Tiap kali membuka ulang buku Bahaya Laten Malam Pengantin (Makassar: Ininnawa, 2008), saya selalu teringat adegan pada awal tahun 2010 ketika saya berjalan kaki santai dari kampus menuju sebuah toko buku terkenal menjual buku-buku lawasan dan baru dengan harga terjangkau di Yogya: Yusuf Agency. Waktu itu mungkin masih musim hujan, di trotoar yang saya lewati mungkin tampak sisa-sisa gerimis, jalanan Yogya masih belum seramai kini dan saya mungkin juga melihat bis jalur 7 yang menjadi langganan setia untuk pulang dan pergi ke perempatan Kentungan sesekali lewat.
Di toko buku itu, di antara buku bekas Macbeth terbitan Penguin, A Tale of Two Cities terbitan Rupa, The Last Dickens edisi hardback dengan jaket kover lusuh, dan tumpukan buku lain yang judulnya tak saya ingat dan karenanya tak penting, saya menemukan nama yang sudah saya kenal dua tahun sebelumnya tertulis pada kover sebuah buku tipis: Aslan Abidin.
Atau mungkin tiga tahun sebelumnya. Saya ingat menyimpan selembar koran berisi beberapa sajak Aslan Abidin saat saya mudik dari pesantren pada bulan Ramadan. Ada dua sajak sangat saya ingat dan kemudian saya kutip disertai catatan kaki sumber dalam cerpen yang saya tulis pada akhir 2007, dikirimkan ke sebuah media, dan tentu saja tidak dimuat. Judul sajak itu “Ritual Kepiluan” dan “Rakyat Perah”.
Lembar koran saya tinggalkan di rumah, tersimpan rapi bersama sobekan-sobekan “Catatan Pinggir” yang saat itu masih berupa dua dari tiga lajur halaman Tempo, beberapa berita tentang dan wawancara Nurcholish Madjid, beberapa tulisan lain Tempo dan Gatra yang saya anggap menarik, dan berita-berita yang merekam sepak terjang Budiman Sudjatmiko muda. Dua kakak saya suka membeli majalah bekas termasuk Tempo dan Gatra, dan sering membeli koran yang juga menjadi bacaan bapak. Bagi saya masa mudik selalu menjadi masa menyenangkan mengobrak-abrik bacaan yang menumpuk selama hampir satu tahun.
Koleksi tersebut mungkin setengah terlupakan ketika kemudian saya merantau ke Yogya dan berkenalan dengan budaya literasi lebih luas dari ruang kamar saya dalam petak kampung di pedalaman Ciamis. Akan tetapi pada dasarnya kita tak pernah benar-benar melupakan sesuatu, kata Sigmund Freud, kita hanya mengendapkannya ke ketaksadaran dan sebagian terlalu kuat sehingga nyangkut di prakesadaran, menunggu pemicu tepat untuk kembali muncul ke kesadaran.
Maka sore di Yusuf Agency pada hari itu memicu memori cerpen gagal muat dan puisi dikutip. Jadilah sore itu saya membaca ulang “Ritual Kepiluan” dan “Rakyat Perah” dalam perjalanan dari perempatan UIN Sunan Kalijaga menuju Kentungan dengan tiga judul buku lain yang tadi saya sebutkan antri giliran baca di tas. Sesampai di pesantren, menggunakan komputer milik teman sekamar, saya mencari-cari cerpen gagal muat berjudul “KTP”, membacanya ulang, dan kembali menghibur diri, seperti biasa dilakukan oleh para penulis pemula sebagai satu bentuk mekanisme defensi, bahwa cerpen itu gagal muat karena terlalu politis, bukan karena buruk.
“Politis”: hal yang bisa dengan mudah diduga dari sajak yang dikutip
kami punya ritual sekali dalam lima tahun yang kami sebut pesta kepiluan. orang-orang berpakaian warna-warni jorok datang kepada kami berbicara tentang keadilan dan kesejahteraan. dan kami bergidik menggigil ngeri mendengarnya. sekali lima tahun kami korbankan jiwa kami ke dalam... "Ritual Kepiluan" (hal. 79)
Dan
tiba lagi saatnya para komplotan pemerah dan penunggang itu datang. mereka berpawai menguasai jalanan dan bergerombol memenuhi lapangan. mereka datang bergemuruh sekali lima tahun, seperti wabah berkala. mereka membujuk kami agar… "Rakyat Perah" (hal. 81)
Cerpen “KTP” saya tulis pada masa beberapa bacaan saya di sela kewajiban memahami tulisan Arab tanpa harakat, belajar komunikasi Jawa lisan, dan melakukan kenakalan-kenakalan khas pesantren di antaranya Madilog, Catatan Seorang Demonstran, Pergolakan Pemikiran Islam, dan Di Bawah Bendera Revolusi. Saya yang waktu itu mengagumi Soekarno, Cak Nur, dan Budiman Sudjatmiko serta berencana selulus pesantren akan kuliah di Yogya sambil membayangkan betapa gagah dunia mahasiswa tempat laku dan pikiran memberi sumbangsih bagi bangsa dan negara: dua nomina abstrak yang waktu itu tampak sangat agung. Kelak ketika saya kuliah di Yogya, saya sadar angan tak selalu sesuai realitas dan teks-teks penyumbang imajinasi dunia mahasiswa dalam benak ternyata memuat semacam Romantisisme, bagian yang justru paling jauh dengan realitas karena sifatnya individual, bertempat dalam kelebat pikiran penulis.
Namun saya tetap mengekalkan memori itu dalam sebuah novel yang draf awalnya saya tulis saat masih menjadi santri di Pati dan draf akhirnya saat saya menjadi mahasiswa di Yogya. Novel diterbitkan dalam jumlah kecil dan dibaca hanya oleh kawan-kawan meski gagal merekatkan cinta saya dua tahun kemudian dengan seorang gadis kelahiran Bone, sebuah novel aktivis memuat idealisasi kehidupan mahasiswa sekaligus akhir tragis menyiratkan pungkasan sadar sebuah harap: zaman berubah, fase Oedipal sudah lewat, ada anakronisme teks dan realitas. Hal pertama yang saya pelajari di Yogya adalah realitas yang memberikan memori-memori baru pendorong memori-memori lama ke ketaksadaran.
Atau lebih tepatnya ke prakesadaran, karena terbukti saya dengan mudah kembali mengingat dan tetap menyukai sajak-sajak Aslan Abidin. Saat pertama kali membaca, “orang-orang | berpakaian warna-warni jorok” yang “berpawai menguasai jalanan” bagi saya sangat tepat menggambarkan keriuhan melintas di depan sekolah lima tahun sekali saat saya masih Sekolah Dasar. Saat itu saya masih terbata mengeja “Senja di Pelabuhan Kecil”, “Berdiri Aku”, dan “Gadis Peminta-Minta” dalam buku-buku bahasa Indonesia, termasuk edisi tingkat lanjut milik kakak-kakak saya, tetapi sambil menonton gerombolan di jalanan dari lantai dua sekolah yang terbuat dari kayu tua, saya sudah memiliki kesan buruk: tidakkah mereka tampak brutal?
“Brutal” adalah lawan dari kultur tempat saya lahir dan dibesarkan, kultur yang juga menyisipkan gentar ketika saya pertama kali berhadapan kultur tanah rantau di Jawa: kultur santri sebuah kampung pelosok di tanah Sunda tempat air sungai jernih mengalir, kolam-kolam penuh ikan gurami, dan lanskap sore adalah matahari menjelang terbenam menyinari hamparan sawah sangat luas dan gagah menjulang dinding bukit hijau yang menjaganya. Tak ada imajinasi ataupun realitas perkelahian dan keributan, sebuah dunia mooi indie sungguhan.
Maka kesan awal saya terhadap mereka, siapa pun itu, yang menyelenggarakan “ritual sekali | dalam lima tahun” adalah kesan buruk, kesan yang sampai kini tak pernah–dan mungkin saya memang tak rela–benar-benar terhapus. Lukisan mooi indie kultur Sunda yang ditingkahi irama seruling, apa boleh buat, terlalu bertentangan dengan keriuhan pawai jalanan yang waktu itu masih mudah dibedakan berdasarkan warna atribut. Saya tentu belum paham benar soal “kesejahteraan dan keadilan” pada masa itu, tetapi saya sudah bisa bertanya-tanya apakah benar ada “gadis kecil berkaleng kecil”? Jika benar, bukankah lebih baik mengusahakan membuat dia bahagia daripada melakukan pawai mengganggu dunia kampung tenang dan hening?
Maka pertemuan dengan sajak Aslan Abidin dalam selembar koran adalah pertemuan mengesankan. Sajak-sajak tersebut menyodorkan kata-kata menggambarkan sesuatu yang selama ini mengendap dalam benak tetapi sukar saya ungkapkan karena tak semua orang bisa “mendengar bisikan alun”. Dengan kata lain, sajak-sajak sang penyair mengatakan apa yang ingin pembaca katakan, salah satu prasyarat purba yang pasti mempertemukan pembaca dengan penyair melalui karya dan pada akhirnya “mengakrabkan” mereka.
Dan sajak-sajak itu mengatakannya dengan puitis, aspek yang secara natural selama itu ditawarkan oleh lanskap mooi indie berpadu dengan kultur santri yang, pada diri saya, pepat “sajak” Sunda dan Arab. Mungkin Aslan Abidin bukan penyair satu-satunya yang menulis sajak tentang “ritual kepiluan” rutin lima tahunan, tetapi pertemuan sajak dengan pembaca adalah “kesunyian masing-masing”. Satu hal yang pasti adalah selembar koran mempertemukan saya dengan sajak-sajak yang Aslan Abidin tulis, bukan sajak-sajak senada yang mungkin penyair lain tulis.
Lagi pula mungkin ada alasan lain mengapa dua sajak itu memukau. Penyair, dan juga sampai titik tertentu penulis prosa, kerap bimbang antara menggunakan bahasa dalam mode komunikatif atau mode ekspresif, atau dalam istilah Ignas Kleden meminjam Ricoeur: bahasa dalam mode lokusi dan bahasa dalam mode ilokusi dan perlokusi. Sajak-sajak sebagian besar penyair Lekra dalam antologi Gugur Merah (Yogyakarta: Merakesumba, 2008) misalnya jatuh pada penggunaan bahasa dalam mode komunikatif, “sajak-sajak gelap” jatuh pada mode sebaliknya. Dua sajak Aslan Abidin di atas jatuh pada posisi ambang: tegangan antara mode komunikatif dan mode ekspresif, posisi sajak yang bagi saya memiliki potensi paling tinggi untuk memukau.
Dengan kata lain, sajak semacam itu memberikan asupan estetis sekaligus asupan makna, kombinasi cerdas antara bentuk dan isi. Pembaca terpesona tetapi tidak berarti pikirannya mandul, dia terpukau sekaligus mendapatkan pemahaman tentang sesuatu. Dalam situasi semacam itu, sajak bukan sekadar jargon kering tetapi juga bukan rentetan kata yang arti kandungannya harus ditanyakan pada sang penyair. “Ritual Kepiluan” dan “Rakyat Perah” bukan sajak penyair yang membayangkan diri pengkhotbah dan bukan juga penyair egois. Dalam status kulturalnya yang kita bayangkan tinggi, penyair menawarkan sesuatu tanpa memaksa, dengan rendah hati, dengan indah.
“Percikan permenungan” seperti itulah saya rasakan tiap kali membuka ulang Bahaya Laten Malam Pengantin, seperti pagi ini. Beberapa kawan berkali-kali mengatakan buku tersebut dicetak ulang dengan kemasan lebih bagus dan masih beredar di pasaran, tetapi saya selalu menjawabnya dengan senyuman nostalgik. Saya tentu saja ingin memiliki edisi baru tersebut tetapi kepemilikan atasnya tak akan menggoyahkan nilai yang saya sematkan dalam semacam fetis historis terhadap buku sederhana edisi 2008 ini dan selembar koran yang tersimpan baik dalam bufet di kamar saya di rumah. Mungkin karena itu saya tak merasa harus tergesa memiliki edisi baru tersebut, selain juga karena alasan lain bahwa kondisi ekonomi penerjemah lepas dan penulis serabutan di negeri ini tak kebal efek pandemi. Salam.
Yogya, Komunitas Imajiner, 2021.