DALAM The Development of Indonesian Poetry (1967), Burton Raffel tidak menganggap penting membahas puisi-puisi Taufiq Ismail. Profesor Amerika yang menghabiskan dua tahun di Indonesia pada awal tahun 1950-an itu hanya sambil lalu menyinggung nama Taufiq Ag Ismail bersama empat dari delapan nama penyair lain yang puisinya termaktub dalam Manifestasi (1963)1Taufiq Ismail di masa-masa awal menulis namanya sebagai Taufiq AG. AG adalah singkatan dari Abdul Gaffar, nama ayahnya. Kemudian dia menambahkan nama kakeknya di akhir nama menjadi Taufiq AG Ismail, nama yang tertulis dalam Manifestasi. Belakangan, dia tidak lagi memakai singkatan nama ayahnya dengan alasan kepanjangan sehingga menjadi Taufiq Ismail (Ismail, 2008c: 833). Adapun pandangan Raffel tentang tiga penyair Manifestasi yang tersisa, Mohammad Diponegoro dikomentari negatif sebagaimana 5 penyair tersebut dengan alasan berbeda; M. Yoesmanan, satu puisinya dikutip dan dikomentari sedikit; dan Goenawan Mohamad, puisinya dibahas panjang lebar sebagai “sosok sentral dalam antologi” (Raffel, 1967: 153-155).. Menurut dia, Taufiq Ag Ismail, bersama dengan Armaja, Djamil Suherman, Hartojo Andangdjaja, dan M. Saribi Afn
[…] sangat sentimental, gandrung pada baris-baris pepat oleh hasrat retoris, tetapi sangat sedikit memuat perasaan riil, yang digeneralisasi secara berlebihan, sehingga saya tidak akan mengutip mereka.
Raffel, 1967: 153
Era Manifestasi (pra-66)2Lima sajak Taufiq Ismail dalam Manifestasi adalah “Elegi Buat Sebuah Perang Saudara”, “Kutahu Kaukembali Jua Anakku”, “Muhammad Menjelang Baytl-Maqdis” (dalam versi Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1: Himpunan Puisi 1953-2008 ditulis “Baytil-Maqdis”), “Doa dalam Lagu”, dan “Membajak Kembali”., merujuk klasifikasi kritikus Pamusuk Nasution, merupakan fase awal perjalanan kepenyairan Taufiq Ismail, fase ketika dia banyak menulis “sajak-sajak mengenai perang kemerdekaan” (Toda, 1984: 45, 49). Akan tetapi, di luar Manifestasi, tercatat 39 puisinya dimuat di berbagai media masa itu, termasuk Siasat dan Kisah (Toda, 1984: 107-108).3Puisi-puisi tersebut kemudian dimuat dalam antologi puisi Taufiq Ismail 1953-2008, Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1: Himpunan Puisi 1953-2008, 20 di antaranya di dalam antologi Puisi-Puisi Awal (1953-1960). Titimangsa penerbitan buku Raffel setahun setelah penerbitan awal Tirani dan Benteng, tetapi melihat Raffel menilai stile puitika Taufiq Ismail hanya berdasarkan puisi-puisi dalam Manifestasi, tampaknya korpus penelitian dia tidak mencakup puisi-puisi dalam Tirani dan Benteng dan puisi-puisi yang masih tersebar di media. Maka tidak mengherankan meski komentar Raffel pantas bagi setidaknya tiga dari lima puisi Taufiq Ismail dalam Manifestasi selain “Membajak Kembali” dan “Muhammad Menjelang Baytl-Maqdis”, komentar yang sama tampak kurang pas jika diberlakukan juga bagi puisi-puisinya dalam Tirani dan Benteng ataupun yang tersebar di media. Karakteristik puisi “Muhammad Menjelang Baytl-Maqdis” misalnya sudah sesuai dengan genrenya sebagai puisi madah, sementara puisi “Rimba Jati” dan “Lagu Roban” sukar untuk disebut sekadar puisi “sentimental” dan “retoris”.
Sikap Burton Raffel setali tiga uang sikap H.B Jassin. Kritikus yang menjadi redaktur Kisah tahun 1953-1956 dan memuat karya-karya Taufiq Ismail dalam Angkatan 66: Prosa dan Puisi tersebut sekadar memberi komentar ringkas beberapa puisi Taufiq Ismail dalam esai pengantar, “Bangkitnya Satu Generasi”. Selain menitikberatkan pada situasi politik sebagai latar belakang penerbitan Tirani dan Benteng, Jassin juga menautkan estetika puisi-puisi Taufiq Ismail dengan nilai historis dan universal:
Beberapa daripadanya, seperti punya Taufiq Ismail “Surat Ricarda Huch 1933”, “Yang Kami minta hanyalah”, “Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya”, oleh kejujuran dan perikemanusiaan yang memancar dari dalamnya, pada hemat saya mempunyai nilai estetis yang tinggi, yang mengangkatnya ke tingkat seni nasional di tengah-tengah sekian banyak seni nasional dalam pergaulan dunia internasional.
Jassin, 2013b: 35
Tidak jelas benar bagaimana H.B. Jassin menautkan “kejujuran dan perikemanusiaan” dengan “nilai estetis yang tinggi” dan “seni nasional” dengan “pergaulan dunia internasional”, tetapi komentar tersebut tampaknya didorong motivasi politis H.B. Jassin terkait oposisi Realisme Sosialis Lekra dan Manifes Kebudayaan. H.B Jassin mencoba menempatkan puisi-puisi Taufiq Ismail sebagai contoh karya berbasis humanisme universal, konsep yang dilahirkan dari Surat Kepercayaan Gelanggang (1950) dan kemudian diulang dalam Manifes Kebudayaan (1963).4Konteks pertentangan Realisme Sosialis Lekra dengan Humanisme Universal Manifes Kebudayaan bisa dibaca dalam Goenawan Mohamad, “Peristiwa ‘Manikebu’: Kesusastraan Indonesia dan Politik di Tahun 1960-an”, semula dipublikasikan dalam rubrik Refleksi, selingan Majalah Tempo, edisi 21 Mei 1988, kemudian dimuat dalam Kesusastraan dan Kekuasaan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hal. 11-54. Tulisan yang sama dimuat sebagai “Afair Manikebu, 1963-1964” dalam Marxisme, Seni, Pembebasan (Jakarta: Tempo & PT Grafiti, 2011), hal. 1-50, dan Seni, Politik, Pembebasan (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018), hal. 15-88. Sebagai pembanding, baca Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965 (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2015), Bab 3, terutama hal. 58-90; Keith Foulcher, Social Commitment in Literature and the Arts: The Indonesian ‘Institute of People’s Culture’ 1950-1965 (Clayton: Monash University, 1986), terutama Bab 5, hal. 105-142; dan Keith Foulcher, “A Survey of Events Surrounding Manikebu” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 125 (1969), No: 4, Leiden, hal. 429-465.
Adanya gejala “pengabaian” para kritikus terkemuka terhadap puisi-puisi Taufiq Ismail periode Tirani dan Benteng pernah disinggung oleh Aveling. Dia menduga kemungkinan penyebabnya terkait “keberhasilan sajak bertendensnya di mata publik” (Aveling, 1975: xviii). Hal tersebut, menurut Aveling, membuat kritikus cenderung “terlalu mudah menolak kecakapan-kecakapan Taufiq Ismail” bahkan setelah publikasi Tirani (1966) dan Benteng (1966). Aveling menyebutkan bahwa setelah memublikasikan sajak lebih banyak barulah Taufiq Ismail mendapatkan pengakuan sepenuhnya.
Dalam Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1966-1998 (2003: 12, 162), Aveling menyebut puisi-puisi Tirani dan Benteng sebagai puisi protes dan puisi-puisi Taufiq Ismail era akhir tahun 1980-an sebagai puisi Islami. Pamusuk Nasution, dalam Sajak-Sajak Goenawan Mohamad dan Sajak-Sajak Taufiq Ismail (1984) yang merupakan analisis preliminer terhadap tema-tema puisi Taufiq Ismail dalam 22 tahun kepenyairan, membagi puisi-puisi Taufiq Ismail menjadi lima tema: perang, sepi, perlawanan, rindu, dan ketuhanan. Kritikus lain, Suminto A. Sayuti, yang meneliti puisi-puisi Taufiq Ismail dalam cakupan durasi lebih panjang, yakni sampai Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1998) dan 3 puisi tahun 20025“Indonesia Keranjang Sampah Nikotin”, “Wawancara dengan Empat Mayat”, dan “Kabar Buruk dari Negeri Terpuruk”. Ketiga puisi kemudian dimuat dalam Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1: Himpunan Puisi 1953-2008 sebagai 3 dari 6 puisi tentang rokok di bawah tajuk Tuhan Sembilan Senti., menyatakan bahwa Taufiq Ismail menulis puisi protes dan puisi religius, tetapi dia juga menulis puisi “liris dan mengekspresikan kerinduan dan cinta” (Sayuti, 2005: 34).
Gambaran sikap para kritikus terhadap puisi-puisi Taufiq Ismail di atas, meski sekilas dan jauh dari tuntas, menunjukkan adanya kecenderungan menempatkan terutama kritik sosial dan kemudian religiusitas sebagai dua tema utama puisi-puisi Taufiq Ismail.6Kritikus lain yang menyoroti tema “kritik sosial” dalam puisi Taufiq Ismail adalah Maman S. Mahayana dalam “Puisi Kesaksian: Membaca Isyarat Taufiq Ismail” dan Ajip Rosidi dalam Puisi Indonesia Moderen (hal. 123-125) dan Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia (hal. 200-203), sementara yang menyoroti tema “religiusitas” di antaranya Habiburrahman El Shirazy dalam “Berdakwah dengan Puisi (Kajian Intertekstual Puisi-Puisi Religius Taufiq Ismail)” (2014). Puisi-puisi dengan tema tersebut mayoritas ditulis dengan lugas, bertolak belakang konsep “bilang begini, maksudnya begitu” Sapardi Djoko Damono atau “puisi sebagai pasemon” Goenawan Mohamad yang menjadi konsep umum kritikus modernis dalam menilai estetika puisi. Konsekuensinya, meski di satu sisi puisi-puisi kritik sosial politis dianggap bernilai historis tinggi, para kritikus cenderung mencari-cari lirisisme “bilang begini, maksudnya begitu” dalam korpus puisi Taufiq Ismail untuk bisa menganggap tinggi pencapaian estetisnya.
Kecenderungan semacam itu, sayangnya, tampak bermasalah dalam dua aspek. Pertama, puitika Taufiq Ismail bertolak dari basis yang tampak berbeda dengan puitika liris. Meski dalam proses awal kepenyairan Taufiq Ismail menulis puisi-puisi liris, tetapi jumlahnya hanya sedikit dan dia kemudian lebih banyak menulis puisi naratif. Kedua, sejak puisi-puisi awalnya7Misal, “Rimba Jati”, “Kemarau di Desa Bangkirai”, “Membajak Kembali”, “Hanggar 17”, “Lagu Roban”, “Musim”, “Nostalgia Pelayaran Atlantika”, “Kelopak Musim Semi”, “Dua Sajak Pegunungan Libanon”, “Admiral Padang Gandum”, dan “Lewat Jendela”. Taufiq Ismail sudah menunjukkan kecenderungan menggunakan citraan-citraan dan mengangkat tema alam, satu tema yang—mengutip Chairil Anwar—sebagaimana tema “ketuhanan” merupakan salah satu pokok “yang berulang-ulang telah mengharukan si seniman”8Lihat Chairil Anwar, “Membuat Sajak, Melihat Lukisan” (1949), dalam HB Jassin (ed.), Chairil Anwar: Pelopor Angkatan 45 (Jakarta: Grasindo, 1996), hal. 166-167. Dalam tulisan tersebut Chairil menyebut alam dengan menggunakan “matahari dan bulan”..
Sastra alam atau ekologi, baik sekadar menampilkan citraan-citraan alam ataupun memang secara khusus mengangkat tema alam, bukan merupakan mode baru dan bisa jadi justru paling tua. Akan tetapi perhatian para kritikus terhadap sastra ekologis baru meningkat kembali sejak beberapa dekade belakangan, akhir 1980-an di Amerika dan awal 1990-an di Inggris. Luasnya cakupan fenomena tersebut kemudian mendorongnya diakui sebagai aliran kritik sastra tersendiri yang disebut ecocriticism ‘ekokritik’ mengikuti Mazhab Amerika atau green studies ‘kajian hijau’ mengikuti Mazhab Inggris (Barry, 2017: 251).
Kegandrungan kembali para sastrawan terhadap sastra ekologis dalam satu dekade terakhir bertolak dari kesadaran baru akan peran mereka terkait alam yang kondisinya terus memburuk. Gambaran tegas hal tersebut bisa disimak misalnya dalam pernyataan Sjón, sastrawan Islandia dengan nama lengkap Sigurjón Birgir Sigurðsson, bahwa
hanya dengan menempatkan sastra ke dalam cetakan ekologis maka kita bisa memahami apa yang mungkin bisa para penulis perankan dalam menyelamatkan bumi dan umat manusia.
Sjón, 2018: 266
Esai Sjón dipublikasikan bersama karya 35 sastrawan kontemporer terkemuka lainnya dari berbagai negara dalam antologi sastra ekologi, Tales of Two Planets: Stories of Climate Change and Inequality in a Divided World (2020). Seorang sastrawan kontemporer Indonesia yang ikut menyumbang tulisan untuk antologi adalah Eka Kurniawan dengan “The Well”9Terjemahan cerpen/novela tersebut diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama sebagai Sumur (2021). Pembahasan tentangnya bisa dibaca dalam “‘Sumur’ Eka Kurniawan: Air dan Cinta dan Kekayaan Alam Lainnya“.. Menimbang kegandrungan kembali akan sastra ekologis kini, tulisan ini menelisik 3 puisi Taufiq Ismail bertema ekologi dari tiga periode berbeda, yaitu puisi “N.Y.” (1958), “Trem Berklenengan di Kota San Francisco” (1972), dan “Membaca Tanda-Tanda” (1982) (Ismail, 2008a: 20, 269-270, 317-318) sebagai upaya menelusuri ke hulu sampai sejauh mana puisi Indonesia telah mengolah tema tersebut. Telisik ditautkan dengan aspek agama yang merujuk pada analisis para kritikus terdahulu merupakan aspek menonjol dalam puisi-puisi Taufiq Ismail. Lebih lanjut, menonjolnya aspek agama juga memunculkan pertimbangan terkait satu pernyataan Subagio Sastrowardoyo bahwa
Kesusastraan dalam hubungannya dengan kehidupan keagamaan itu akan akan menimbulkan teori sastra yang berpangkal dari tangan proses mencipta, bukan dari otonom karya, resepsi pembaca, atau niat pengarang. Barangkali dari perhatian yang terpusat dari proses penciptaan itu bisa timbul teori sastra yang khas kita.
Sastrowardoyo, 1988: 25
Bersandar pada pandangan Subagio Sastrowardoyo tersebut, dalam proses telisik dikedepankan juga penelusuran intertekstualitas dengan puisi-puisi lain dalam korpus puisi Taufiq Ismail, Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1: Himpunan Puisi 1953-200810Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1 adalah antologi puisi Taufiq Ismail selama 55 tahun dari tahun 1953-2008, tetapi berbeda dengan format antologi lengkap puisi pada umumnya yang biasa disusun secara kronologis puisi, Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1 disusun dengan menggabungkan antologi-antologi yang sudah terbit dan puisi-puisi yang belum dimuat antologi, sehingga bisa juga dikatakan Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1 adalah bundel puisi Taufiq Ismail 1953-2008. Di samping itu, dalam sebuah antologi, terkadang ditemukan pengelompokan puisi-puisi di bawah beberapa judul besar. Judul besar pengelompokan tersebut dalam tulisan ini disebut “tajuk”. Sebagai contoh, antologi Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1 memuat antologi Sajak Ladang Jagung dan antologi Sajak Ladang Jagung memuat 3 tajuk, yaitu Buku Pertama, Buku Kedua, dan Buku Ketiga. Untuk membedakan judul antologi dan judul tajuk, dalam Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1 judul antologi ditulis dengan huruf kapital semua, sedangkan judul tajuk ditulis dengan hanya huruf pertama kapital. Korpus yang lebih baru, Dust on Dust (Debu di Atas Debu) (2014) yang merupakan antologi Dwi-Bahasa memuat 408 puisi asli yang semuanya juga dimuat dalam Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1 dengan tambahan 5 puisi: “Acara Baca Puisi pada HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ke-75m 17 Agustus 2020”, “Tulislah”, “Berlayar di Laut Banda Naira, Kami Terpukau Dikepung Keindahan Laut dan Pulau”, “Mengenang Pak Yuti dan Bu Tri”, dan “Masih Adakah Kiranya Harapan?”., yang memuat 447 puisi11Angka ini mencakup 9 puisi terjemahan tetapi tidak 93 teks Puisi Dinyanyikan, Nyanyian Puisi karena teks-teks tersebut memiliki genre sendiri yaitu lirik lagu. Teks-teks tersebut dipublikasikan ulang secara khusus dalam Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 4: Himpunan Lirik Lagu 1972-2008. ataupun dengan teks-teks Taufiq Ismail dalam 3 jilid lain seri Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit12Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 2 memuat tulisan-tulisan Taufiq Ismail di media dari tahun 1960-2008, jilid 3 memuat kolom, esai, wawancara, cerpen asli dan terjemahan, dan naskah drama Taufiq Ismail dari tahun 1960-2008; sementara jilid 4 memuat lirik lagu yang Taufiq Ismail tulis dari tahun 1972-2008.. Dengan metode seperti itu diharapkan sekaligus bisa dipetakan garis besar puitika Taufiq Ismail sehingga kepokokan dan ketokohannya dalam Sastra Indonesia pun bisa diposisikan dengan lebih pas dan pantas.
Puitika “Kabar, Cerdas, Musikal”
Harry Aveling, dalam kutipan terdahulu, menyebut puisi-puisi Taufiq Ismail sebagai committed verse ‘sajak bertendens’. Sementara H.B. Jassin, dalam sepucuk surat untuk Goenawan Mohamad bertarikh 31 Maret 1966, berkomentar bahwa
Taufiq Ismail ikut aktif dalam demonstrasi-demonstrasi mahasiswa baru-baru ini dan ikut “berjuang” dengan puisi. Kumpulan sajaknya, “Tirani”, yang distensil lahir dalam kehangatan demonstrasi itu.
Jassin, 1984: 266
Dengan menyebut puisi-puisi Taufiq Ismail sebagai puisi “perjuangan”, pada dasarnya H.B. Jassin sejalur dengan Aveling: sama-sama menganggap puisi-puisi Taufiq Ismail, setidaknya puisi-puisi Tirani dan Benteng, sebagai sajak bertendens.
Dalam Historiografi Sastra Indonesia, tergambar mula-mula pada polemik Sanusi Pane (mewakili mode ekspresif, romantisisme, seni untuk seni13Romantisisme Pujangga Baru merupakan pengaruh Gerakan 80 atau De Tachtiger Beweging di Belanda, aliran seni subjektif, individualis, asosial, dan pendukung “seni untuk seni”. Akan tetapi menurut Jassin, pengaruh tersebut tidak bersifat saklek. Individualisme Pujangga Baru tidak bersifat asosial, karena Pujangga Baru justru meyakini fungsi sosial seni. Subjektivitas, individualisme, dan “seni untuk seni” Pujangga Baru lebih menyangkut kebebasan pengarang dalam penciptaan seni (Jassin, 2013a: 30-33).) dengan Sutan Takdir Alisyahbana (mewakili mode mimetik, didaktik, sastra bertendens) pada pertengahan tahun 1930-an, estetika sastra bertendens cenderung dinilai minor baik oleh para kritikus maupun para sastrawan arus utama. Mengomentari posisi seni Sutan Takdir Alisyahbana, Sanusi Pane (1936: 283) misalnya menyebut posisi tersebut sebagai “tinggal pada Susila, tinggal pada tendenz-literatuur, kesusasteraan yang ada maksudnya, yang berisi propaganda misalnya, karena itu bukan kesusasteraan yang sejati”. Sastra, sebaliknya, sebagaimana dinyatakan oleh Arif Bagus Prasetyo (2021: 249) justru sering kali memiliki lahan garapan subur di “area abu-abu moralitas, between good and evil”, wilayah yang jelas sukar dijadikan ladang didaktik hitam putih.
Uniknya, penilaian Jassin dan Aveling tersebut secara umum selaras dengan pandangan Taufiq Ismail sendiri tentang seni. Dalam esai penutup Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Taufiq Ismail menulis bahwa
Puisi saya adalah puisi berkabar. Dalam merebut komunikasi, puisi saya harus ada substansinya sebagai kabar, mesti cerdas dan musikal sedap didengar.
Ismail, 2008a: 557
“Substansi puisi sebagai kabar” meminimalisasi potensi penyimpangan makna dan dengan demikian bertentangan dengan puitika umum yang justru merayakan potensi ketaksaan makna. Dengan memahami puisi sebagai kabar, penyair menyusun puisi dengan diksi dan konteks sejelas mungkin karena yang dikejar adalah pesan dan bukan kesan. Dengan kata lain, dari sudut pandang Pragmatik, puisi menjadi berada pada tataran lokusi (“bilang begini, maksudnya begini”) dan bukan perlokusi (“bilang begini, maksudnya begitu”).
Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika bagi Taufiq Ismail
Kelakuan mempersukar-sukar puisi sendiri, adalah penyakit keremaja-remajaan penyair, yang tampak senantiasa dialami penyair dalam perjalanan kariernya, yang mungkin singkat tapi bisa juga panjang jangka waktunya.
Ismail, 2008d: xv
Namun, berbeda dari berita media massa yang fokus hanya pada kejelasan informasi, “puisi kabar” mempertimbangkan juga aspek “musikal sedap didengar”. Alasan di baliknya bisa terjelaskan oleh pernyataan Taufiq Ismail dalam sebuah wawancara bahwa puisi pertama-tama untuk dinikmati karena puisi yang tidak bisa dinikmati tidak akan mampu memperkaya batin pembaca/pendengar (Ismail, 2008c: 378). Sementara itu, sisi penting kepastian tersampaikannya informasi dalam puitika Taufiq Ismail juga mendorong dirinya menjadi salah satu penyair Indonesia yang paling gandrung membacakan puisi di depan audiens sebagai bentuk komunikasi langsung. Puisi, menurut Taufiq Ismail dengan mengutip Brogan (Ismail, 2008a: 556), “akan memperoleh seperangkat tubuh lengkap bila ditambahkan kepadanya satu unsur lagi, yaitu suara lewat pembacaannya”.
Konsepsi sastra bertendens sebagaimana tampak diyakini oleh Sutan Takdir Alisyahbana14Dalam ungkapan Goenawan Mohamad (2011c: 74), ke-berarti-an merupakan agenda utama Sutan Takdir Alisyahbana, karena itulah dia “menghendaki puisi memproduksi arti: makna dan guna”. Puisi-puisi yang tidak mampu memproduksi arti dianggap sebagai rujak, berguna untuk mengeluarkan keringat, tapi tak dapat dijadikan sari kehidupan manusia. Pandangan Sutan Takdir Alisyahbana semacam itu Goenawan Mohamad sebut sebagai antipuisi., Taufiq Ismail, dan juga LEKRA15Konsep Realisme Sosialis LEKRA sebagai konsep sastra bertendens dengan basis sosialisme berkiblat tidak secara langsung pada Marx-Engels melainkan pada Andrei Zhdanov sehingga oleh kritikus Marxis Terry Eagleton disebut juga sebagai Zhdanovisme. Zhdanov sendiri Eagleton sebut sebagai Stalin’s cultural thug, “preman budayanya Stalin” (Eagleton, 2002: 36). Pramoedya Ananta Toer (2003: 26) mengutip dua paragraf panjang dari Andrei Zidanov dalam penjelasannya tentang Realisme Sosialis sebagai sebuah “metode baru”. Praktik Realisme Sosialis LEKRA yang mengedepankan konten kerap berujung pada pengabaian terhadap estetika bentuk, satu hal yang berlawanan dengan konsep sastra Marx-Engels yang meski mengedepankan konten tetapi juga menyarankan bahwa pesan konten disampaikan secara tersirat. bisa ditelusuri akarnya pada konsepsi puitika Plato bahwa “ada lebih yang bisa diberikan oleh puisi dari sekadar kesenangan”. Plato menekankan aspek didaktik puisi, bahwa “satu-satunya puisi yang bisa diterima dalam komunitas hanya himne para dewa dan eulogi orang-orang bajik”. Dengan demikian, meski jika ada orang datang dan mampu menunjukkan keahliannya berpuisi maka dia mesti diperlakukan dengan hormat, kagum, dan sebagai pemberi kesenangan, tetapi tetap saja “tidak ada tempat untuknya dalam masyarakat” dan “dia harus dikirimkan ke tempat lain” (1998: 94-95, 361-362). Sutan Takdir Alisyahbana tampaknya mendapatkan konsepsi tersebut dari pengaruh “Barat”, sementara Taufiq Ismail tampaknya merujuk pada sumber berbeda, yaitu puitika profetik.16Penamaan puitika profetik untuk puitika Taufiq Ismail dalam tulisan ini tidak merujuk pada Maklumat Sastra Profetik yang dicetuskan oleh Kuntowijoyo pada tahun 2005 (edisi terbaru diterbitkan oleh DIVA Press [2019]), melainkan semata didasarkan pada kesejajarannya dengan puitika Islam awal era Nabi Muhammad saw. Rumusan konsep Sastra Profetik Kuntowijoyo memang memiliki banyak kesamaan dengan pandangan-pandangan puitika Taufiq Ismail, tetapi tampak juga perbedaan-perbedaan terutama terkait cara penyajian karya. Perlu telaah tersendiri untuk membandingkan kedua konsep secara utuh, tetapi sebagai hipotesis awal, konsep Sastra Profetik Kuntowijoyo menyarankan penyampaian nilai dalam karya secara tersirat alih-alih lugas sebagaimana yang menjadi ciri khas puitika profetik Taufiq Ismail. Lihat juga tulisan Kuntowijoyo, “Jika Penyair Menghayati Sejarah”, yang merupakan pengantar antologi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Di dalamnya Kuntowijoyo sama sekali tidak menyinggung karakteristik Islam dalam puitika Taufiq Ismail dan lebih menekankan pembahasan tautannya dengan Sejarah serta perubahan puitikanya dari pelukisan menjadi diskursif.
Puitika profetik, atau puitika Islam awal, merupakan revisi puitika Arab Pra-Islam yang, sebagaimana puitika mimetik Plato, memberi peran sosial tinggi pada puisi dan penyair. Islam mengakui peran sosial dan tolok ukur estetika bahasa puisi warisan puitika Arab Pra-Islam, tetapi Islam merevisi peran sosial tersebut dengan memberi basis ideologis berbeda bahwa tolok ukur kebenaran konten puisi didasarkan pada ajaran Islam. Puisi, merujuk pada sabda Nabi, “tidak lain adalah ujaran yang dianggit, jika sesuai dengan kebenaran maka ia baik, jika tidak sesuai dengan kebenaran maka tak ada bagusnya” (Adonis, 2016: 190). “Kebenaran” dimaksud merujuk pada Al-Qur’an dan Hadis dan dengan demikian puitika profetik merupakan basis tertua sastra bertendens Islam yang lebih mengutamakan makna puisi daripada bentuk puisi dalam penilaian estetika.17Penting dicatat bahwa dalam Islam “berkabar” sinonim dengan “dakwah” dan merupakan tugas profetik (QS. Al-Furqan [25]: 56) dengan “kabar” mencakup kabar gembira dan juga “peringatan”, konsep yang bisa ditarik sebagai basis peran sosial penyair menurut puitika profetik. Kegandrungan Taufiq Ismail untuk membacakan puisi, dan dengan demikian bertaut pula dengan aspek “musikal sedap didengar” dalam puitikanya, analog dengan situasi yang melahirkan puitika Islam, yaitu puisi sebagai bagian dari tradisi lisan. Perlu penelitian tersendiri untuk melihat sejauh mana aspek kelisanan yang kuat dalam puitika Taufiq Ismail bertaut dengan tradisi lisan kaba Minangkabau sebagai latar belakang kelahirannya. Muhardi dalam tulisannya yang menelaah jejak kaba dalam novel modern Indonesia menyatakan bahwa kaba sama artinya dengan khabar dalam bahasa Melayu dan Indonesia yang berasal dari bahasa Arab dan artinya “berita”, “pesan”, “warta”, atau “laporan” (Muhardi, 1988: 42). Selain kesejajaran pengertian kaba dengan puitika “kabar” Taufiq Ismail, karakteristik kaba yang sangat mementingkan irama juga sejajar dengan puitika “musikal”, satu hal yang justru tidak bisa dipertahankan dalam evolusinya menjadi novel. Pembahasan ringkas tetapi komprehensif terkait persoalan “kebenaran” dalam puisi menurut puitika Islam, terutama generasi awal, lihat Vicente Cantarino, Arabic Poetics in the Golden Age (Leiden: E.J. Brill, 1975), hal. 27-40. Dengan demikian, puisi menurut puitika ini bukan sekadar apa yang kritikus Subagio Sastrowardoyo (1988: 15) sebut, dengan mengutip Riffaterre, sebagai “senam indah kata-kata”, melainkan karya yang ditinjau dari segi etimologis bersesuaian dengan pengertian susastra. Tampaknya karena alasan yang sama Lustantini Septiningsih, sebagaimana dibahas oleh Arif Bagus Prasetyo (2021: 232-233), menempatkan antologi puisi Taufiq Ismail, Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1,sebagai antologi yang memenuhi 2 dari 4 aspek “genre sastra yang dapat dijadikan sarana untuk membentuk karakter bangsa”, yaitu aspek literer-estetis dan aspek religius-sufistis-profetis.
Sayuti (2005: 24-34) pernah membahas pandangan Taufiq Ismail tentang “puisi sebagai doa dan ibadah” dan memberi contoh puisi dari Tirani dan Benteng dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Argumen yang diajukan kurang lebih selaras dengan pernyataan lugas Taufiq Ismail sendiri tentang seni dalam “Musik Sebagai Media Dakwah” yang dipublikasikan dalam Singgalang,12 September 1988. Dalam tulisan tersebut Taufiq Ismail merinci 6 karakteristik “seni yang dimulai dengan niat ikhlas karena Allah” sebelum kemudian menjabarkan masing-masingnya. Keenam karakteristik tersebut adalah (1) indah dan menggetarkan perasaan penikmatnya, (2) menyampaikan nilai luhur, (3) menyebabkan dia arif terhadap persoalan manusia, (4) diniatkan sebagai suatu bentuk ibadah, (5) mengantarkannya pada suasana zikrullah, dan (6) menyebabkan penikmatnya beramal-saleh (Ismail, 2008b: 699).18Sebagai pembanding, Taufiq Ismail juga berbicara tentang “fungsi puisi sebagai bentuk penyadaran” dan “peran sosial” penyair dalam “Makin Banyak Walikota Berekspresi melalui Puisi, Makin Terbukti Puisi Bukan Milik Penyair Sendiri” (Ismail, 2008c: 822-825). Sementara salah satu bukti teks Taufiq Ismail yang mendukung argumentasi penulis bahwa puitika Taufiq Ismail adalah puitika profetik misalnya bagian penjabaran “Musik Sebagai Media Dakwah” tempat dia menyatakan bahwa QS. Asy-Syu’ara [26]: 224-227 merupakan “fondasi yang jelas mengenai kriteria seniman bagaimana yang diridhai Allah.” (Ismail, 2008b: 700). Ayat tersebut biasa dipahami sebagai basis puitika Islam awal—yang dalam tulisan ini disebut “puitika profetik”—yang menekankan peran penyair sebagai pengabar kebenaran/realitas.
Ditarik ke ranah puisi, keenam karakteristik tersebut tampak sebagai penjabaran formula “kabar”, “cerdas”, dan “musikal”. “Kabar” mencakup poin kedua dan keempat, “cerdas” mencakup poin ketiga, “musikal” mencakup poin pertama, kelima, dan keenam. Meski demikian, penautan ini hanya gambaran kasar karena ditinjau dari basis konsep Kritik Sastra secara umum karakteristik-karakteristik tersebut merupakan bagian dari relasi teks, pengarang, dan audiens yang kompleks dan cenderung saling beririsan.
N.Y. sebelas ribu mil dan rabu di sini mahal harganya poster pucat di beton dingin anak tuan-tuan butuh hijau cemara dinding kota menjulur dalam bukit semen dan besi kapur suara dan cahaya tak terjangkaukan merembeslah dalam pori-pori sel panjangnya bayang perigi anak-anak tumbuh dengan 2 rabu rabu semen dan rabu cemara
Judul N.Y. tampaknya singkatan dari New York, kota persinggahan pertama Taufiq Ismail saat menjadi bagian dari pelajar Indonesia yang menjadi AFS Angkatan Pertama dan tinggal selama setahun di Amerika. Dengan demikian, puisi ini bisa dikatakan merupakan hasil pengamatan penyair atas New York, bagian dari catatan perjalanan yang memiliki interteks dengan esai “Kisah Perjalanan Pelajar AFS Angkatan Pertama, 1956-1957” (Ismail, 2008c: 7-13) dan juga bagian awal puisi “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” (Ismail, 2008a: 373). Puisi perjalanan merupakan satu jenis puisi yang banyak Taufiq Ismail tulis dan menjadi salah satu gambaran konsep “puisi kabar”.19Sebagaimana aspek where ‘di mana’ dan when ‘kapan’ merupakan bagian penting dari sebuah kabar, konteks puisi kabar juga penting sebagai bagian dari sarana untuk menjamin tersampaikannya arti puisi. Dalam kerangka itulah interteks puisi Taufiq Ismail dengan teks dia yang mengisahkan konteks puisi tersebut menjadi penting. Tampaknya karena alasan itu Taufiq Ismail termasuk penyair yang tertib mencantumkan tarikh penciptaan puisi sebagaimana juga kadang mengisahkan secara lugas proses penciptaan puisinya, satu hal yang kerap ditolak oleh penyair aliran “bilang begini, maksudnya begitu” atau “puisi sebagai pasemon” yang mendukung ketaksaan makna puisi. Contoh lain adalah puisi “Sembilan Burung Camar Tuan Yusuf” dan “Tanjung” (Ismail, 2008a: 513-515 dan 535-536) yang rincian konteksnya bisa ditemukan dalam interteks 2 puisi tersebut dengan 19 teks dalam antologi Kesan-kesan Perjalanan Afrika Selatan 1993 (Ismail, 2008c: 19-101) dan “Beri Daku Sumba” yang konteks kelahirannya dikisahkan dalam “Penyair Umbu Landu Paranggi, Puisi ‘Beri Daku Sumba’ dan Pertemuan dengan Kawanan Kuda di Pulau Sumba” (Ismail, 2008c: 248-251). Terkait istilah “puisi perjalanan”, tahun 1994 Taufiq Ismail menulis esai “Puisi Perjalanan (1956-1993)” yang di dalamnya banyak mengisahkan pandangan dan proses kreatif dia sebagai penyair, termasuk bahwa dia mengakui banyak puisinya “bersifat impresionistik, berupa dialog batin dengan alam” atau menyatakan bahwa “nampaknya semua puisi adalah puisi perjalanan” (Ismail, 2008b: 760-767).
Meski rima akhir pada puisi “N.Y.” tidak beraturan, tetapi sisi musikal baris-baris puisi tersebut sangat kental. “Ribu” pada baris pertama dengan “rabu” pada baris kedua membentuk consonance ‘konsonansi’, saudara kembar asonansi yang sama-sama merupakan bentuk aliterasi. Jumlah ketukan pada baris ketiga yang sedikit dengan dominasi huruf t melambangkan kekakuan simbol kultur, berbanding terbalik dengan jumlah ketukan pada baris keempat yang lebih banyak dan diakhiri vokal terbuka a, “cemara”, melambangkan keramahan natur: sesuatu yang dibutuhkan oleh “anak-anak tuan”.
Oposisi biner natur dan kultur semacam itu juga tampak pada bait kedua, antara “dinding kota”, “bukit semen”, “besi kapur” dengan “suara dan cahaya” dan “perigi”. Jika diklasifikasikan lebih lanjut, komponen-komponen tersebut membentuk oposisi biner “kota” dan “desa”, “modernitas” dan “tradisional”. Dalam bait ini tergambar kekhawatiran lanjutan relasi natur dan kultur yang tidak harmonis seperti antara “beton dingin” dengan “hijau cemara” di bait pertama. Ketidakharmonisan memuncak di bait selanjutnya tempat disebutkan dengan jelas dan cerdas oposisi biner kultur dan natur menggunakan gambaran dua rabu pada anak sebagai “rabu semen dan rabu cemara”.20“N.Y.” dipublikasikan bersama “Admiral Padang Gandum” di Mimbar Indonesia sebagai Dua Tema tentang Dunia Kanak-Kanak. Penting dicatat bahwa anak-anak banyak menjadi subjek dalam puisi Taufiq Ismail. Taufiq Ismail bahkan menerbitkan antologi Perkenalkan: Saya Hewan (1976)yang merupakan antologi puisi untuk anak-anak, berisi 21 puisi deskripsi hewan. Perhatian besar terhadap anak-anak merupakan satu tema sentral dalam ajaran Islam. Di dalam Al-Quran disebutkan secara khusus dua kali peringatan bahwa membunuh anak—yang pernah menjadi tradisi di Arab Pra-Islam khusus bagi anak perempuan—merupakan dosa besar, bahkan jika hal tersebut orang tua lakukan didorong oleh perasaan tidak tega melihat anaknya menderita, misalnya karena kemiskinan. Gambaran anak yang salah satu paru-parunya tersusun dari semen dalam “N.Y.”, yang bisa ditafsirkan kondisi tidak sehat akibat kurangnya asupan udara segar, bisa juga dianggap sebagai upaya mengabarkan peringatan Al-Quran tersebut menggunakan medium puisi.
Oposisi biner semacam itu tergambar pula dalam puisi-puisi Taufiq Ismail yang lain, misalnya “Jagoan Pembangunan” (1979) (Ismail, 2008a: 462-463), puisi satire tentang pembangunan yang memberi dampak semakin tingginya kesenjangan antara para pembangun dengan rakyat, antara “rumah mewah” dengan kondisi melarat. Perbandingan lebih tajam tampak misalnya dalam “Syair untuk Seorang Petani dari Waimital, Pulau Seram, yang Pada Hari Ini Pulang ke Almamaternya” (1979) (Ismail, 2008a: 464-467). Puisi tersebut mengisahkan Kasim Arifin, seorang mahasiswa IPB yang memilih tinggal 15 tahun di Pulau Seram dan mengajari orang-orang di sana bertani, sikap yang aku-narator sebut “mencetak harapan”. Aku-narator membandingkan sikap tersebut dengan situasi kota bahwa “di kota kita mencetak keluhan”. Lanskap pastoral Waimital tempat Kasim Arifin melakukan segala aktivitas pertanian dengan “berkaus oblong” dan “bersandal jepit” disandingkan dengan “tepi kali Ciliwung” tempat aku narator berkaca melihat “mukaku yang keruh dan leherku yang berdasi”. Keberpihakan pada “petani di pedalaman” juga tampak dalam “Petani di Desa Memberi Subsidi Orang Kota” (2000), puisi yang menggambarkan ratap dan tangis “petani di pedesaan”, “petani di pedalaman” padahal “orang kota” mendapatkan “subsidi pada harga beras dari padi | yang dengan susah payah mereka tanam” (Ismail, 2008a: 833).
Aspek musikal “N.Y.” memang tidak sejelas pada puisi-puisi Taufiq Ismail di periode-periode selanjutnya yang banyak memanfaatkan rima akhir. Akan tetapi aspek musikal yang ada dalam puisi ini pun masih bisa ditafsirkan lebih lanjut untuk menentukan posisi narator dalam dualisme natur dan kultur. Menilik menggunakan teori dasar fonologi sederhana bahasa Indonesia (Dewi, 2009: 3-4), vokal pada diksi-diksi yang menggambarkan oposisi natur dan kultur bisa disajikan sebagai berikut:
Diksi | Fonologi Tajam/Jelas | Fonologi Lemah |
beton dingin | – | √ |
hijau cemara | √ | – |
bukit semen | – | √ |
besi kapur | – | √ |
suara | √ | – |
cahaya | √ | – |
rabu semen | – | √ |
rabu cemara | √ | – |
Merujuk tabel, tampak bahwa diksi-diksi kultur merupakan diksi-diksi yang berdasarkan aturan fonologi bahasa Indonesia dilafalkan lemah sementara diksi-diksi natur dilafalkan dengan tajam/jelas. Data tersebut bisa ditafsirkan sebagai bukti keberpihakan narator pada natur, sementara fakta bahwa semua diksi yang menggambarkan natur merupakan suku kata terbuka dan sebaliknya semua diksi yang menggambarkan kultur merupakan suku kata tertutup menunjukkan bahwa natur merupakan harapan, sementara kultur merupakan simbol involusi.
Dengan demikian, puisi “N. Y.” yang merupakan salah satu puisi awal Taufiq Ismail bisa diposisikan sebagai gambaran awal penerapan puitika profetik Taufiq Ismail sebelum dia merumuskannya menjadi “kabar”, “cerdas”, dan “musikal”. Dalam periode-periode selanjutnya, puisi-puisi Taufiq Ismail bergerak semakin naratif, panjang, jernih, serta banyak menggunakan aspek musikal anafora dan rima akhir.
Ekologi: Natur dan Kultur
Perihal citra alam dalam puisi-puisi Taufiq Ismail pernah disinggung setidaknya dalam dua esai kritikus terkemuka, Sapardi Djoko Damono (1995: 128) dan Tia Setiadi (2008: 53-54)21Contoh kritik sastra akademis yang menelisik alam dalam puisi-puisi Taufiq Ismail adalah Nurul Setyorini dan Cintya Nurika Irma, “Representasi Krisis Ekologi di Indonesia Puisi Membaca Tanda-Tanda dan Menengadah ke Atas Merenungi Ozon yang Tak Nampak Karya Taufiq Ismail” (2018), Maria L.A. Sumaryati dan Muhammad Nasar Helmi, “Puisi-Puisi Langit by Taufiq Ismail: A Literary Ecology Study” (2019) dan Arianty Visiaty dkk., “Ekosistem dalam Puisi Membaca Tanda-Tanda Karya Taufiq Ismail Sebuah Kajian Etis Ekokritik” (2020).. Sapardi menyatakan bahwa “sejak awal kepenyairannya Taufiq Ismail telah menaruh perhatian khusus pada alam”. Tia Setiadi mengungkapkan hal senada bahwa “sebahagian besar sajaknya yang kita jumpai dalam kumpulan Menjelang Tirani dan Benteng dan Sajak Ladang Jagung, merupakan sajak-sajak yang justru sangat erat berurusan dengan cuaca, warna, cahaya, suara, dan mega”.
Kedua kritikus tampak sepakat bahwa alam yang dimaksud bukan hanya merujuk pada “cuaca, warna, cahaya, suara, dan mega”, tetapi juga produk-produk manusia. Sapardi misalnya, dengan merujuk puisi “Trem Berklenengan di Kota San Francisco”, mengatakan bahwa alam dalam puisi Taufiq Ismail kemudian mencakup juga “jembatan raksasa, rumah-rumah modern, trem, dan kantor asuransi”, sementara Tia Setiadi mengatakan bahwa Taufiq Ismail
bukan hanya penyair alam yang mesra bercumbuan dengan suasana hutan atau alam pedesaan, melainkan juga akrab dengan lanskap dan tamasya perkotaan seperti trem dan stasiun, terowongan dan jembatan baja, restoran otomat dan mekanika, lorong beton dan asam arang.
Setiadi, 2008: 60
Alasan di balik perluasan makna “alam” dalam tafsir kedua kritikus bisa dipahami, tetapi perluasan seperti itu tampak kurang tepat dari sudut pandang ekokritik yang meyakini kemestian dualisme alam dan kultur. Alam adalah nature ‘natur’, semua yang bukan ciptaan manusia, dan merupakan oposisi biner kultur, segala ciptaan manusia (Barry, 2017: 252-257). Menariknya, jika sejak awal penyair Taufiq Ismail diposisikan pertama-tama sebagai seorang muslim maka akan tampak kesejajaran konsep ekokritik tersebut dengan cara pandang Islam terhadap natur dan kultur: alam, sebagaimana manusia, adalah ciptaan Tuhan, sementara kultur adalah ciptaan manusia atas perkenan Tuhan.
TREM BERKLENENGAN DI KOTA SAN FRANCISCO Pagimu yang cerah, San Francisco, sampai padaku di atas bukit itu, lautmu bagai bubur agar-agar, uap air di langitmu mencecerkan serbuk kabut seperti tepung nilon dan terjela-jela sepanjang jembatan raksasamu tepat seperti kartu pos bergambar yang pernah kubeli di kedai Hindustan duapuluh empat tahun yang silam di Geylang Road ketika aku masih bercelana pendek dan asyik menghafalkan nama-nama hebat dengan huruf-huruf c, v, x, dan y pada pelajaran ilmu bumi di Sekolah Rakyat partikelir. Matahari terlalu gembira menyinari bukit-bukitmu. Bukit-bukit yang ditumbuhi rumah-rumah Eropah, Meksiko, Habsyi dan Cina, bercat putih beratap merah tua dengan bunga-bungaan yang mekar karena persekutuan akrab dengan musim semi bagai tak kunjung habisnya. Debu segan padamu. Kotoran mekanika dan asam arang kau serahkan sepenuhnya pada Los Angeles si buruk muka. Dia cemburu padamu. Pasar buah dan rempah-rempah. Trem berklenengan dan meluncur gila pada penurunan bukit-bukit sama-kaki yang sempit. Sebuah peti cat meledak di udara dan warna-warna pun dibagi-bagi pada deretan bangunan dinding trem kota, tulang jembatan, atap, pintu dan jendela. Angin mengeringkannya dan mengaduknya dengan aroma daun-daun perladangan jeruk serta uap perairan dermaga lalu dikibas-kibaskan oleh sayap kawanan burung camar mengatasi muara lautan. Percintaan bulan dengan lekuk-lekuk tubuhmu semacam percintaan anak-anak muda yang garang kemudian dilukiskan oleh pelukis-pelukis kubistis. Emas yang diburu-buru abad yang lalu dilambangkan dalam cahaya natrium, amat geometris. Lewat tingkap-tingkap dan pipa-pipa kaca, simetris dan tidak simetris. Kapal-kapal angkat jangkar. Di ujung meja panjang terbuat dari kayu mahoni pada suatu bar dekat Market Street seorang tua berambut putih berkumis putih berjanggut putih duduk di atas kursi plastik yang bentuknya seperti bom waktu. “Aku tidak dengar Amerika menyanyi lagi”, ujarnya. Pelayan bar memberinya segelas bir. Amerika tidak menyanyi lagi. Amerika mengerang. Di atas bar kayu mahoni berlapis formika hampir biru muda, padang-padang Texas dilipat ke tengah, New York berhamburan ke dalam Grand Canyon, Niagara mengental, California tergulung-gulung. Walt Whitman memeras Amerika bagai sehelai karbon bekas, dan si tua itu menuangkan bir Milwaukee berbusa ke atasnya. Amerika mengeluarkan bunyi kerupuk kentang kering Yang dikunyah lambat-lambat. Camar-camar teluk San Francisco melayang di atas kedai-kedai bunga tulip, menelisik jaringan kawat trem-trem yang berkenengan dan buang air tepat di atas kantor asuransi. Selamat jalan c Selamat jalan v Selamat jalan x Selamat jalan y Selamat jalan. 1972
Dalam puisi yang ditulis lebih belakangan, “Sejarum Peniti, Sepunggung Gunung” (1990) (Ismail, 2008a: 549-551), tautan puisi dengan alam tergambar dengan lebih lugas:
Puisi punya kepentingan besar terhadap bertrilyun daunan yang
terpasang
tepat dan rimbun pada pepohonan
…
Puisi punya kepentingan besar terhadap air yang tersedia
dalam berbagai ukuran bejana bumi
mengalir melalui bermacam format saluran tanah
dihuni oleh perenang-perenang sejati yang berukuran
mulai dari
sejarum peniti sampai sepunggung gunung
…
Puisi dengan penuh rasa khawatir, curiga dan cemburu
menyaksikan dedaunan, pepohonan, unggas, ikan
cuaca, zat asam, susunan syaraf, sungai, danau, lautan
bercakap serak dan gagu dengan sesamanya
Puisi yang bisa diposisikan sebagai salah satu manifesto Taufiq Ismail tentang peran penyair dalam menyelamatkan bumi dan umat manusia tersebut diakhiri dengan gambaran kultur merusak alam yang harmoninya “dulu tiada tertandingi”. Kerusakan itulah yang kemudian ditangisi dan dicatat oleh puisi “dengan huruf-huruf sedih, sesak nafas, geram dan naik darah”. Tugas puisi, sebagaimana diungkapkan dalam baris penutup puisi tersebut (Ismail, 2008a: 551), adalah “menepuk bahu dan mencoba mengingatkan”, satu ungkapan yang selaras dengan konsep profetik “kabar”.
Menggunakan sudut pandang ini, meski pembacaan Sapardi Djoko Damono atas puisi “Trem Berklenengan di Kota San Francisco” tampak pantas, tetapi ia tidak tampak sepenuhnya pas. “Jembatan raksasa, rumah-rumah modern, trem, dan kantor asuransi” hadir dalam puisi tersebut bukan sebagai gambaran perluasan cakupan makna alam, melainkan lebih sebagai kultur, oposisi biner natur dalam puisi yang sama: bukit, laut, uap air, daun-daun, bulan. Selain itu, meski sebagaimana Tia Setiadi katakan Taufiq Ismail menunjukkan keakraban yang sama terhadap keduanya, tetapi keakraban itu tampak memiliki tone ‘nada’ berbeda, yang satu riang, yang lain gamang.
Bentuk puisi prosa tampaknya dipilih untuk puisi ini untuk mempermudah penyampaian deskripsi, satu situasi yang juga mengingatkan pada bentuk kabar. Meski bentuknya puisi prosa, pilihan diksi dan komposisi kalimat tetap menyodorkan jumlah ketukan dan bunyi melodis, satu hal yang lebih kentara jika dibaca pada versi Horison Sastra Indonesia 1: Kitab Puisi (Ismail, 2002: 159) yang menampilkan puisi ini dalam tipografi larik-larik enjambemen:
Pagimu yang cerah, San Francisco, sampai padaku di atas bukit itu, lautmu bagai bubur agar-agar, uap air di langitmu mencecerkan serbuk kabut seperti tepung nilon dan terjela-jela…
Jumlah ketukan pertama yang banyak dengan akhir vokal u dan tanda koma mengisyaratkan jeda agak panjang pada larik pertama, kemudian dilanjutkan larik kedua dengan jumlah ketukan lebih banyak satu ketukan, tanpa tanda koma dan dengan akhir suku kata tertutup mengisyaratkan jeda singkat yang langsung berlanjut larik ketiga dengan ketukan lebih sedikit dan suku kata akhir terbuka dengan vokal tajam a menciptakan alunan nada yang tidak monoton. Saat dibaca sebagai puisi prosa, pembaca mau tidak mau harus menyusun rumus melodinya sendiri.
Bait awal sampai bait keempat puisi merupakan deskripsi khas sajak pastoral, lanskap alam yang relasinya masih seimbang dengan kultur. Dalam lanskap itu, laut yang “bagai bubur agar-agar” dan “uap air di langit” bisa harmonis dengan “jembatan raksasa” persis pemandangan “duapuluh empat tahun yang silam” dan kleneng trem serta cat bukan mencemari alam tetapi justru dikeringkan angin untuk ikut mewarnai “deretan bangunan dinding trem kota, tulang jembatan, atap, pintu dan jendela”. Natur dan kultur bekerja sama secara harmonis menciptakan lanskap indah pastoral.
Namun, harmoni tersebut adalah lanskap yang tak lagi ada di kota lain: “Los Angeles si buruk muka” yang lantas “cemburu” pada San Francisco. Jika San Francisco adalah simbol kota tempat natur dan kultur berjalin dengan harmonis, maka Los Angeles adalah kota distopia, arah yang ironisnya sedang dituju kota-kota lain di Amerika sebagaimana digambarkan oleh “seorang tua berambut putih berkumis putih berjanggut putih” dalam bait kelima. Meski tak banyak mengubah penafsiran seandainya orang tua tersebut dibaca sebagai orang tua pada umumnya, tetapi karakterisasi orang tua tersebut kuat merujuk pada satu sosok penyair Amerika: Walt Whitman.
Dus, perkataan orang tua itu bahwa dia “tidak dengar Amerika menyanyi lagi” merupakan alusi pada puisi Walt Whitman “I Hear America Singing” (Whitman, 2009: 19), puisi yang bukan kebetulan diterjemahkan oleh Taufiq Ismail dua dekade setelah dia menulis “Trem Berklenengan di Kota San Francisco”.22Puisi “I Hear America Singing” merupakan 1 dari 160 puisi pilihan karya penyair Amerika Serikat yang diterjemahkan oleh Taufiq Ismail saat dia menjadi Penyair Tamu University of Iowa antara September 1991-Oktober 1992. Semua terjemahan karya pada periode itu kemudian dibukukan sebagai Rerumputan Dedaunan. Majalah Horison edisi XLIV/2/2010 memuat 31 puisi terjemahan dari buku tersebut, termasuk “I Hear America Singing” yang diterjemahkan sebagai “Aku Dengar Amerika Bernyanyi”. Puisi tersebut menggambarkan para pekerja yang riang dan optimis di siang hari lantas berpesta di malam hari. Ditulis tahun 1860, puisi tersebut meluapkan visi tentang America sebagai masyarakat komunal, ciri khas kultur desa. Akan tetapi “Trem Berklenengan di Kota San Francisco” menunjukkan bahwa optimisme dan sikap riang itu kemudian lenyap dan sebabnya mudah ditebak: modernisme menempatkan kota sebagai pusat, para pekerja industri berjarak dari produk yang mereka hasilkan sehingga tidak lagi mampu bernyanyi, pesta malam menjadi kemewahan yang hanya bisa dinikmati segelintir orang. Dalam suasana semacam itu, “Walt Whitman memeras Amerika bagai sehelai karbon bekas, dan si tua itu menuangkan bir Milwaukee berbusa ke atasnya”: satu situasi depresi tempat Amerika tak lagi menyanyi, tapi mengerang.
Pada diksi “menyanyi” dan “mengerang”, aspek makna yang menyodorkan atmosfer berlawanan diperkuat oleh aspek bunyi. Nyanyi adalah bentuk konsonansi yang menciptakan melodi yang menyenangkan, sementara erang menciptakan kakofoni dengan dampak atmosfer mengerikan, satu hal yang juga bisa ditemukan dalam puisi “Batu Belah” Amir Hamzah: rang … rang… kup (Hamzah, 2000: 45). Elaborasi bunyi yang sama tampak dalam analogi Amerika dengan “bunyi kerupuk kentang kering” yang kemudian ditautkan dengan proses penghancuran “lambat-lambat”.
Walt Whitman hadir dalam “Trem Berklenengan di Kota San Francisco” sebagai simbol sosok Amerika tua, masa lalu, lanskap pastoral, suasana harmonis. Harmoni yang ditemukan di San Francisco itu sedang dalam proses berubah menuju distopia, disimbolkan dengan “kursi plastik yang bentuknya seperti bom waktu” yang dia duduki. Kursi yang mestinya menyodorkan kenyamanan lantas menyodorkan hal sebaliknya saat bentuknya “seperti bom waktu” dan dengan demikian menyiratkan bahwa perubahan tersebut memiliki konotasi negatif dan pesimisme, sementara kombinasi “kursi plastik” dengan “bom waktu” sekaligus menautkan konotasi negatif tersebut dengan pesatnya industri (plastik) dan majunya teknologi (bom waktu).
Maka apa yang kemudian tampak dalam bait-bait selanjutnya adalah kota yang bergerak menuju dan akan mengubah alam, “padang-padang Texas”, Grand Canyon, Niagara, California yang sedang bergerak menuju distopia: Los Angeles. Di akhir puisi tampak camar-camar yang melayang-layang akrab “di atas kedai-kedai bunga tulip, menelisik jaringan kawat trem-trem yang berkenengan [sic]”, tetapi memilih “buang air tepat di atas kantor asuransi”. Pada bait akhir ini tampak jelas perbandingan oposisi biner natur dan kultur: camar sebagai simbol natur, kedai-kedai bunga tulip dan kawat trem-trem yang berklenengan sebagai simbol harmoni natur dan kultur, dan kemudian kantor asuransi, simbol sesuatu yang asing, kultur yang tak menyatu dengan natur. Maka hanya pada “kantor asuransi”-lah camar-camar tersebut memilih buang air, pilihan sikap yang menyimbolkan disharmoni.
Sebagai penutup puisi, ucapan selamat jalan dalam lima baris terakhir merupakan indikasi posisi narator: dia berpihak pada natur, pada lanskap pastoral, pada Walt Whitman, pada harmoni di masa lalu, tergambar dari nama-nama c, v, x, dan y yang merupakan nama-nama camar “duapuluh empat tahun silam”, sesuatu yang dalam puisi “Membaca Tanda-Tanda” (1982) disebut sebagai “tak begitu jelas” tetapi kemudian dirindukan setelah semua perubahan terjadi dan mereka menghilang. Teknik anafora lima kali “selamat jalan” pada bait terakhir tersebut memperkuat bunyi musikal dan lebih dari itu menautkannya dengan agama: anafora adalah salah satu teknik sentral ayat-ayat kitab suci yang termasuk kategori sarana retorika bunyi pemancing empati.
Dengan menempatkan alam sebagai oposisi biner kultur, puisi ini bisa dibaca mengisyaratkan gambaran bahwa alam bukan melulu lanskap yang menyusun sajak pastoral, bunyi-bunyi lembut yang tenteram dan terdengar sepanjang empat bait pertama “Trem Berklenengan di Kota San Francisco”, tetapi ia juga bisa menjadi lanskap distopia yang berujung apokaliptik sebagaimana tampak dalam puisi-puisi Taufiq Ismail periode selanjutnya. Dengan kata lain, selain bisa romantis, alam juga bisa menjadi bengis saat keseimbangan oposisi tersebut pecah lantas mendorong disharmoni natur dan kultur.
Teodisi: Alam dan Tuhan
Dalam Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1966-1998 (2003: 171-173), Aveling menempatkan puisi “Membaca Tanda-Tanda” (1982) sebagai contoh puisi islami. Aveling berkomentar bahwa puisi ini
Berkaitan dengan […] bahwa kebobrokan sosial merupakan sumber adanya polusi lingkungan, tetapi ia kemudian membacanya sebagai sebuah indikasi dari pengadilan ‘ilahiah’ / apocalyptic.
Aveling, 2003: 162
Bertolak dari pemahaman terhadap satu tema sangat sentral dalam Al-Quran bahwa alam adalah ciptaan Tuhan, relasi kausalitas pecahnya keseimbangan natur dengan kultur bukan hanya terkait fenomena indrawi seperti penambangan berlebihan dan pencemaran sungai, tetapi juga aspek penting pada manusia dari sudut pandang agama: moralitas. Karena itu fenomena azab umat nabi-nabi pra-Islam bisa dan biasa ditautkan dalam relasi kausalitas dengan fenomena bobroknya moralitas umat-umat tersebut.23Dalam pemahaman Islam secara umum, merujuk QS. Al-An’am [6]: 65 dan sebuah hadis sahih, umat Nabi Muhammad saw. diberi keringanan tidak akan diberi azab dunia dalam bentuk azab-azab yang memusnahkan umat nabi-nabi terdahulu. Konsekuensinya, Islam memberi pemaknaan teodisi berbeda terkait bencana-bencana yang menimpa umat nabi-nabi terdahulu dengan bencana-bencana yang terjadi dari era Nabi Muhammad saw. sampai Hari Kiamat.
Pada saat bencana ditautkan dengan kekuasaan Tuhan, pada momen itu pula pembahasan bencana masuk ke ranah Teodisi, keadilan Tuhan.24Satu risalah yang membahas teodisi secara filosofis dengan bertolak dari refleksi tentang peristiwa Tsunami Aceh 26 Desember 2004 bisa dibaca dalam Goenawan Mohamad, Debu, Duka, Dsb.: Sebuah Pertimbangan Anti-Theodise (Jakarta: Tempo & PT Grafiti), 2011. Risalah tersebut dicetak ulang tahun 2019 oleh penerbit Matabangsa. Meski edisi cetak ulang menggunakan judul yang sama, tetapi teks 2019 memuat beberapa perubahan signifikan. Sebagaimana konsep teodisi dalam ranah filosofis umum tidak tunggal, demikian juga halnya konsep teodisi dalam Islam yang tersusun dari berbagai mazhab pemikiran. Terlepas dari segala variasi konsep, setiap teodisi pada dasarnya bermula dari sebuah tanya tentang seberapa jauh campur tangan Tuhan ketika keburukan terjadi di muka bumi, satu hal yang tergambar salah satunya dalam puisi “Membaca Tanda-Tanda”.
MEMBACA TANDA-TANDA Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan dan meluncur lewat sela-sela jari kita Ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas tapi kini kita mulai merindukannya Kita saksikan udara abu-abu warnanya Kita saksikan air danau yang semakin surut jadinya Burung-burung kecil tak lagi berkicau pagi hari Hutan kehilangan ranting Ranting kehilangan daun Daun kehilangan dahan Dahan kehilangan hutan Kita saksikan zat asam didesak asam arang dan karbon dioksid itu menggilas paru-paru Kita saksikan Gunung memompa abu Abu membawa batu Batu membawa lindu Lindu membawa longsor Longsor membawa air Air membawa banjir Banjir membawa air air mata Kita telah saksikan seribu tanda-tanda Bisakah kita membaca tanda-tanda? Allah Kami telah membaca gempa Kami telah disapu banjir Kami telah dihalau api dan hama Kami telah dihujani abu dan batu Allah Ampuni dosa-dosa kami Beri kami kearifan membaca Seribu tanda-tanda Karena ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan dan meluncur lewat sela-sela jari Karena ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas tapi kini kami mulai merindukannya. 1982
Puisi “Membaca Tanda-Tanda” dibuka dengan kesadaran terjadinya perubahan di muka bumi dan perubahan tersebut bukan hal baik: udara yang menjadi abu-abu, air danau yang susut, burung-burung kecil yang lenyap, hutan yang kehilangan pohon, dan paru-paru yang tak lagi merasakan udara segar. Deskripsi awal narator yang membuka puisi dengan kerinduan akan situasi sebelum semua perubahan itu terjadi mengindikasikan pandangan narator bahwa perubahan tersebut bukan sesuatu yang diharapkan.
Setelah deret perubahan memburuk yang relatif kecil, terjadilah keburukan yang lebih ekstrem dalam bentuk bencana, dari mulai gunung meletus, gempa bumi, longsor, sampai banjir. Semua baris dalam puisi ini yang menunjukkan perubahan dan bencana disusun dalam anafora, bentuk musikal warisan umum kitab suci, yang diperkuat dengan tipografi sehingga bunyi musikalnya bisa ditangkap bahkan secara visual. Semua bencana tersebut menyebabkan manusia sengsara sehingga memunculkan tanya dan dengan demikian teodisi pun hadir: “Kita telah saksikan seribu tanda-tanda | Bisakah kita membaca tanda-tanda?”
Anggapan campur tangan Tuhan di balik semua perubahan dan bencana tergambar jelas dari disebutnya nama Tuhan setelah pertanyaan tersebut. Posisi narator puisi tampak sebagai manusia yang menyadari kedaifannya dalam dua hal. Pertama, dia merasa tidak luput dari dosa dan karenanya memohon ampun, satu kesadaran yang digambarkan dalam puisi lain, “Kesabaran dalam Berdoa” (2007), dengan lebih tegas: “Bencana demi bencana | Memaksa kita bertanya | Apa salah kita | Apa dosa kita | Mari kita merenung dengan jujur | Bersama menemukan jawabannya”; kedua, dia meminta “kearifan membaca | seribu tanda-tanda”.
Gambaran tersebut selaras pandangan umum Islam tentang teodisi bahwa “kesukaran dan kesulitan adalah (sarana) pendidikan bagi seseorang dan pembangkit kesadaran suatu umat” (Muthahhari, 2009: 173). Pada narator “Membaca Tanda-Tanda”, kesadaran tersebut adalah kesadaran akan alam harmonis dan musikal, yaitu “sesuatu yang mulanya | tak begitu jelas” tetapi setelah perubahan dan bencana terjadi sesuatu itu menjadi objek rindu.
Bertolak dari situ, “kearifan membaca | seribu tanda-tanda” merujuk pada pemahaman kausalitas bahwa segala perubahan tersebut disebabkan tindakan manusia, konsep yang berbasis QS. Ar-Rum [30]: 4125Terjemahan versi Kemenag Edisi Penyempurnaan 2019 sebagai berikut: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” di dalam Al-Quran yang dalam puitika Islam berposisi sebagai sumber Kebenaran. Interpretasi ini dikuatkan pula oleh bagian penutup “Sejarum Peniti, Sepunggung Gunung” (1990) yang menggambarkan “Huruf-huruf kapital telah mengeja keserakahan, | mengejek kemiskinan, mencetak kekerasan, melestarikan penindasan, | menyebarkan kejahilan” dan kemudian “secara kolektif” menghancurkan peradaban.
Dengan demikian, alih-alih menyebut puisi itu menggambarkan “pengadilan Ilahiah” sebagaimana komentar Aveling, akan lebih pas jika menyebutnya sebagai “peringatan Ilahiah”. Campur tangan Ilahi dalam kemunculan bencana-bencana hanya bersifat tidak langsung dan penyebab langsungnya justru kegagalan manusia yang dalam konsep Islam sudah merupakan mandataris Tuhan untuk mengelola bumi. Dalam konteks itulah kita bisa memahami juga logika baris-baris puisi “Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini” (Ismail, 2008a: 155):
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Aveling menafsirkan baris-baris yang menggambarkan “kesengsaraan rakyat” tersebut dengan menariknya pada “filsafat kenegaraan Indonesia kuno” yang menautkan memburuknya kondisi suatu negara, dalam hal ini bukan hanya kondisi hukum, ekonomi, politik, tetapi tampaknya juga bentang alam, dengan “kezaliman rezim raja dan pengikutnya” (Haridas, 1986: 71-72). Apa yang Aveling maksudkan dengan tampaknya merujuk pada status raja dalam tradisi Jawa. Dalam Babad Tanah Jawi, Pangeran Puger atau Pakubuwana I, susuhunan Mataram yang umum dianggap sebagai penguasa bijak, menyatakan bahwa “raja adalah sebagai representasi Tuhan” (Remmelink, 2022: 191). Konsep tersebut bisa ditelusuri pada kisah tujuan penciptaan Adam dalam QS. Al-Baqarah [2]: 30 untuk menjadi khalifah26Terjemahan Al-Quran versi Kemenag memberi catatan makna kata khalifah dalam Al-Qur’an sebagai pengganti, pemimpin, penguasa, atau pengelola alam semesta. Lihat dalam Al-Qur’an dan Terjemahannya (Edisi Penyempurnaan 2019), hal. 6. di muka bumi yang dalam wacana suksesi raja-raja Jawa bercorak Islam kemudian dijadikan sumber legitimasi wewenang absolut. Sebagai konsekuensi peran luhur warananing Hyang Agung, mandataris Tuhan, maka kezaliman seorang raja juga akan berdampak luas terhadap natur. Dengan demikian, akan lebih tepat jika relasi kausalitas “bencana alam” dengan “kezaliman” dalam baris-baris puisi di atas dimaknai dengan menautkannya pada teodisi Islam: bencana alam tersebut terjadi karena manusia telah melanggar titah Tuhan untuk menjadi khalifah di muka bumi yang tidak berbuat zalim dan mengelola bumi dengan sebaik-baiknya.27Contoh lain filsafat kuno tersebut disodorkan oleh kisah Oedipus dalam tradisi Yunani Kuno. Ketika bencana alam tiada henti mengguncang kota Thebes, berdasarkan pesan Apollo melalui orakel Delphi, penyebabnya adalah adanya “polusi”, miasma, sesuatu yang membahayakan lingkungan, di antara mereka. Polusi tersebut merujuk pada pembunuh raja Thebes sebelum Oedipus yang sampai saat itu masih misterius. Bencana alam hanya akan terhenti saat pembunuh tersebut ditangkap dan dihukum (Sophocles, 1998: 49, 51, 52).
Namun, “kearifan membaca | seribu tanda-tanda” juga bisa ditafsirkan sebagai simbol kearifan menyadari kedaifan manusia terkait usia. Ada banyak puisi Taufiq Ismail mengangkat tema maut, satu tema yang juga sentral dalam Al-Quran. Sepuluh puisi bertema maut dengan tarikh penciptaan 1999-2006 bahkan dijadikan kelompok tersendiri dalam Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1 dengan tajuk Sejengkal Nafas.28Puisi senada di luar tajuk itu misalnya “Sebuah Ziarah ke Kubur Sendiri”, “Penerbangan Terakhir”, dan “Zikrul Maut”. Baris-baris penutup salah satu puisi, “Mayat yang Ingin ke Luar Melompat” (1999), memiliki interteks pula dengan “kearifan membaca | seribu tanda-tanda”: “Sesosok apa itu kiranya | Yang memaksa ingin ke luar dari tubuhku yang fana || Memahaminya mengapa aku demikian lambat | Padahal sejak lama dia sudah memberi isyarat.” (Ismail, 2008a: 716).Sementara itu dalam puisi berjudul sama, “Membaca Tanda-Tanda”, ditulis lebih belakangan terkait bencana Tsunami Aceh pada akhir tahun 2004, terdapat baris-baris yang merujuk kefanaan dunia dengan lebih tegas, dari mulai kefanaan harta benda, tempat tinggal, usia, sampai segala infrastruktur ciptaan manusia: kultur.
Sebagai rekaman peristiwa nyata yang dipublikasikan bersama 16 puisi lain dalam antologi Tsunami dan menggambarkan momen ketika natur menampilkan wajah bengis, bukan hanya terhadap manusia, tetapi juga hewan dan tumbuhan, “Membaca Tanda-Tanda” versi 2004 merupakan kabar yang lebih meyakinkan dibanding versi 1982. Beberapa baris puisi tersebut memuat kesamaan konten dengan versi 1982, selain itu puisi juga memuat pertanyaan lebih tegas tentang teodisi dengan mengutip QS. Al-Baqarah [2]: 26 berikut artinya yang mempertanyakan apa kehendak Allah menciptakan perumpamaan tersebut.
Setelah deskripsi khas teodisi Islam menggambarkan orang-orang yang meninggal akibat bencana sebagai calon-calon penghuni surga, puisi “Membaca Tanda-Tanda” (2004) menyodorkan sisi edukatif cobaan dan kesulitan yang oleh Muthahhari (2009: 173) dianalogikan dengan “gerinda yang membuat besi dan baja menjadi tajam” dalam bentuk doa: “beri kami kekuatan | untuk bangkit kembali || Beri kami kekuatan | untuk membantu | Saudara-Saudara sebangsa” (Ismail, 2008a: 945). Bentuk doa sendiri banyak ditemukan dalam puisi-puisi Taufiq Ismail sejak awal kepenyairannya. Hal tersebut bersesuaian dengan salah satu poin puitika profetik dia bahwa puisi “mengantarkan pada suasana zikrullah”. Hal sama misalnya diungkapkan dalam puisi “Dengan Puisi Aku” (1965): “Dengan puisi aku berdoa | Perkenankanlah kiranya.” (Ismail, 2008a: 118).
Dalam tulisan yang membahas sastra Indonesia bercorak keagamaan, “Posisi Sastra Keagamaan Kita Dewasa Ini” (1966), Goenawan Mohamad menyinggung bahwa
dengan bersemboyan “seni sebagai alat dakwah” kadang-kadang kita melihat orang mendesakkan agar ayat-ayat suci diselipkan dalam sebuah repertoire….
Mohamad, 1966: 141
Kritik Goenawan Mohamad dalam tulisannya tertuju pada sastra keagamaan yang “identik dengan khotbah-khotbah yang dibungkus dalam sajak, novel ataupun repertoire”, tipe sastra yang akan membuat “pembaca menjadi jemu, malas”. Kritik tersebut tampak memiliki basis sama dengan kritiknya terhadap konsep puitika Sutan Takdir Alisyahbana yang dia anggap antipuisi. Terlepas dari benar tidaknya tipe sastra keagamaan semacam itu memberi efek jemu dan malas bagi pembaca, satu hal yang tentu membutuhkan penelitian resepsi yang luas dan cermat, tipe puisi skriptural Taufiq Ismail memang akan berpotensi memantik efek yang sama seandainya rumus puitika dia berhenti pada sekadar puisi “kabar”. Situasi semacam itu misalnya banyak terjadi dalam praktik sastra bertendens yang lain di Indonesia, yaitu LEKRA dengan Realisme Sosialisnya.
Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, puitika profetik Taufiq Ismail bersumber pada basis tertua sastra bertendens Islam yang lebih mengutamakan makna puisi daripada bentuk puisi dalam penilaian estetika. Akan tetapi “lebih mengutamakan makna” tidak lantas berarti mengabaikan bentuk. Jika rumus “kabar” dan “cerdas” berkaitan dengan makna, maka rumus “musikal” berkaitan dengan bentuk. Maka menarik melihat bahwa pencantuman ayat Al-Quran berikut artinya dalam puisi “Membaca Tanda-Tanda” (2004) dilakukan dengan memperhitungkan aspek “musikal” tersebut:
Maadza arada Llaahu bi haadza mathala?29Dalam versi Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit kutipan teks keagamaan dicantumkan dalam bentuk transliterasi, sementara dalam versi Dust on Dust (Debu di Atas Debu) kutipan yang sama dicantumkan dalam tulisan arab asli. Selain puisi “Membaca Tanda-Tanda” (2004), puisi-puisi lain yang memuat kasus sejenis adalah “Ketika El-Maut Disembelih”, “Doa Sembilan Cahaya”, “Lapangkan Dada”, “Membaca dan Menulis”, “Meniru Sifat Rasul”, “Menghitung Kenikmatan”, “Pena dan Tinta”, “Undangan Tuhan”, “Zikrul Maut”, “Tuhan Sembilan Senti”, “Mengenang Awal Sejarah Hijrah”, “Antara Jangan-Jangan dan Mudah-Mudahan” (Ismail, 2014c: 1130, 1024, 1038, 1040, 1040, 1042, 1044, 1046, 1048, 1050, 1086, 1182 dan 1184, dan 1188).
Apa gerangan yang Dikau kehendaki dari ini umpama? (Ismail, 2008a: 944)
Secara literal, arti umum ayat tersebut adalah apa maksud Allah dengan perumpamaan ini?. Akan tetapi jika arti tersebut yang dimuat maka keindahan bunyi melalui rima akhir aa tidak akan tercapai sehingga penyair kemudian menyampaikan arti ayat tersebut dengan modifikasi: umpama diletakkan di akhir dan dihapus afiksasinya sehingga menciptakan rima akhir aa meski tindakan tersebut menyebabkan struktur kalimat inversi, posisi Allah sebagai pihak yang dibicarakan dalam ujaran tidak langsung berubah menjadi pronomina pihak kedua arkaik “Dikau” sehingga relasi pembicara dan yang diajak bicara menjadi lebih akrab, sementara ketiadaan afiksasi pada diksi-diksi yang digunakan menciptakan efek puitis dengan jumlah ketukan yang lebih ringkas saat baris-baris tersebut dibacakan.
Berdasarkan tafsir di atas, perbedaan antara puitika profetik Taufiq Ismail dengan puitika para penyair sufistik lokal juga menjadi lebih jelas. Pendekatan Taufiq Ismail bersifat syariat formal atau konservatif dengan relasi kuasa tegas antara Tuhan dan manusia, sementara pendekatan sufistik cenderung lebih subjektif dan cair terkait relasi manusia dengan Tuhan. Kritikus Aliran Rawamangun, Drs. M.S. Hutagalung, mengungkapkan karakteristik kecenderungan sufistik ini secara ekstrem ketika mengomentari karakteristik seniman:
Memang seniman-seniman ada kemiripannya dengan mistikus yang selalu ingin langsung bertemu dengan Tuhan. mereka tak begitu menyukai upacara-upacara formil, misalnya setiap minggu ke gereja atau sembahyang Jumat di masjid. Hal ini dapat kita pahami karena seniman biasanya dan selalu mencari hakekat dari kehidupan itu.
Hutagalung, 1974: 17
Tampaknya itulah alasan Aveling (2003: 160-165) membedakan generasi penyair Islami termasuk Taufiq Ismail dengan generasi penyair sufistik yang dalam Historiografi Sastra Indonesia berkembang beririsan. Dari sisi puitika Islam, puitika profetik yang lahir dari Nabi sebagai “kritikus sastra” memang cenderung konservatif, sementara puitika Islam sufistik yang lahir belakangan dengan dorongan motivasi sedikit banyak bersifat antitesis pada masa Bani Umayyah cenderung lebih bebas.30Dalam “Kuntowijoyo: Menjejak Bumi, Menjangkau Langit”, tulisan yang semula dipublikasikan dalam Majalah Horison No. XXXIX/5/2005 kemudian dijadikan sebagai Epilog Maklumat Sastra Profetik edisi DIVA Press (hal. 122-146), Moh. Wan Anwar menyamakan pemikiran sastra sufistik dan sastra profetik era 1980-an serta menautkan keduanya dengan gerakan tasawuf. Perbedaannya hanya bahwa istilah yang pertama “lebih banyak digunakan Abdul Hadi W.M.” sementara istilah yang kedua oleh Kuntowijoyo. Penulis tidak sepakat dengan argumentasi tersebut karena perbedaan basis konsep dan historis sebagaimana sudah disinggung di atas. Jika, misalnya, ada jejak-jejak tasawuf dalam puisi-puisi Taufiq Ismail, maka rujukannya lebih pada apa yang Aprinus Salam sebut sebagai “sufisme suni (ortodoks)” daripada “sufisme filosofis”. Sufisme suni adalah aliran tasawuf moderat yang cenderung lebih dekat dengan pemahaman doktrin Islam formal dengan salah satu tokohnya Al-Ghazali, sementara “sufisme filosofis” adalah tasawuf ekstrem dengan salah satu tokohnya Ibnu Arabi. Menarik bahwa Aprinus Salam juga menyinggung perbedaan tipe sufisme yang berkembang di Jawa dan Sumatra. Budaya lokal jawa mudah merembes ke dalam ajaran sufisme dan menghasilkan lokalisasi sufisme filosofis, sementara di Sumatra tidak terjadi hal yang sama. Lebih lengkap lihat dalam Aprinus Salam, Sastra, Negara, & Politik (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2017), terutama hal. 38-45.
Puitika Profetik, Sebuah Simpulan
Berdasarkan telisik tiga puisi ekologis dengan melibatkan intertekstualitas pada korpus luas karya-karya Taufiq Ismail, bumi dalam puisi-puisi Taufiq Ismail hadir tampak bukan sekadar simbol tetapi lebih sebagai pemindahan bumi yang riil ke dalam bentuk teks setelah dicerap oleh indra penyair. Posisi penyair adalah pengabar situasi riil dengan tambahan pesan dan tanpa mengabaikan aspek keindahan teks, terutama aspek bunyi. Pesan utama yang disodorkan terkait aspek ekologis adalah kemestian relasi alam dan manusia secara horizontal yang kemudian sama-sama bertaut secara vertikal dengan Tuhan. Baik buruknya relasi tersebut, pada akhirnya, menentukan baik buruknya situasi kehidupan manusia di muka bumi.
Simpulan tersebut menyaran juga pada konsistensi Taufiq Ismail dalam memegang identitasnya sebagai muslim sepanjang kepenyairannya. Hal tersebut dibuktikan melalui penggunaan puitika profetik sebagai basis penciptaan puisi-puisinya, puitika yang percaya bahwa puisi menyalin kebenaran objektif hasil pencerapan realitas sambil meyakini bahwa melalui langkah tersebut ada bagian dari Kebenaran—atau Realitas—yang tersampaikan, sesuatu yang dalam istilah Taufiq Ismail disebut sebagai “keindahan-keindahan kecil” dan “kebenaran-kebenaran kecil” (Ismail, 2008c: 364).31Tulisan ini menelisik basis puitika profetik tersebut khusus melalui puisi-puisi ekologis Taufiq Ismail. Akan tetapi bahkan ketika puisinya merupakan puisi protes, puisi perjuangan, atau mengangkat tema kritik sosial, semua itu tampak diolah dari sudut pandang dia sebagai muslim taat. Melalui formulasi komposisi puitika “kabar”, “cerdas”, “musikal”, relasi antara penyair, puisi, dan audiens diusahakan selempang mungkin, tujuan yang disiasati bukan hanya dengan diksi-diksi sederhana, meski bukan berarti tanpa seleksi ketat, yang menyusun kalimat-kalimat jernih, tetapi juga melalui penjelasan konteks dan pembacaan puisi oleh penyairnya.
Berbasis puitika profetik, puisi-puisi terbaik Taufiq Ismail justru adalah puisi kabar, tipe puisi yang kira-kira sepadan dengan apa yang Sapardi Djoko Damono (2016: 59) sebut sebagai “puisi transparan” dan menempati jumlah mayoritas dalam korpus puisinya. Penilaian ini bertolak belakang dengan kecenderungan umum para kritikus untuk menimbang puisi-puisi Taufiq Ismail dengan tolok ukur “bilang begini, maksudnya begitu” sehingga berujung dengan pengakuan estetis terhadap hanya minoritas puisi-puisi lirisnya, terutama dari periode Sajak Ladang Jagung, dan pengabaian terhadap mayoritas “puisi kabar” dia.
Dua penilaian bertolak belakang tersebut terjadi karena perbedaan basis tolok ukur puitika: puitika profetik dalam medan kritik sastra umum lebih dekat pada konsepsi Plato, puitika “bilang begini, maksudnya begitu” merupakan produk mode objektif modernisme yang cikal bakalnya merujuk lebih pada Aristoteles. Dengan memahami hal itu, kecenderungan kritikus untuk secara kurang tepat menyematkan estetika minor terhadap “puisi-puisi kabar” Taufiq Ismail bisa dihindari karena idealnya kedua puitika sama-sama “harus dicatet, keduanya dapat tempat”.
Referensi
Al-Qur’an dan Terjemahannya (Edisi Penyempurnaan 2019). Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI.
Adonis. 2016. Ats-Tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-Ibda’ wa al-Itba’ ‘inda al-‘Arab (I). Kairo: Al-Haiah al-‘Ammah li Qushuri al-Tsaqafah.
Aveling, Harry (ed.). 1975. Contemporary Indonesian Poetry: Poems in Bahasa Indonesia and English by W.S. Rendra, Ajip Rosidi, Subagio Sastrowardoyo, Toeti Heraty, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono. St. Lucia: University of Queensland Press.
__. 2003. Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1966-1998 (terj. Wikan Satriati). Magelang: Indonesia Tera.
Barry, Peter. 2017. Beginning Theory: An Introduction to Literary and Cultural Theory. Manchester: Manchester University Press.
Cantarino, Vicente. 1975. Arabic Poetics in the Golden Age. Leiden: E.J. Brill.
Damono, Sapardi Djoko. 1995. “Menjelang Tirani dan Benteng: Telaah Ringkas Awal Kepenyairan Taufiq Ismail”, dalam Sihir Rendra: Permainan Makna (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), hal. 113-138.
__. 2016. Bilang Begini, Maksudnya Begitu: Buku Apresiasi Puisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dewi, Wendi Widya Ratna. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Klaten: Intan Pariwara.
Eaglton, Terry. 2002. Marxism and Literary Criticism. London: Routledge.
Foulcher, Keith. 1969. “A Survey of Events Surrounding Manikebu: The Struggle for Cultural and Intellectual Freedom in Indonesian Literature” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 125, No. 4, Leiden, hal. 429-465.
__. 1986. Social Commitment in Literature and the Arts: The Indonesian “Institute of People’s Culture” 1950-1965. Clayton: Monash University.
Hamzah, Amir. 2000. Padamu Jua: Koleksi Sajak 1930-1941. Jakarta: Grasindo.
Haridas, Swami Anand. 1986. Sastra Indonesia Terlibat atau Tidak? Yogyakarta: Kanisius.
Herlambang, Wijaya. 2015. Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
Hutagalung, M.S. 1974. Telaah Puisi: Kumpulan Kritik dan Esei. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Ismail, Taufik, dkk. (ed.). 2002. Horison Sastra Indonesia 1: Kitab Puisi. Jakarta: Majalah Sastra Horison & Kakilangit.
Ismail, Taufiq. 2008a. Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1: Himpunan Puisi 1953-2008. Jakarta Timur: Panitia 55 Tahun Taufiq Ismail dalam Sastra Indonesia dan Majalah Sastra Horison.
__. 2008b. Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 2: Himpunan Tulisan 1960-2008. Jakarta Timur: Panitia 55 Tahun Taufiq Ismail dalam Sastra Indonesia dan Majalah Sastra Horison.
__. 2008c. Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 3: Himpunan Tulisan 1960-2008. Jakarta Timur: Panitia 55 Tahun Taufiq Ismail dalam Sastra Indonesia dan Majalah Sastra Horison.
__. 2008d. Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 4: Himpunan Lirik Lagu 1972-2008. Jakarta Timur: Panitia 55 Tahun Taufiq Ismail dalam Sastra Indonesia dan Majalah Sastra Horison.
__. 2014a. Dust on Dust (Debu di Atas Debu): Kumpulan Puisi Dwi-Bahasa Jilid 1. Jakarta Timur: Majalah Sastra Horison.
__. 2014b. Dust on Dust (Debu di Atas Debu): Kumpulan Puisi Dwi-Bahasa Jilid 2. Jakarta Timur: Majalah Sastra Horison.
__. 2014c. Dust on Dust (Debu di Atas Debu): Kumpulan Puisi Dwi-Bahasa Jilid 3. Jakarta Timur: Majalah Sastra Horison.
Jassin, H.B. 1984. Surat-Surat 1943-1983. Jakarta: Gramedia.
Jassin, H.B. (ed.). 1996. Chairil Anwar: Pelopor Angkatan 45. Jakarta: Grasindo.
__. 2013a. Pujangga Baru: Prosa dan Puisi. Bandung: Pustaka Jaya.
__. 2013b. Angkatan 66: Prosa dan Puisi. Bandung: Pustaka Jaya.
Kuntowijoyo. 1998. “Jika Penyair Menghayati Sejarah”, dalam Taufiq Ismail, Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1: Himpunan Puisi 1953-2008. (Jakarta Timur: Panitia 55 Tahun Taufiq Ismail dalam Sastra Indonesia dan Majalah Sastra Horison, 2008a), hal. 349-354.
__. 2019. Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta: DIVA Press.
Mahayana, Maman S. 2015. “Puisi Kesaksian: Membaca Isyarat Taufiq Ismail”, dalam Kitab Kritik Sastra (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), hal. 3-13.
Mohamad, Goenawan. 1966. “Posisi Sastra Keagamaan Kita Dewasa Ini”, dalam Sejumlah Masalah Sastra (ed. Satyagraha Hoerip) (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hal. 137-146.
__. 1988. “Peristiwa ‘Manikebu’: Kesusastraan Indonesia dan Politik di Tahun 1960-an”, Refleksi, Majalah Tempo, No. 12 Th. XVIII, 21 Mei.
__. 1992. “Kesusastraan, Pasemon”, dalam Di Sekitar Sajak (Jakarta” Tempo & PT Grafiti, 2011), hal. 29-43.
__. 2003. Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta: Pustaka Firdaus.
__. 2011a. Marxisme, Seni, Pembebasan. Jakarta: Tempo & PT Grafiti.
__. 2011b. Debu, Duka, Dsb.: Sebuah Pertimbangan Anti-Theodise. Jakarta: Tempo & PT Grafiti.
__. 2011c. Puisi dan Antipuisi. Jakarta: Tempo & PT Grafiti.
__. 2018. Seni, Politik, Pembebasan. Yogyakarta: IRCiSoD.
__. 2019. Debu, Duka, Dsb.: Sebuah Pertimbangan Anti-Theodise. Yogyakarta: Matabangsa.
Muhardi. 1988. “Dari Kaba ke Novel”, dalam Menjelang Teori & Kritik Susastra Indonesia yang Relevan (Bandung: Angkasa, 2013), hal. 38-58.
Muthahhari, Murtadha. 2009. Keadilan Ilahi: Asas Pandangan-Dunia Islam (terj. Muhammad ‘Abdul Mun’im Al-Khaqani). Bandung: Mizan.
Pane, Sanusi. 1936. “Sikap Aesthetisch”, dalam Pujangga Baru: Prosa dan Puisi (ed. H.B. Jassin) (Bandung: Pustaka Jaya, 2013), hal. 283-285.
Plato. 1998. Republic (terj. Robin Waterfield). Oxford: Oxford University Press.
Prasetyo, Arif Bagus. 2021. Saksi Kata: 18 Esai Sastra. Yogyakarta: DIVA Press.
Raffel, Burton. 1967. The Development of Modern Indonesian Poetry. New York: The State University of New York.
Remmelink, Willem (ed. dan tr.). 2022. Babad Tanah Jawi – The Chronicle of Java: The Revised Prose Version of C.F. Winter Sr. Leiden: Leiden University Press.
Rosidi, Ajip. 2012. Puisi Indonesia Modéren. Bandung: Pustaka Jaya.
__. 2013. Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia. Bandung: Pustaka Jaya.
Salam, Aprinus. 2017. Sastra, Negara, & Politik: Perlawanan Sastra Sufi di Yogyakarta Tahun 1980-an s/d 1990-an. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sastrowardoyo, Subagio. 1988. “Mencari Jejak Teori Sastra Sendiri (Renungan Seorang Awam)”, dalam Menjelang Teori & Kritik Susastra Indonesia yang Relevan (Bandung: Angkasa, 2013), hal. 12-28.
Sayuti, Suminto A. 2005. Taufiq Ismail: Karya dan Dunianya. Jakarta: Grasindo.
Setiadi, Tia. 2008. “Sebuah Ziarah ke Puisi-Puisi Taufik Ismail”, dalam Semesta dalam Satu Tarikan Napas (Yogyakarta: Diva Press, 2019), hal. 51-74.
Setyorini, Nurul dan Cintya Nurika Irma. 2018. “Representasi Krisis Ekologi di Indonesia Puisi Membaca Tanda-Tanda dan Menengadah ke Atas Merenungi Ozon yang Tak Nampak Karya Taufiq Ismail”, Jurnal Bahtera 05 (9): 317-329.
Shirazy, Habiburrahman El. 2014. “Berdakwah dengan Puisi (Kajian Intertekstual Puisi-Puisi Religius Taufiq Ismail)”, Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam AT-TABSYIR 2 (1): 35-56.
Sjón. 2018. “On the Organic Diversity of Literature: Notes from My Little Astrophysical Observatory” dalam Tales of Two Planets: Stories of Climate Change and Inequality in a Divided World (New York: Penguin Books, 2020), hal. 261-267.
Sophocles. 1998. Antigone, Oedipus the King and Electra. Oxford: Oxford University Press.
Sumaryati, Maria L.A. dan Muhammad Nasar Helmi. 2019. “Puisi-Puisi Langit by Taufiq Ismail: A Literary Ecology Study”, Proceedings of the 28th International Conference on Literature: “Literature as a Source of Wisdom”: 669-680.
Toda, Dami N. dan Pamusuk Nasution. 1984. Sajak-Sajak Goenawan Mohamad dan Sajak-Sajak Taufiq Ismail. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia. Jakarta: Lentera Dipantara.
Visiaty, Arianty, Zuriyati, dan Saifur Rohman. 2020. “Ekosistem dalam Puisi Membaca Tanda-Tanda Karya Taufiq Ismail Sebuah Kajian Etis Ekokritik”, Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI HUMANIORA 5 (4): 182-188.
Whitman, Walt. 2009. Leaves of Grass. Oxford: Oxford University Press.
__. 2010. “Aku Dengar Amerika Bernyanyi” (terj. Taufiq Ismail), Majalah Horison XLIV (3): 10.