bulan” si aku di rumah setelah ibunya meninggal (hal. 155) dan “beberapa bulan” kemudian berlalu saat si aku memimpikan ibunya. Kemudian pada bab 19 si aku mengatakan “tahun-tahun ini” dia perlahan bisa menerima peristiwa-peristiwa yang menimpanya (hal. 168). Barulah setelah itu dikisahkan si aku memutuskan menulis surat untuk Tania dan menitipkan surat pada Mas Eko.
Setelah itu, di bab 21 disebutkan waktu berlalu “dua tahun” (hal. 178) dan dipertegas informasi “sudah bertahun-tahun” si aku tak mendapatkan kabar dari Tania. Di halaman berikutnya, dikisahkan Mas Eko sudah pindah dari toko buku. Setelah itu, kita mendapatkan cerita si aku dihubungi oleh Gita yang mengajak bertemu, Gita saat itu “curiga dengan Riko” pacarnya. Gita akrab dengan si aku sejak “setahun silam” (hal. 190), pertemuan kembali Gita dengan si aku di Prada Coffe yang kemudian diundur dan berpindah “tiga hari” setelahnya ke Kopi Pitu dikisahkan di bab selanjutnya. Gita mengisahkan break dengan Riko yang, berdasarkan sudut pandang dia, selingkuh dengan Tania. “Seminggu” setelah itu, mereka berjumpa kembali di Prada Coffe (hal. 206) dan Gita mengisahkan mengakhiri hubungan dengan Riko. Setelah itu tidak ada penanda waktu sampai di bab berikutnya kita mendapatkan cerita Gita akan pindah “akhir bulan” ke Bandung (hal. 222) dan “minggu pertama” Gita di Bandung mengirimkan email untuk si aku (hal. 229).
Kemudian hadirlah kisah si aku menerima email dari Tania yang sudah mendapatkan surat dari si aku melalui Mas Eko (hal. 236), mengatakan “baru dua bulan lalu dia tiba di Jogja” dan berdasarkan tanggal maka sudah berlalu dua tahun dari ditulisnya surat itu. Kita lantas boleh berandai-andai bahwa saat semua itu terjadi memang Mas Eko masih menjadi penjaga toko buku, sementara saat si aku mengatakan Mas Eko sudah pindah berbulan-bulan lalu adalah narasi si aku masa kini setelah kisah pertemuan kembali dengan Tania terjadi.
Dua minggu kemudian baru si aku berjumpa Tania dan kita mendapatkan penjelasan dari Tania tentang apa yang terjadi pada dia selama ini. Kita jadi tahu Tania menghilang karena pulang ke Bengkulu, ibunya meninggal seminggu sebelum ibu si aku meninggal. Di bab-bab menjelang Tania menghilang kita mendapatkan informasi saat itu Tania dalam posisi punya mantan pacar, sementara di bab 30 kita tahu Tania sempat pacaran dengan Riko kemudian putus saat tahu Riko selingkuh. Kita boleh menduga saat awal-awal perkenalan si aku dengan Tania itulah saat-saat Tania baru putus dari Riko. Selama itu, mungkin, Gita—yang belum kenal dengan si aku—pacaran dengan Riko.
Kemudian dikisahkan Tania cemburu mengetahui kedekatan si aku dengan Riko, lalu dia memutuskan kembali ke Riko, hamil, lalu menikah. Kalau demikian, menghitung masa perkenalan pertama si aku dengan Gita sesuai kronologi di atas, berarti ada jeda lumayan panjang antara saat kepulangan Tania ke Bengkulu dengan saat dia mengetahui kedekatan si aku dengan Gita, jeda yang sayangnya dikaburkan oleh informasi Tania sebagai “beberapa waktu” setelah dia pulang ke Bengkulu (hal. 260). Sementara itu, mungkin Gita mengetahui Riko berpasangan dengan Tania setelah Riko menikah dengan Tania. Artinya, dalam jeda “dua bulan” masa Tania membaca surat dan membalas, berlangsung kisah Gita mengetahui hubungan Tania dengan Riko, memutuskan break dan kemudian putus, lalu pindah ke Bandung.
Sampai sejauh ini hipotesis-hipotesis ini membuat kronologi Cerita menjadi runtut, tetapi tidak menyelesaikan semua tanya, misalnya selama Riko pacaran dengan Gita, sebenarnya dia tinggal di Yogya atau suatu tempat di luar Yogya bersama Tania (mungkin Bengkulu)? Ataukah perselingkuhan Riko yang membuat Tania putus dengan dia bukan perselingkuhan Riko-Gita?
Sebagian contoh disajikan ringkas di atas, di satu sisi semoga tidak membingungkan dan di sisi lain sangat mungkin silap-baca, dimaksudkan untuk membuktikan hipotesis mode penceritaan yang Alfin Rizal gunakan berpotensi membuat kronologi Cerita menjadi agak rumit dan pada akhirnya mempengaruhi keutuhan Alur novel. Hal tersebut sebenarnya bisa disiasati dengan penanda waktu lebih jelas termasuk peralihan mode pencerita masa kini dan masa lalu.
Pada akhirnya, kita sebagai pembaca sangat mungkin lebih mudah memahami Alur daripada Cerita Jauh di Mata Nekat di Hati. Tentu kita boleh menduga Alfin Rizal sengaja memberikan ceruk-ceruk remang dalam novel sebagai cara dia mengerjai kita sebagai pembaca. Dengan demikian, kita sebagai pembaca juga berhak balik mengerjai dia dengan mengatakan justru karena ada ceruk-ceruk samar seperti sebagian diobrolkan di atas, sekuel novel ini bukan hanya sunah melainkan wajib ada, selain untuk menyodorkan cerita baru kepada kita juga untuk memperjelas ceruk-ceruk samar tersebut.
Karena sebagaimana si aku-narator-hero dalam novel Jauh di Mata Nekat di Hati, kita sebagai pembaca sepakat bahwa bagian-bagian terlalu samar dalam sebuah kisah adalah hal menjengkelkan, baik kisah tersebut tentang sampainya sebuah surat ataupun ghosting seorang wanita. Salam.
Yogya, Komunitas Imajiner, 2021.