Arketipe & Varian Cerpen “Kebaya Merah di Tebing Kanal” Martin Aleida: Catatan Pendek tentang Swaplagiarisme Cerita Pendek

1

Merupakan aturan umum semua media kredibel yang memublikasikan cerpen bahwa mereka hanya memublikasikan cerpen yang belum pernah dipublikasikan baik di media terkait ataupun di media lain. Publikasi ganda sebuah cerpen tergolong plagiarisme jika pengarangnya berbeda dan self-plagiarism ‘swaplagiarisme’ jika pengarangnya sama1Soelistyo mencontohkan tiga bentuk swaplagiarisme, salah satunya “publikasi artikel pada berbagai jurnal/media”. Selengkapnya lihat dalam Henry Soelistyo, Self Plagiarism: Sebuah Pergumulan Paradigmatik (Yogyakarta: Kanisius, 2021), hal. 45-49.. Label swaplagiarisme memang tidak seburuk plagiarisme, tetapi tetap saja swaplagiarisme cerpen pun merupakan cacat cerpenis dan media yang terlibat.

Pada 8 Juli 2023, koran Jawa Pos memublikasikan cerpen “Kebaya Merah di Tebing Kanal” karangan Martin Aleida2versi yang sama persis baik teks maupun ilustrasinya dipublikasikan juga di Kalteng Pos edisi 16 Juli 2023. Kalteng Pos merupakan grup Jawa Pos., padahal cerpen berjudul sama karya pengarang yang sama pernah dipublikasikan di koran Kompas pada 18 Juni 2023. Fakta ini jelas memancing rasa penasaran: apakah dua cerpen dengan judul dan pengarang sama tersebut merupakan 2 cerpen berbeda sehingga redaktur cerpen Jawa Pos menganggap publikasinya tidak termasuk kategori swaplagiarisme?

Tangkapan layar “Kebaya Merah di Tebing Kanal” versi Kompas, 18 Juni 2023
Tangkapan layar “Kebaya Merah di Tebing Kanal” versi Jawa Pos 8 Juli 2023

Martin Aleida merupakan penulis senior. Cerpen-cerpennya kerap masuk sebagai cerpen pilihan Kompas. Bahkan, cerpennya, “Tanah Air”, terpilih sebagai cerpen terbaik Kompas 2016. Pada halaman Jawa Pos yang memublikasikan cerpen “Kebaya Merah di Tebing Kanal”, tercantum biodata sebagai berikut:

Martin Aleida

Menyelesaikan memoarnya, juga sekumpulan cerita pendek serta esai, dan buku karya jurnalistik “Tuhan Menangis, Terluka” selama pandemi Covid-19. Dia genap 80 tahun ini.

Jawa Pos, Sabtu 8 Juli 2023, hal. 5

Rekam jejaknya yang lebih lengkap dalam dunia kepenulisan bisa dicek dengan mudah di berbagai situs di internet, salah satunya di situs Ensiklopedia Sastra Indonesia Kemdikbud. Di situs tersebut misalnya disampaikan informasi bahwa selain sudah menerbitkan novelet dan novel, Martin Aleida juga sudah menerbitkan 5 antologi cerpen pada periode 1998-2013.

Plagiarisme dan swaplagiarisme adalah cacat akut integritas dan kredibilitas 2 pihak, yaitu pengarang dan pihak yang memublikasikan karangan, baik label tersebut disematkan di dunia penulisan ilmiah ataupun penulisan kreatif. Oleh sebab itu, penyematan label tersebut harus hanya dilakukan dengan sangat hati-hati. Sebagai langkah awal, berikut disajikan perbandingan utuh kedua cerpen. Untuk memudahkan pembandingan, cerpen disandingkan per paragraf yang diberi nomor. Dengan tujuan sama, bagian yang ada pada cerpen yang satu tetapi tidak ada pada cerpen yang lain dan bagian yang mengalami perubahan ditandai dengan huruf tebal warna merah. Penulisan ulang kedua cerpen tersebut diusahakan sama persis dengan teks yang disajikan di kedua media termasuk dalam aspek tanda baca.

No.“Kebaya Merah di Tebing Kanal” (Kompas, 18 Juni 2023)“Kebaya Merah di Tebing Kanal” (Jawa Pos, 8 Juli 2023)No.
1Berulang kali. Tak terhitung. “Mas..,” bujuknya. Suaranya gemetar terpantul dari jendela kaca. Aku merapat ke punggungnya. Mengikuti arah nanap matanya. Membelai pundaknya, mendamaikan gedebur gelombang perasaan yang tak kuasa dia arungi.Yang kucemaskan menemukan pembenaran di tepi kanal Flevo Ziekenhuis. Berulang kali. Tak terhitung. “Mas…” bujuknya sendu. Suaranya gemetar terpantul dari jendela kaca.1
Menenangkan hati, sebagaimana biasa, aku merapat ke punggungnya. Mengikuti ke mana arah nanap matanya. Menggamit, membelai pundaknya, untuk mendamaikan gedebur gelombang perasaan yang tak kuasa dia arungi.2
2“Lihat, Mas,” telunjuk mengarah ke kanal di bawah. “Itu Ibu..,” katanya untuk kesekian ratus kali dalam sekian tahun, sejak kami mendamparkan diri di Belanda ini. Dia membujuk mataku menyisir tubir tebing yang lengang. “Mas, lihat… Ribuan kawan-kawan Ibu berjejer menunggu kapal yang akan mengangkut mereka ke pulau pembuangan. Menggunakan kapal perang. Ke mana lagi kalau bukan ke Buru….”“Lihat Mas,” telunjuk mengarah ke kanal di bawah sana. “Itu ibu...” katanya untuk kesekian ratus kali dalam sekian tahun, sejak kami mendamparkan diri di Belanda ini. Dia membujuk pandangan mataku untuk menyisir sepanjang tubir tebing yang lengang. “Mas, lihat… Ribuan kawan-kawan ibu berjejer menunggu kapal yang akan mengangkut mereka ke pulau pembuangan. Menggunakan kapal perang. Ke mana lagi kalau bukan ke Buru…”3
3“Lihat,” dia merengkuh bahuku. Menunjuk dengan jari gemetar, ucapnya dengan lenguh napas yang berdesakan. “Itu tuh… Yang itu, Ibu,” deru suaranya sambil merapatkan kening ke jendela. “Ya, yang di tengah itu. Yang kebayanya merah compang-camping. Cepat telepon, panggil polisi. Selamatkanlah Ibu, Mas! Ini kejahatan luar biasa di negara si penjajah ini.”Matanya nanar, tak bergeser dari tepi kanal. “Lihat,” sebagaimana sebuah rutinitas yang sudah menahun, dia merengkuh bahuku. Menunjuk dengan jari gemetar, ucapnya dengan lenguh napas yang berdesakan. “Itu tuh…Yang itu, ibu,” deru suaranya sambil merapatkan kening ke kaca jendela. “Ya, yang di tengah itu. Lihatlah. Yang kebayanya merah compang-camping. Cepat telepon, panggil polisi. Selamatkanlah ibu, Mas! Ini kejahatan luar biasa di negara si penjajah ini.”4
4Lagi-lagi aku tak bergerak memenuhi permintaan yang sudah tak terhitung berapa kali didesakkannya. Yang ditunjuknya di sepanjang kanal itu tak-lain-tak-bukan hanyalah tebing dengan pepohonan yang kesepian, sesekali diterpa riak yang keruh. Kalau musim dingin, tepi kanal itu berselimut salju. Di musim seperti itu, bukan salju yang dia lihat. Bukan pepohonan yang berjejer membeku. Tetapi, Ibunya. Mertuaku. Yang keberadaannya entah di mana di hamparan pulau, nun jauh di bawah sengat Khatulistiwa….Lagi-lagi aku mengelak, walau tak mengucapkan barang sepatah kata pun. Dan tak bergerak memenuhi permintaan yang sudah tak terhitung berapa kali didesakkannya. Yang ditunjuknya di sepanjang kanal itu tak lain tak bukan hanyalah tebing dengan pepohonan yang kesepian, sesekali diterpa riak yang keruh. Kalau musim dingin, tepi kanal itu berselimut salju. Di musim seperti itu, bukan salju benar yang dia lihat. Bukan pepohonan yang berjejer membeku. Tetapi, ibunya. Mertuaku. Yang keberadaannya entah di mana di hamparan pulau, nun jauh di bawah sengat khatulistiwa.5
5Rubiah tak kuasa mengatasi gelombang yang berdesakan di dalam dirinya, menyusul runtuhnya Tembok Berlin. Terutama setelah dapat kabar yang sangat terlambat, tentang gerombolan yang dibiarkan tentara menyudahi hidup Ayahnya.Rubiah tak kuasa mengatasi gelombang yang berdesakan di dalam dirinya, menyusul runtuhnya Tembok Berlin. Terutama setelah mendapat kabar yang sangat terlambat, tentang gerombolan massa yang dibiarkan tentara untuk menyudahi hidup ayahnya.6
6Kabar itu terlambat. Terlalu terlambat tibanya di Berlin Timur, tempat aku bekerja sebagai koresponden. Pekerjaan yang harus kutinggalkan sebagai dampak tercerai-berainya satelit Uni Soviet. Terutama untuk menghindari pengejaran oleh kekuasaan baru di Indonesia, yang mengirimkan dinas intelijen militer ke seluruh daratan, untuk membuat semua pembangkang “orde baru” berlutut. Yang menyebarkan pandemi kematian berdarah di seluruh negeri.Kabar itu terlambat. Terlalu terlambat tibanya di Berlin Timur, tempat aku bekerja sebagai koresponden. Pekerjaan yang kutinggalkan sebagai dampak tercerai-berainya satelit Uni Soviet. Terutama untuk menghindari pengejaran oleh kekuasaan baru di Indonesia, yang mengirimkan dinas intelijen militer ke seluruh daratan di bumi ini, untuk membuat semua pembangkang “orde baru” berlutut. Yang menyebarkan pandemi kematian berdarah di seluruh negeri.7
7Kabar yang terlalu terlambat. Getir. Tambah meremukkan batin Rubiah. Begini bunyinya. Supaya tak merepotkan, tentara menunggu Ibunya melahirkan lebih dulu, barulah dijemput dengan bedil. Digiring ke luar rumah. Bersama bayi di dalam dekapan, dengan tali pusar belum mengering. Ibu dihardik supaya mempercepat langkah naik ke dalam truk. Dia dilarikan, dijorokkan ke dalam penjara Bukit Duri. Empat puluh hari kemudian, Tante bayi perempuan itu dipaksa datang ke penjara untuk mengemong pulang keponakannya. Ibu harus dibuang ke Plantungan. Si bayi disapih dari tetek yang suci. Ditinggalkan Ibunya, adik Rubiah paling bungsu itu terpaksa me-ngempeng pada tetek sapi dalam bentuk susu formula.Kabar yang terlalu terlambat. Getir. Tambah meremukkan batin Rubiah. Begini bunyinya. Supaya tak merepotkan, tentara menunggu ibunya melahirkan lebih dulu, barulah dijemput dengan bedil. Digiring ke luar rumah. Bersama bayi di dalam dekapan, dengan tali pusat yang belum mengering, ibu dihardik supaya mempercepat langkah naik ke dalam truk terbuka. Dia dilarikan, kemudian dijorokkan ke dalam penjara Bukit Duri. Empat puluh hari kemudian, tante dari bayi perempuan itu dipaksa datang ke penjara untuk mengemong pulang keponakannya. Suka atau tidak si ibu harus diberangkatkan ke Plantungan. Si bayi disapih dari tetek suci yang menghidupinya. Ditinggalkan ibunya, adik Rubiah paling bungsu itu terpaksa me-ngempeng pada tetek sapi yang datang dalam bentuk susu formula. Susu yang dibeli tantenya dengan mengutang atau bantuan sanak saudara, yang mujur belum digerus oleh kekuasaan baru yang menyengsarakan.8
8Pulang ke negeri sendiri adalah angan-angan yang sama dengan bunuh diri. Ibu Pertiwi sudah jadi negeri yang dikuasai jin. Tak siapa pun berani kembali, kecuali dalam angan-angan dengan bayang-bayang kengerian. Rubiah rupanya tak kuasa menanggungkan guncangan yang meremukkan jiwanya.Pulang ke negeri sendiri sudah menjadi angan-angan yang ujungnya sama dengan bunuh diri. Ibu Pertiwi sudah seperti negeri yang dikuasai jin. Tak siapa pun berani kembali, kecuali dalam angan-angan dengan bayang-bayang kengerian. Pikiran dan hati Rubiah rupanya tak kuasa menanggungkan guncangan yang meremukkan jiwanya.9
9Kenyataan lain yang dia hadapi adalah keharusan menyingkir dari rumah kami di Berlin Timur. Meninggalkan flat, dengan hati yang berat seperti ditindih batu, mencari negeri tempat berlindung, entah di mana di daratan Eropa ini.Kenyataan lain yang dia hadapi adalah keharusan menyingkir dari rumah kami di Berlin Timur. Meninggalkan flat, dengan hati yang berat seperti ditindih batu, mencari negeri tempat berlindung, entah di mana di daratan Eropa ini.10
10Sesungguhnya dia merasa nyaman hidup bersamaku. Apartemen kami cukup besar. Bukan bandingan dengan rumah kontrakan kami yang berdinding setengah papan separuh gedek di Paseban, Jakarta. Berada di sampingku, dia yang pernah belajar jurnalistik, dapat menyaksikan dari dekat bagaimana mengumpulkan bahan berita, menulis, dan mengirimkannya dengan jalan paling cepat ketika itu: mesin teleks.Sesungguhnya Rubiah merasa nyaman hidup bersamaku. Apartemen yang kami tempati cukup besar. Bukan bandingan dengan rumah kontrakan kami yang berdinding setengah papan separo gedek di Paseban, Jakarta. Berada di sampingku, dia yang pernah belajar jurnalistik dapat menyaksikan dari dekat bagaimana mengumpulkan bahan berita, menulis, dan mengirimkannya dengan jalan paling cepat ketika itu: mesin teleks.11
11Tembok Berlin sudah tumbang. Tak terhitung berapa yang tewas melompati tembok itu mencari kebebasan nyata atau sekadar fatamorgana. Sekarang sudah tak perlu mempertaruhkan nyawa untuk melompat ke Barat. Aku tak tahu apa yang bergejolak di dalam dirinya. Rubiah menyetujui rencanaku, tanpa keragu-raguan barang sepatah kata pun. Barangkali, dia mengira, itu pilihan terbaik untuk bisa bergabung dengan Ibunya di atas truk menuju tanah pembuangan. Atau menitipkan kembang di arus air Bengawan Solo, berenang-renang mengantarkan wewangian untuk Ayah di surga. Tembok Berlin sudah tumbang. Tak terhitung berapa orang yang tewas melompati tembok itu untuk mencari kebebasan nyata atau sekadar fatamorgana. Sekarang, sudah tak perlu mempertaruhkan nyawa untuk menyeberang ke Barat. Aku tak tahu apa yang bergejolak di dalam dirinya. Rubiah menyetujui rencanaku, tanpa keragu-raguan barang sepatah kata pun. Barangkali dia mengira, itu pilihan terbaik untuk pada akhirnya dapat bergabung dengan ibunya di atas truk menuju tanah pembuangan. Atau menitipkan kembang di arus air Bengawan Solo, berenang-renang mengantarkan wewangian untuk ayahnya di surga.12
12Kami menumpang kereta api. Turun di stasiun Zoologische Garten. Sebagaimana yang diceritakan kawan-kawan dari Afrika, di stasiun itu tak ada pemeriksaan. Kami melenggang berpegangan tangan. Layaknya pengantin yang sudah lama ditunggu-tunggu melintas.Kami menumpang kereta api. Turun di stasiun Zoologische Garten. Benar saja, sebagaimana yang diceritakan kawan-kawan dari Afrika, di stasiun itu tak ada pemeriksaan. Kami melenggang sambil berpegangan tangan. Layaknya pengantin yang sudah lama ditunggu-tunggu melintas.13
13Menginjakkan kaki di Barat, yang dulu kami cerca, Rubiah tak berubah. Namun, dia menunjukkan sikap yang tak terjangkau pikiranku. Dia selalu meneteskan air mata ke kursi angkutan umum bila kami harus berpindah alat angkutan. Tambah merepotkan, sebab setiap kami menginap di hotel, dia selalu mendesak agar bantal dibawa serta ketika check-out. Rubiah tak bisa tidur di bantal yang tak dikenalnya. Dia seperti mencium aroma kematian di bantal yang tak pernah menjadi tempat rebah kepalanya. Jika ada kawan senasib, yang dengan senang hati mengajak menginap di rumah mereka, Rubiah menolak bantal tuan rumah. Diam-diam dia keluarkan sarung bantal dari tas jinjingnya.Menginjakkan kaki di Barat, yang dulu kami cerca, Rubiah tak berubah. Namun, dia menunjukkan sikap yang tak terpikirkan. Dia selalu meneteskan air mata ke kursi angkutan umum bila kami harus berpindah alat angkutan. Tak mau duduk di kursi yang belum pernah dia tempati. Tambah merepotkan, sebab setiap kami menginap di hotel, dia selalu mendesak agar bantal dibawa serta ketika check-out. Rubiah tak bisa tidur di bantal yang tak dikenalnya. Dia seperti mencium aroma kematian di bantal yang tak pernah menjadi tempat rebah kepalanya. Jika ada kawan senasib, yang dengan senang hati mengajak menginap di rumah mereka, entah di Munchen, entah di Frankfurt, entah di Koln, Rubiah menolak bantal tuan rumah. Diam-diam dia mengeluarkan sarung bantal dari tas jinjingnya. Aku tak tahu di mana dia dapatkan sarung bantal itu. Hanya di atas sarung bantal itu dia sudi merebahkan kepala dan tidur pada malam-malam yang kami lewati sebelum menyeberang ke daratan baru.14
14Di Aachen, seorang kawan membawa kami ke pos pertemuan Jerman, Belanda, Belgia, di Les Trois Bornes. Yang jadi pembatas negara itu bukanlah beton sekokoh Tembok Berlin. Cuma garis lurus, terbuat dari lempeng metal, bertemu di satu titik. Daun-daun kering kedinginan menari-nari di atas tanah dipermainkan angin benua. Kawan itu mengatakan, titik pertemuan tiga negara itu ditemukan Tentara Merah Jepang. Mereka berpura-pura hiking untuk mencarikan penyeberangan bagi orang Indonesia yang bertekad meminta perlindungan di Belanda.Di Aachen, dengan mengendarai mobil, sekitar seperempat jam, seorang kawan membawa kami ke pos pertemuan Jerman, Belanda, dan Belgia, di Les Trois Bornes. Yang menjadi pembatas bukanlah beton sekokoh Tembok Berlin. Cuma garis lurus, terbuat dari lempeng metal, bertemu di satu titik yang ditanam di tanah. Daun-daun kering kedinginan menari-nari di atas tanah dipermainkan tiupan angin benua. Kawan itu mengatakan, titik pertemuan tiga negara itu ditemukan anggota Tentara Merah Jepang. Mereka berpura-pura hiking untuk mencarikan penyeberangan bagi orang-orang Indonesia yang bertekad meminta perlindungan di Belanda.15
15Keesokan harinya, begitu gelap merayap, kami sudah tinggal selangkah dari garis perbatasan. Sunyi sekeliling. Di depan, membentang hutan pepohonan yang ramah. Lantas batas negara yang terbuat dari baja, yang menghadang langkah kami. Apalah arti pembatas, walau baja, bagi niat yang ingin menyerahkan diri pada sehamparan daratan baru sebagai pilihan hidup. Getir memang, kalau kuingat. Waktu remaja, aku ikut gerilya memerangi Belanda. Kini, aku, dengan menempuh perjalanan jauh, mengendap-endap minta perlindungan di kaki Ratu Juliana.Keesokan harinya, begitu gelap merayap, kami sudah tinggal selangkah dari garis perbatasan. Sunyi sekeliling. Di depan, membentang hutan pepohonan yang ramah. Lantas batas negara yang terbuat dari baja, yang menghadang langkah kami. Tapi, apalah arti pembatas bagi niat yang ingin menyerahkan diri pada sehamparan daratan baru sebagai pilihan hidup yang terakhir. Getir memang, kalau kuingat. Waktu remaja, aku ikut gerilya memerangi Belanda, namun kini, aku, dengan menempuh perjalanan jauh, mengendap-endap minta perlindungan di kaki Ratu Juliana.16
16“Apakah saya harus menelan kertas ini?” tanya Rubiah. Di tapak tangannya yang bergetar tergenggam surat, tentang Ibunya yang harus dibuang.“Apakah saya harus menelan kertas ini?” tanya Rubiah. Di tapak tangannya yang bergetar tergenggam selembar surat, yang dulu datang begitu terlambat, tentang ibunya yang harus dibuang.17
17“Tidak. Itu akan memperkuat alasan kita minta suaka.”“Tidak. Surat itu akan memperkuat alasan kita untuk meminta suaka.”18
18Rubiah mengeluarkan sarung bantal dari tasnya. “Yang ini, Mas….” Aku mendekapnya. Mengecup matanya. Bibirnya. Menatap kecantikannya yang abadi dalam derai daun yang berjatuhan. Memang, kami dengar sejumlah penyeberang, sebelum melangkah masuk, terlebih dulu menyobek dan mengunyah paspor palsu yang capnya dibuat dari singkong di Tiongkok. Dokumen palsu yang sudah lumat itu tidak dibuang ke tong sampah sebab polisi bisa melacaknya. Mereka telan bulat-bulat.Sesaat kemudian, Rubiah mengeluarkan sarung bantal dari tas jinjingnya. “Yang ini, Mas…” Aku mendekapnya. Mengecup matanya. Bibirnya. Menatap kecantikannya yang abadi dalam derai daun kering yang berjatuhan. Memang, kami dengar sejumlah penyeberang, sebelum melangkah masuk, terlebih dulu menyobek dan mengunyah paspor palsu yang capnya dibuat dari singkong di Tiongkok. Dokumen palsu yang sudah lumat itu tidak dibuang ke tong sampah, sebab polisi bisa melacaknya. Jadi, mereka telan bulat-bulat.19
19“Tak usah.”“Tak usah.”20
  Aku memegangi bahunya sebelum melangkahkan jejak kaki pertama ke daratan Sang Ratu. Seorang eksil dari Rotterdam pernah tertangkap basah dekat perbatasan ini. Dia mau menyeberang menjemput suaminya yang hidup dengan menumpang pada seorang kawan di Jerman. Cinta adakalanya bisa membuat manusia melampaui kecerdasan tak terduga. Kepada ronda yang memergokinya, dia mengaku telah bertengkar dengan suaminya, dan dia ditinggalkan begitu saja di hutan itu.21
20Kami tidak sedang mengarungi hutan segelap belantara di Sumatera. Di bawah langit malam, mudah kami mengikuti arah yang dipetakan secara rinci oleh kawan-kawan yang sudah terlebih dulu berada di Belanda. Menjelang matahari terbit, di persimpangan jalan kecil, kami disongsong tiga orang kawan. Seorang mengajak mampir ke sebuah cafe yang baru buka pintu. Sementara dua kawan lain meninggalkan kami, entah ke mana. Tak sempat kami mereguk kopi, kawan yang seorang itu mengajak kami mengikuti dia. Sesampai di sebuah pos polisi, dia meminta kami menunggu. Dia melangkah masuk. Keluar lagi. Mengisyaratkan kami supaya segera ke dalam. “Ditunggu,” katanya singkat. Dan dia menghilang.Kami tidak sedang mengarungi hutan segelap belantara Nantalu di Sumatera Utara. Di bawah langit malam, dengan mudah kami mengikuti arah yang dipetakan secara terperinci oleh kawan-kawan yang sudah terlebih dulu berada di Belanda. Menjelang matahari terbit, di persimpangan jalan kecil, kami disongsong tiga orang kawan. Seorang mengajak kami mampir di sebuah kafe yang baru saja membuka pintu. Sementara dua kawan lain meninggalkan kami, entah ke mana. Tak sempat kami mereguk kopi, kawan yang seorang itu mengajak kami mengikuti dia. Sesampai di sebuah pos polisi, dia meminta kami menunggu. Dia melangkah masuk, kemudian keluar lagi. Mengisyaratkan kami segera ke dalam. “Ditunggu,” katanya singkat. Dia meninggalkan kami berdua.22
21Di dalam, polisi menyelidiki perihal pekerjaanku di Berlin Timur. Di antara sekian banyak pertanyaan, yang paling menyakitkan adalah: mengapa memilih Belanda? Tidak kujawab. Aku dan Rubiah saling memandang, tertunduk menatap daun meja.Di dalam, polisi menyelidiki perihal pekerjaanku di Berlin Timur. Di antara sekian banyak pertanyaan, yang terasa paling menyakitkan adalah: mengapa memilih Belanda? Tidak kujawab. Aku dan Rubiah saling memandang, tertunduk menatap daun meja.23
22Kami ditempatkan di penampungan, mirip hotel sederhana. Beberapa pekan kemudian, kami diasingkan ke sebuah kota kecil, sekitar setahun lamanya. Di situ aku mulai berpenghasilan sebagai tukang potong kaca, hingga pensiun 15 tahun kemudian. Niat untuk pulang sudah tenggelam. Di negeri bekas penjajah ini, aku benar-benar merasa dimanusiakan. Manakala uang pensiunku hanya cukup untuk sewa rumah, aku tinggal melapor ke kota praja. Berpuluh tahun kami dihidupi bantuan sosial. Sesuatu yang tak terbayangkan di tumpah darah kepada siapa kami tak mungkin pulang.Kami ditempatkan di sebuah penampungan, mirip hotel sederhana. Beberapa pekan kemudian, kami diasingkan ke sebuah kota kecil, sekitar setahun lamanya. Di situ aku mulai berpenghasilan sebagai tukang potong kaca di sebuah industri perkakas rumah tangga, hingga pensiun 15 tahun kemudian. Niat untuk pulang ke ibu pertiwi tenggelam ditelan waktu. Dan di negeri bekas penjajah ini, aku benar-benar merasa sebagai manusia. Manakala uang pensiunku hanya cukup untuk sewa rumah, aku tinggal melapor kepada gemeente, kota praja. Berpuluh tahun kami dihidupi bantuan sosial. Sesuatu yang tak terbayangkan di tumpah darah kepada siapa kami tak mungkin pulang.24
23Bagi seorang sarjana Indonesia yang hendak meraih gelar doktor, yang kami nikmati itu bukan mukjizat. Yang ingin benar dia ketahui, siapa penunjuk jalan kami.Bagi seorang sarjana Indonesia yang hendak meraih gelar doktor di sebuah universitas di Los Angeles, rupanya jaminan sosial yang kami nikmati itu bukan mukjizat. Yang ingin benar dia ketahui, siapa penunjuk jalan kami.25
24“Siapa ketiga orang yang menemui Bapak dan Ibu setelah meninggalkan titik perbatasan dekat Aachen?” tanya Hastuti Mulyasari, sarjana ilmu politik asal Surabaya. Pertanyaan serupa sudah berkali-kali dia ajukan. Sekian kali pula kujawab dengan tawa. Kelima kali dia datang lagi. Tak lupa membawa masakan kesenangan kami: bebek panggang dari restoran Thai di tengah kota Amsterdam.“Siapa ketiga orang yang menemui Bapak dan Ibu setelah meninggalkan titik perbatasan dekat Aachen?” tanya Hastuti Mulyasari, sarjana ilmu politik asal Surabaya. Pertanyaan serupa sudah berkali-kali dia ajukan. Dan sekian kali pula kutangkis dengan tawa. Kelima kali dia datang lagi. Tak lupa membawa oleh-oleh masakan kesenangan kami: bebek panggang yang dia beli di restoran Thai di tengah kota Amsterdam.26
25Berbasa-basi dengan pertanyaan yang berulang-ulang tentang pekerjaanku di Berlin Timur, dan di kantorku di Jakarta dulu, dia desak lagi, siapa ketiga kawan yang menjemput kami setelah melintasi perbatasan.Setelah basa-basi dengan pertanyaan yang berulang-ulang tentang pekerjaanku di Berlin Timur, dan di kantorku di Jakarta dulu, dia desak lagi, siapa ketiga kawan yang menjemput kami setelah melintasi perbatasan.27
26Tak kusangka pertanyaan itu membuat Rubiah naik pitam. Matanya tajam. “Ah.., tanya lagi, tanya lagi…. Sudah berkali-kali dijawab, kami punya kewajiban hidup untuk tidak menceritakan siapa mereka kepada siapa pun. Juga tidak kepada kau. Pecundang..!” Rubiah menyergah. “Apa kau ini intelijen tentara yang mau menangkap kami? Katakan terus terang..!” Dia berdiri, matanya tak kenal ampun.Tak kusangka pertanyaan itu membuat Rubiah naik pitam. Dia bukan lagi wanita yang harus kurebut kebaikan hati dan kecantikan parasnya. Dia jantan yang sedang mengaum. Matanya terbelalak tajam menantang. “Ah… tanya lagi, tanya lagi… Sudah berkali-kali dijawab, kami punya kewajiban hidup untuk tidak menceritakan siapa mereka kepada siapa pun. Juga tidak kepada kau. Pecundang..!” Rubiah menyergah. “Apa kau ini intelijen tentara yang mau menangkap kami? Katakan terus terang..!” Dia berdiri dengan tatapan yang tak kenal ampun.28
27Aku bangkit. Merayu dia duduk kembali. Kuajak Hastuti ke dapur, memanaskan bebek panggang yang dia bawa. Kunasihati dengan amat sangat, jangan lagi mengulangi pertanyaan itu kepadaku, apalagi kepada istriku.Aku bangkit memegangi bahunya, merayu dia duduk kembali. Kuajak Hastuti ke dapur, memanaskan bebek panggang yang dia bawa. Kunasihati dengan amat sangat, jangan lagi mengulang pertanyaan itu kepadaku, apalagi kepada istriku.29
28Aku kembali ke ruang tamu. Rubiah tak kutemukan di situ. Masuk ke kamar tidur dan kamar mandi. Di situ pun tiada. Berbalik ke tangga. Melompong. Aku berlari ke jendela. Dari balik kaca kulihat Rubiah terpacak sendirian di tepi kanal. Cepat kukuakkan daun jendela, berteriak sekuat-kuatnya, “Rubi…!” Hanya ditelan angin lalu.Aku kembali ke ruang tamu. Rubiah tak kutemukan di situ. Masuk ke kamar tidur dan kamar mandi. Di situ pun tiada. Berbalik ke tangga. Melompong. Aku berlari ke jendela. Dari balik kaca kulihat Rubiah terpacak sendirian di tepi kanal. Cepat kukuakkan daun jendela, berteriak sekuat-kuatnya, “Rubi…!” Hanya ditelan angin lalu. Dia tak menoleh. Segera aku meluncur menuruni tangga. Berlari menyeberangi jalan. Seorang pejalan kaki mengatakan, dia melihat seorang perempuan mengangkat tangannya tinggi-tinggi, melambai-lambai ke seberang kanal, dan menceburkan diri ke dalam air.30
Tabel perbandingan “Kebaya Merah di Tebing Kanal” versi Kompas dan Jawa Pos

Perbandingan data tekstual kedua cerpen dengan menggunakan fitur hitungan kata di aplikasi Microsoft Word dan tanpa mengikutsertakan judul cerpen adalah sebagai berikut:

No.Versi KompasVersi Jawa PosSelisih
18.666 karakter (tanpa spasi)10.613 karakter (tanpa spasi)1.947 karakter
210.078 karakter (dengan spasi)12.342 karakter (dengan spasi)2.264 karakter
31.422 kata1.749 kata327 kata
428 paragraf30 paragraf2 paragraf
Tabel perbandingan tekstual “Kebaya Merah di Tebing Kanal” versi Kompas dan Jawa Pos

Pembandingan teks kedua cerpen di atas secara bersisian memudahkan melihat perubahan-perubahan kasatmata pada “Kebaya Merah di Tebing Kanal” versi Jawa Pos. Dengan demikian, gambaran preliminer tentang perbedaan keduanya terlihat jelas. Akan tetapi, demi kehati-hatian, perbedaan keduanya akan ditinjau lebih lanjut supaya kesimpulan berbeda tidaknya kedua cerpen, yang akan menuntun pada kesimpulan lebih besar terkait status publikasi “Kebaya Merah di Tebing Kanal” oleh Jawa Pos 8 Juli 2023 merupakan swaplagiarisme atau bukan, diambil tidak berdasarkan asumsi sepintas. Demikian juga kesimpulan tersebut tidak didasarkan pada sekadar besaran selisih data tekstual, melainkan pada seberapa besar efek besaran selisih tersebut terhadap anasir intrinsik yang mengonstruksi cerpen.

2

Ditakar menggunakan pembahasan Stilistika G. W. Turner, revisi yang Martin Aleida lakukan terhadap cerpen “Kebaya Merah di Tebing Kanal” versi Kompas bisa diklasifikasikan menjadi 3 bidang besar. Bidang pertama Fonetik, berupa pengubahan tanda baca. Bidang kedua Sintaksis, berupa penghapusan kata dan penambahan, baik penambahan kata, frasa, klausa, ataupun kalimat. Bidang ketiga Vokabuler, berupa pengubahan kata.

Revisi Fonetik berupa pengubahan tanda baca merupakan revisi paling ringan. Satu contoh adalah pengubahan tanda baca koma [“Itu Ibu..,”] menjadi titik [“Itu ibu…”] pada paragraf 3 versi Jawa Pos yang menambah penekanan pada kesan pengucapan yang mengambang, tidak tuntas. Pengubahan huruf I kapital pada [Ibu] menjadi huruf i kecil [ibu] dalam klausa yang sama tampaknya didasarkan pertimbangan gramatikal.

Pengubahan tanda baca juga bisa terjadi karena efek revisi bidang lain seperti tampak pada perubahan tanda titik menjadi koma pada paragraf 8 versi Jawa Pos: […dengan tali pusat yang belum mengering, ibu dihardik…]. Pada versi Kompas, tanda baca sebelum kata [ibu] merupakan tanda titik dan “Ibu” merupakan awal kalimat baru. Pada versi Jawa Pos, dilakukan perubahan Sintaksis berupa penggabungan dua kalimat menjadi satu sehingga otomatis tanda baca sebelum kata “Ibu” diubah menjadi koma dan huruf awal “Ibu” yang semula kapital diubah menjadi huruf kecil.

Selain pengubahan tanda baca, ada juga penghapusan dan penambahan tanda baca yang pertimbangannya tampak sama juga pertimbangan gramatikal. Sebagai contoh penghapusan tanda baca, tanda koma yang menandai klausa apositif tanggung pada paragraf 10 versi Kompas [dia yang pernah belajar jurnalistik, dapat menyaksikan] dihapus pada paragraf 11 versi Jawa Pos sehingga makna kalimat terkait lebih tepat. Contoh lain adalah penghapusan koma pada kalimat [Barangkali, dia mengira, itu pilihan…] pada paragraf 11 versi Kompas sehingga dalam paragraf 12 versi Jawa Pos kalimat tersebut menjadi [Barangkali dia mengira, itu pilihan…]. Untuk membuat makna kalimat tersebut tersampaikan lebih efektif, sebenarnya tanda koma setelah kata [mengira] pun lebih baik dihapus.

Sementara penambahan tanda baca terjadi misalnya berupa penambahan tanda koma pada kalimat [Dokumen palsu yang sudah lumat itu tidak dibuang ke tong sampah sebab polisi bisa melacaknya] di paragraf 18 versi Kompas sehingga kalimat tersebut pada paragraf 19 versi Jawa Pos terbaca sebagai [Dokumen palsu yang sudah lumat itu tidak dibuang ke tong sampah, sebab polisi bisa melacaknya]. Penambahan tanda koma tersebut memberikan jeda baca lebih tegas tetapi sama sekali tidak memengaruhi makna kalimat.      

Revisi Sintaksis berupa penghapusan kata bisa ditemukan misalnya pada penghapusan kata [harus] pada kalimat [Pekerjaan yang harus kutinggalkan sebagai dampak tercerai-berainya satelit Uni Soviet] di paragraf 6 versi Kompas. Efek penghapusan kata tersebut adalah lebih samarnya tautan antara “meninggalkan pekerjaan” dengan “tercerai-berainya satelit Uni Soviet”. Bisa jadi kesan samar itu mengindikasikan bahwa tautan keduanya bukan merupakan tautan langsung.

Selanjutnya ada juga penghapusan partikel [yang] yang terdapat pada paragraf 7 versi Kompas sehingga membuat dua kata yang ditautkan oleh partikel tersebut menjadi lebih padat, [tetek suci]. Motif senada juga tampaknya berlaku pada penghapusan kata [supaya] yang terdapat pada paragraf 20 versi Kompas. Kalimat [Mengisyaratkan kami supaya segera ke dalam] menjadi lebih padat tanpa kehilangan makna awal ketika kata [supaya] di dalamnya dihapus.

Pada paragraf 15 versi Kompas terdapat frasa apositif [walau baja] penjelas bahan [pembatas] yang dihapus pada versi Jawa Pos. Frasa tersebut juga berfungsi positif menekankan kuatnya niat, tetapi salah satu alasan yang mungkin di balik penghapusan tersebut tampaknya adalah upaya menghindari repetisi berlebihan. Di kalimat sebelumnya terdapat klausa [Lantas batas negara yang terbuat dari baja], di paragraf sebelumnya juga terdapat klausa [Cuma garis lurus, terbuat dari lempeng metal] sehingga pemunculan kembali [pembatas] dan [baja] di kalimat terkait mungkin pengarang anggap repetisi berlebihan. Selain itu, tanpa keberadaan frasa apositif [walau baja] itu pun kesan kuatnya niat bisa tergambar karena kata [pembatas] minus adjektiva justru menunjukkan universalitas, bahwa pembatas apa pun tidak akan menyurutkan niat.      

Pada paragraf 22 versi Kompas terdapat kata [sudah] yang dihapus pada versi Jawa Pos sekaligus kalimat yang memuat kata tersebut mengalami penambahan kata dan frasa. Pada versi Kompas kalimat terbaca [Niat untuk pulang sudah tenggelam]. Kalimat tersebut pada versi Jawa Pos berubah menjadi [Niat untuk pulang ke ibu pertiwi tenggelam ditelan waktu]. Kata [sudah] mengindikasikan lenyapnya niat pulang sebagai hasil proses. Akan tetapi meski kata [sudah] tersebut dihapus, indikasi yang sama tetap terjaga karena adanya penambahan frasa [ditelan waktu]. Adapun penambahan frasa [ibu pertiwi] berfungsi memperjelas tempat yang dituju oleh verba [pulang].

Selanjutnya, revisi Sintaksis berupa penambahan tampak sejak pembuka cerpen. Satu kalimat tambahan bisa ditemukan membuka cerpen versi Jawa Pos yang selain menjelaskan perasaan Aku-Narator juga memberi tambahan keterangan latar tempat. Latar tidak berubah tetapi menjadi lebih spesifik. Fungsi yang sama juga tampak pada penambahan klausa [Menenangkan hati, sebagaimana biasa] yang membuka pecahan baru paragraf pada versi Jawa Pos. Sebaliknya, kata [sendu] yang ditambahkan pada paragraf awal menambahkan penjelas perasaan karakter Rubiah. 

Fungsi sebagian besar revisi Sintaksis berupa penambahan kata, frasa, klausa, ataupun kalimat pada cerpen “Kebaya Merah di Tebing Kanal” tampaknya untuk memperjelas hal-hal yang samar atau ambigu pada versi Kompas. Kalimat tambahan [Matanya nanar, tak bergeser dari tepi kanal.] pada paragraf 4 misalnya memperjelas lakuan Rubiah. Tambahan selanjutnya pada paragraf yang sama merupakan klausa apositif yang memberi informasi bahwa adegan yang digambarkan sudah berulang kali terjadi. Masih pada paragraf yang sama ada tambahan kata [kaca] yang meski tidak terlalu urgen tetapi tampaknya dimaksudkan memperjelas bahwa jendela yang ditekan oleh kening Rubiah adalah jendela kaca dan bukan jendela berbahan lain. Tambahan kata [Lihatlah] pada paragraf yang sama memberi penekanan pada keinginan Rubiah supaya Aku-Narator menyaksikan apa yang dia saksikan.

Tambahan pada paragraf 5 menambah penjelasan bahwa selain tak bergerak, Aku-Narator juga membisu. Tambahan 1 kalimat di akhir paragraf 8 menambah kesan nasib malang yang dialami oleh [adik Rubiah paling bungsu]. Tambahan klitik [-nya] pada paragraf 12 memperjelas bahwa yang dimaksud oleh diksi [Ayah] pada paragraf terkait adalah ayah Rubiah. Tambahan kalimat [Tak mau duduk di kursi yang belum pernah dia tempati] pada paragraf 14 menambah daftar sikap Rubiah [yang tak terpikirkan]. Tambahan 3 nama kota di paragraf yang sama memperjelas lingkaran kawan senasib, sementara tambahan 2 kalimat di akhir paragraf yang sama menambah penjelasan tentang benda yang membuat Rubiah bisa tidur nyaman. 

Selanjutnya, tambahan klausa apositif pada kalimat pertama paragraf 15 menjawab pertanyaan dengan apa dan berapa lama kami menempuh perjalanan dari Aachen ke Les Trois Bornes? yang mungkin muncul dalam benak pembaca.Tambahan klausa [yang ditanam di tanah] menambah deskripsi wujud pembatas negara. Tambahan kata [orang] menjelang akhir paragraf yang sama menjelaskan bahwa orang Indonesia yang ingin meminta perlindungan di Belanda bukan hanya seorang.

Tambahan kata dan klausa pada paragraf 17 memperjelas perihal surat. Tambahan frasa [Sesaat kemudian] di awal paragraf 19 memperjelas urutan waktu sebagaimana juga tampak pada tambahan kata [kemudian] di paragraf 22. Di paragraf 22 juga ada tambahan kata yang menambah spesifik analogi tempat, tambahan yang analog dengan penambahan spesifikasi tempat di awal paragraf 1. Di paragraf yang sama ada penambahan frasa [kami berdua] yang terjadi sebagai efek revisi Vokabuler berupa perubahan kata [menghilang] menjadi [meninggalkan]. [Menghilang] merupakan verba intransitif sementara [meninggalkan] transitif, karena itulah frasa [kami berdua] ditambahkan sebagai objek langsung verba tersebut. Lalu di paragraf 25 ada klausa penjelas tempat kuliah Hastuti Mulyasari dan di paragraf 28 ada tambahan 2 kalimat dan 2 kata yang memperjelas gambaran Rubiah saat naik pitam dari sudut pandang Aku-Narator.

Namun, di samping penambahan yang memang berfungsi memperjelas, ada juga penambahan-penambahan yang tidak menunjukkan urgensi karena dalam versi Kompas pun makna yang disodorkan sudah jelas. Ini berlaku terutama pada penambahan partikel, misalnya penambahan partikel yang pada klausa [dengan tali pusar belum mengering] menjadi [dengan tali pusat yang belum mengering]. Tanpa adanya penambahan partikel [yang] pun makna klausa tersebut sudah jelas. Beberapa contoh lain: penambahan partikel [untuk] di paragraf 6, frasa [di bumi ini] di paragraf 7, partikel [dari] dan frasa [yang datang] di paragraf 8, dan partikel [untuk] di paragraf 18.  

Adapun penambahan partikel-partikel yang memang menambah efektivitas sintaksis misalnya penambahan partikel [yang] di paragraf 11. Penambahan [yang] tersebut efektif akibat adanya perubahan sintaksis lain pada kalimat yang sama berupa penambahan kata [tempati]. Tanpa adanya penambahan kata tersebut maka kalimat terkait efektif tanpa harus ditambahi partikel [yang] sebagaimana tampak pada versi Kompas. Demikian juga penambahan partikel [untuk] pada paragraf 12, partikel [dan] pada paragraf 15, partikel [namun] pada paragraf 16, dan partikel [dengan] pada paragraf 22.

Terakhir, ada 2 tambahan cukup panjang, yaitu satu paragraf tersusun dari 7 kalimat yang menyusun paragraf ke-21 versi Jawa Pos dan 4 kalimat yang ditambahkan menutup cerpen. Tambahan pertama merupakan lanturan yang memperkuat peran cinta dalam kesengsaraan hidup, salah satu tema cerpen ini. Sementara tambahan bagian penutup cerpen bukannya memperkuat justru malah membuat akhir cerpen menjadi aneh: ketika normalnya Aku-Narator sedang tergesa menyusul Rubiah yang sudah jelas sebelah mana titik lokasinya, dia sempat-sempatnya mendengarkan penjelasan dari [seorang pejalan kaki].

Revisi Vokabuler berupa pengubahan kata terjadi misalnya pada frasa [tali pusar] di paragraf 7 versi Kompas yang berubah menjadi [tali pusat] pada paragraf 8 versi Jawa Pos. Perubahan tersebut tidak menunjukkan urgensi apa pun karena kedua frasa memiliki arti sama dan juga sama-sama dimuat sebagai frasa baku dalam KBBI V. Pada paragraf yang sama juga terjadi perubahan kata “dibuang” menjadi “diberangkatkan”. Penggantian ini memperhalus makna kalimat yang memuat kata tersebut dari [Ibu harus dibuang ke Plantungan] menjadi [ibu harus diberangkatkan ke Plantungan].

Selanjutnya, kata [adalah] di paragraf 8 versi Kompas diubah menjadi [sudah menjadi] di paragraf 9 versi Jawa Pos. Perubahan ini mengubah posisi statis subjek [Pulang ke negeri sendiri] sebagai [angan-angan yang sama dengan bunuh diri] menjadi hasil dari sebuah proses: bahwa semula [Pulang ke negeri sendiri] bukan sekadar angan-angan, tetapi lama-kelamaan subjek tersebut berubah menjadi angan-angan. Penekanan adanya proses juga tampaknya merupakan alasan untuk pengubahan [bisa] menjadi [pada akhirnya dapat] dalam paragraf 12 versi Jawa Pos.

Alasan filosofis semacam itu juga tampak pada perubahan kata [dimanusiakan] menjadi [sebagai manusia] pada paragraf 24 versi Jawa Pos. Frasa [merasa dimanusiakan] menempatkan subjek aku sebagai objek pasif, sementara [merasa sebagai manusia] menempatkan subjek aku sebagai subjek aktif. Masih pada tataran yang sama adalah perubahan [kujawab] menjadi [kutangkis] pada paragraf 26 versi Jawa Pos. Klausa [kutangkis dengan tawa]lebih efektif daripada [kujawab dengan tawa] karena sementara [kujawab] hanya mengindikasikan tanggapan pasif subjek, [kutangkis] mengindikasikan tanggapan subjek yang lebih aktif mempertahankan diri.

Di paragraf 8 juga terjadi perubahan kata [jadi] menjadi [seperti] sehingga mengubah relasi dua hal yang dibandingkan, [Ibu Pertiwi] dan [negeri yang dikuasai jin] yang semula metafora menjadi simile. Sebagaimana perubahan kata [dibuang] menjadi [diberangkatkan], pengubahan ini pun memperhalus makna. Efek memperhalus yang sama juga terjadi pada pengubahan kata [melompat] menjadi [menyeberang] dalam paragraf 12 versi Jawa Pos. Motif senada, memperhalus dan menyederhanakan, juga tampak pada perubahan [terjangkau pikiranku] menjadi [terpikirkan] dalam paragraf 14 versi Jawa Pos dan perubahan [menghilang] menjadi [meninggalkan] pada paragraf 22 versi Jawa Pos.

Kemudian di paragraf 11 versi Jawa Pos ada pengubahan pronomina [dia] menjadi [Rubiah], memberi efek mempertegas tetapi tidak terlalu urgen karena makna kalimat terkait juga tidak terganggu seandainya pronomina tersebut dipertahankan. Demikian juga pengubahan [separuh] menjadi [separo] di paragraf yang sama, menunjukkan efek kelisanan yang tidak jelas benar fungsinya dalam kalimat terkait, terutama menimbang bahwa pada paragraf 5 versi Kompas, kelisanan frasa [dapat kabar] justru diubah menjadi lebih formal pada paragraf 6 versi Jawa Pos menjadi [mendapat kabar], pada paragraf 13 versi Kompas kelisanan frasa [dia keluarkan] diubah menjadi lebih formal pada paragraf 14 versi Jawa Pos menjadi [dia mengeluarkan], dan pada paragraf 14 versi Kompas kelisanan frasa [yang jadi] diubah menjadi lebih formal pada paragraf 15 versi Jawa Pos menjadi [yang menjadi].  Satu contoh lain yang juga lebih fatal adalah perubahan [minta] pada paragraf 17 versi Kompas menjadi [meminta] pada paragraf 18 versi Kompas. Perubahan dari cakapan lisan menjadi formal itu fatal karena kata tersebut merupakan bagian dari percakapan dan bentuk yang disajikan oleh versi Kompas sudah sangat pas sebagai ragam lisan.

Sebagaimana dalam revisi Fonetik, tampaknya dalam revisi Vokabuler pun ada pertimbangan gramatikal, misalnya pengubahan partikel [ke] menjadi [di] pada paragraf 22 versi Jawa Pos. Perubahan [cafe] menjadi [kafe] pada paragraf yang sama sekadar pelokalan kata, dari segi penyajian keduanya sama-sama tidak bermasalah. Alasan gramatikal juga tampaknya mendasari perubahan partikel [ke] menjadi [kepada] pada paragraf 24 versi Jawa Pos dan perubahan [matanya] menjadi [tatapan] pada paragraf 28 versi Jawa Pos. Apa yang disifati sebagai [tak kenal ampun] jelas lebih tepat [tatapan] daripada sumber tatapan itu [mata].

Berdasarkan telisik ringkas perbandingan 2 versi cerpen “Kebaya Merah di Tebing Kanal” karangan Martin Aleida, tampak bahwa perubahan-perubahan tekstual yang pengarang lakukan, meski berdampak pada aspek semantik teks, tidak memberi dampak apa pun pada anasir intrinsik yang mengonstruksi cerpen. Anasir intrinsik utama cerpen, baik itu alur, tema, latar, sudut pandang, karakter dan karakterisasi, ataupun simbol, tidak menjadi berbeda.

3

Bulan April 1904, cerpen “The Country of the Blind” karya H. G. Wells dipublikasikan dalam Majalah Bulanan The Strands Magazine. Cerpen mengisahkan karakter Nunez yang saat mendaki gunung imajiner Parascotopeti malah terperosok ke “Negeri Orang Buta”, sebuah lembah terisolasi di gunung tersebut yang dihuni orang-orang buta. Setelah mengetahui situasinya, Nunez mencoba menunjukkan kelebihannya sebagai orang yang bisa melihat dan mencoba melakukan kudeta untuk menjadi raja di sana, tetapi penduduk lembah tersebut tidak mengetahui konsep penglihatan sehingga Nunez sebagai satu-satunya orang yang bisa melihat justru dianggap abnormal. Nunez akhirnya menyerah dan terpaksa mengikuti aturan-aturan dan gaya hidup mereka.

Nunez kemudian saling jatuh cinta dengan putri Yakub majikannya yang bernama Medina-saroté. Akan tetapi Yakub dan juga penduduk lembah menolak ketika Nunez berniat menikahi Medina-saroté karena status Nunez yang berbeda dari mereka dan mereka anggap abnormal karena terobsesi pada penglihatan. Seorang dokter di sana kemudian mengusulkan melakukan operasi pembutaan mata Nunez untuk membuat dia menjadi sama dengan mereka. Di akhir cerita, Nunez yang menolak rencana pembutaan matanya memanjat tebing yang mengelilingi lembah tersebut untuk mencari jalan kembali ke dunia luar. Akhir nasib Nunez tidak dijelaskan secara eksplisit apakah dia bisa kembali ke dunia asal atau tidak, tetapi salah satu dugaan yang bisa diambil dari akhir cerpen yang terbuka ini adalah Nunez pada akhirnya meninggal dalam damai di akhir pelariannya itu karena kelelahan dan kelaparan.

Tahun 1939, versi revisi cerpen “The Country of the Blind” dipublikasikan oleh The Golden Cockerel Press dalam edisi terbatas sebanyak 280 eksemplar, memuat tambahan sekitar 3000 kata (Gardner, 1997: 100). Dalam versi 1939, cerita berlanjut dari akhir versi pertama Nunez melihat bahwa tebing yang mengelilingi lembah tersebut akan runtuh menimpa lembah. Jika itu terjadi maka lembah tersebut akan hancur terkubur. Dia kemudian kembali ke lembah dan mengabarkan hal tersebut kepada penduduk di sana. Akan tetapi penduduk di sana tidak percaya padanya dan malah memukulinya. Pada saat itulah bencana yang Nunez perkirakan benar-benar terjadi. Nunez kemudian membawa Medina-Saroté untuk menyelamatkan diri. Mereka berdua akhirnya bisa kembali ke tempat asal Nunez, Quito, lalu menikah dan memiliki empat orang anak. Di akhir cerita ditunjukkan bahwa meski Medina-saroté menjalani hidup tenang bersama keluarga barunya itu tetapi dia tetap enggan pergi ke okulis karena bagi dia bisa melihat tetap merupakan sesuatu yang mengerikan.

Dalam pengantar publikasi versi 1939, H.G. Wells (1939: 8) menyebutkan bahwa dia memberikan “pelintiran [alur] yang lumayan baru” terhadap versi revisi tersebut. Dengan kata lain, teks yang ditambahkan di bagian akhir tersebut mengubah alur cerpen dan dengan itu mengubah pula tema, karakterisasi, dan simbol pada cerpen. Versi 1904 menyodorkan akhir tragis untuk Nunez, karakter yang menyimbolkan pihak visioner pembawa pencerahan, dan sebaliknya akhir bahagia untuk para penduduk lembah, simbol pihak-pihak yang memiliki pengetahuan sempit dan percaya bahwa pengetahuan mereka merupakan Kebenaran tunggal. Kegagalan Nunez adalah simbol kegagalan seorang visioner mengomunikasikan gagasan-gagasan pencerahan yang menyebabkan dirinya mati sementara orang-orang buta bisa dengan tenteram meneruskan hidup mereka dalam dunia kecil mereka yang terisolasi.       

Sebaliknya, versi 1939 menyodorkan akhir bahagia untuk Nunez dan akhir tragis untuk para penduduk lembah. Akan tetapi bagi Wells, akhir semacam itu justru lebih tragis dari sudut pandang lain, yaitu bahwa Nunez sang visioner tidak mampu melakukan apa-apa untuk menyelamatkan para penduduk lembah dari kehancuran, dia hanya bisa menyaksikan. Medina-saroté, yang dalam versi 1939 mengalami perubahan karakterisasi menjadi satu-satunya karakter tercerahkan karena cinta sehingga selamat dari bencana, ternyata tidak sepenuhnya tercerahkan: meski hidup di dunia orang-orang yang melihat, dia tetap memilih hidup dengan mata buta. Dari sudut pandang ini, versi 1939 lebih tragis karena orang-orang buta musnah dan Nunez sang visioner yang selamat pada dasarnya tidak meraih pencapaian apa pun. Nunez gagal mengomunikasikan gagasan-gagasan pencerahan sekaligus gagal bahkan dalam mengomunikasikan perkara sederhana terkait bencana. Medina-saroté selamat hanya untuk memperbesar kesan kegagalan Nunez.

Jika dibandingkan, kasus revisi dan publikasi ulang cerpen “The Country of the Blind” karya H. G. Wells dengan “Kebaya Merah di Tebing Kanal” karya Martin Aleida adalah sebagai berikut:

  “The Country of the Blind”    “Kebaya Merah di Tebing Kanal”
Revisi mengubah anasir intrinsik cerpen: alur, tema, karakterisasi, simbol.Revisi mengubah kata, sintaksis, dan tanda baca, tetapi tidak sampai mengubah anasir intrinsik cerpen
Publikasi ulang revisi dilakukan di media berbeda, pertama di majalah bulanan, kedua sebagai buku.Publikasi ulang revisi dilakukan di media yang sama, yaitu surat kabar.
Jeda publikasi ulang revisi lumayan lama, yaitu 35 tahun. Publikasi versi pertama tahun 1904 dan versi kedua tahun 1939.Jeda publikasi ulang revisi sangat pendek, yaitu 20 hari. Publikasi versi pertama 18 Juni 2023 dan versi kedua 8 Juli 2023.
Disertai informasi riwayat publikasi dan penyuntingan.Tidak disertai informasi riwayat publikasi dan penyuntingan.
Tabel perbandingan revisi “The Country of the Blind” dengan “Kebaya Merah di Tebing Kanal”

Berdasarkan 4 poin perbandingan, revisi yang H. G. Wells lakukan lebih esensial daripada revisi yang Martin Aleida lakukan. Akan tetapi bahkan dengan revisi semacam itu pun cerpen “The Country of the Blind” versi 1939 tidak pernah disebut sebagai sebuah cerpen baru melainkan diperlakukan sekadar sebagai varian dari versi 1904 yang bisa dikatakan sebagai teks mula atau arketipe.

Dalam pembahasan tentang esensi swaplagiarisme, Soelistyo mengutip Irving Hexham sebagai berikut:

It is self-plagiarism if the argument, examples, evidence, and conclusion remain the same without the development of new ideas or presentation of additional evidence. In other words it is self-plagiarism when two works only differ in their appearance.

(Merupakan swaplagiarisme jika argumen, contoh-contoh, bukti, dan kesimpulan tetap sama tanpa pengembangan gagasan-gagasan baru atau penyajian bukti tambahan. Dengan kata lain, merupakan swaplagiarisme ketika dua karya berbeda dalam penampakan belaka.)

Self Plagiarism: Sebuah Pergumulan Paradigmatik, hal. 26

Soelistyo mengutip pernyataan tersebut dalam pembahasan swaplagiarisme di ranah akademis. Akan tetapi, dengan sedikit penyesuaian, pernyataan tersebut bisa digunakan juga sebagai basis untuk perumusan swaplagiarisme di ranah penulisan kreatif. Argumen, contoh, bukti, dan kesimpulan merupakan anasir utama konstruksi teks akademis yang sepadan dengan anasir intrinsik pada cerpen: alur, tema, latar, sudut pandang, karakter dan karakterisasi, dan simbol. Dengan demikian, bisa disodorkan rumusan sederhana bahwa

hasil revisi sebuah cerpen bisa dianggap sebagai sebuah cerpen baru hanya ketika anasir intrinsik cerpen berubah dan perbedaan masing-masing anasir intrinsik kedua cerpen tersebut jauh lebih besar daripada persamaannya.

Dengan menggunakan rumusan tersebut sebagai tolok ukur, maka bisa dipahami mengapa hasil revisi H. G. Wells berupa “The Country of the Blind” versi 1939 tidak dikategorikan sebagai cerpen baru. Meski revisi tersebut mengubah sebagian anasir intrinsik cerpen, sisi kesamaan teks versi 1904 dan 1939 tetap lebih banyak daripada sisi perbedaannya.

Jika revisi mendalam seperti pada kasus “The Country of the Blind” saja hanya menghasilkan varian dan bukan cerpen baru, maka lebih lagi revisi yang Martin Aleida lakukan terhadap “Kebaya Merah di Tebing Kanal”. Revisi yang dilakukan sekadar penyuntingan tekstual, lebih ringan baik dari segi selisih besaran kata ataupun dari sisi efek revisi tersebut terhadap anasir intrinsik cerpen jika dibandingkan dengan revisi yang H. G. Wells lakukan. Revisi semacam itu mirip proses penyuntingan teks yang lazim dilakukan jika sebuah cerpen akan dibukukan dalam antologi atau satu buku antologi cerpen akan dicetak ulang oleh penerbit yang berbeda. Revisi ringan semacam itu misalnya tampak pada publikasi ulang Orang-orang Bloomington Budi Darma oleh penerbit Metafor (2004) yang sebelumnya diterbitkan oleh penerbit Sinar Harapan (1980).

Berikut beberapa contoh perubahan pada cerpen pertama dalam antologi Orang-Orang Bloomington, “Laki-Laki Tua Tanpa Nama”:

“Laki-Laki Tua Tanpa Nama” dalam edisi Sinar Harapan (1980) “Laki-Laki Tua Tanpa Nama” dalam edisi Metafor (2004)
Ny. Nolan menitahkan suaminya untuk minggatNy. Nolan menitahkan suaminya agar minggat
diancam akan digempur lagi kalau menunjukkan niat untuk kembali.diancam akan digempur lagi kalau menunjukkan niat kembali.
Dia tidak begitu perduliDia tidak begitu peduli
Rupanya dengan jalan saling membiarkan inilah mereka dapat menjaga hubungan baik. Meskipun tidak mempunyai keistimewaan seperti Ny. Nolan, Ny. Casper tidak dapat saya lewatkan begitu saja.Rupanya dengan jalan saling membiarkan inilah mereka dapat menjaga hubungan baik.
Meskipun tidak mempunyai keistimewaan seperti Ny. Nolan, Ny. Casper tidak dapat saya lewatkan begitu saja.
Dari polisi saya mendapat penjelasan, bahwa pestol di tangan laki-laki tua ituDari polisi saya mendapat penjelasan bahwa pistol di tangan laki-laki tua itu
Tabel perbandingan cerpen “Laki-Laki Tua Tanpa Nama” dalam dua edisi

Contoh-contoh perubahan pada dua versi cerpen di atas satu tataran dengan perubahan-perubahan pada dua versi cerpen “Kebaya Merah di Tebing Kanal”. Perubahan pada cerpen “Laki-Laki Tua Tanpa Nama” tidak sampai berupa penambahan kalimat atau paragraf seperti pada “Kebaya Merah di Tebing Kanal” tampaknya disebabkan terbatasnya kebebasan pihak penyunting: “Kebaya Merah di Tebing Kanal” disunting oleh pengarangnya sendiri sementara “Laki-Laki Tua Tanpa Nama” disunting oleh penyunting dari pihak penerbit. Meski demikian, perubahan-perubahan dalam kedua cerpen memiliki efek yang sama, yaitu sekadar memperjelas poin-poin tertentu dalam cerita tanpa mengubah anasir intrinsik cerpen.3Contoh lain varian karya sastra misalnya puisi Goenawan Mohamad berjudul “Untuk Frida Kahlo” dan “Berlin, 1993” yang memiliki perbedaan versi antara yang dipublikasikan di Jurnal Kalam edisi 2 (1994) dengan versi yang dipublikasikan dalam antologi Misalkan Kita di Sarajevo (1998). Perbedaan kedua versi tersebut dibahas oleh Arif Bagus Prasetyo dalam esai “Sekadar Singgah Minum: Tentang ‘Misalkan Kita di Sarajevo’”, pertama dipublikasikan di Jurnal Kalam edisi 13 (1999) kemudian dipublikasikan ulang dalam antologi Epifenomenon: Telaah Sastra Terpilih (2005). Dalam esai tersebut (2005: 15), Arif Bagus Prasetyo menulis bahwa “aksi revisi terhadap puisi yang sudah publik” yang Goenawan Mohamad lakukan “cenderung lebih melibatkan gerak pikiran, konsep-konsep, ketimbang suasana hati”. Bandingkan dengan perubahan nilai terhadap karakter visioner Nunez dalam “The Country of the Blind” dan pertanyaan yang H.G. Wells singgung sebagai basis kegelisahan penulis untuk melakukan adaptasi ulang cerita: “sudahkah cerita ini dikisahkan dengan cara terbaik?” (Wells, 1939: 7-8).

Dus, sebagaimana orang lazimnya menganggap “Laki-Laki Tua Tanpa Nama” dalam Orang-orang Bloomington edisi Metafor sebagai sebuah varian dari “Laki-Laki Tua Tanpa Nama” dalam Orang-orang Bloomington edisi Sinar Harapan, maka demikian juga “Kebaya Merah di Tebing Kanal” edisi Jawa Pos pun mestinya diperlakukan bukan sebagai cerpen baru, melainkan sebagai hanya varian “Kebaya Merah di Tebing Kanal” versi Kompas. Kelak, jika diterbitkan satu edisi kritis Orang-Orang Bloomington, dua varian ini akan menjadi bahan kritik teks dan hasilnya akan merupakan edisi variorum, yakni edisi yang memuat teks dalam berbagai variannya. Edisi variorum penting untuk misalnya menelisik evolusi teks yang melaluinya bisa dilacak misalnya perkembangan pemikiran pengarang.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan terkait tindakan merevisi dan memublikasikan ulang karya adalah aspek media publikasi dan hak cipta. Swaplagiarisme cenderung terjadi pada publikasi di media berkala, baik itu surat kabar, majalah, ataupun jurnal. Hal tersebut terjadi karena jadwal penerbitan media yang lebih teratur dan sering daripada penerbit sekaligus lebih samar terkait persoalan hak cipta lebih memberi peluang terjadinya swaplagiarisme. Oleh sebab itu, di bidang penulisan ilmiah, peringatan tentang swaplagiarisme biasa dicantumkan di jurnal-jurnal secara eksplisit. Sementara peringatan tentang hal sama di koran lebih bersifat aturan tak tertulis yang selama ini ditunjukkan oleh sikap lazim para redaktur sastra koran menolak lantas mendaftarhitamkan nama-nama cerpenis yang terbukti melakukan swaplagiarisme dan reaksi publik, para penulis, ataupun komentator sastra yang menjatuhkan sanksi sosial terhadap swaplagiator.

Cerpen H.G. Wells pertama kali dipublikasikan di majalah bulanan dan kedua kalinya dipublikasikan dalam bentuk buku. Revisi dan publikasi ulang “The Country of the Blind” dilakukan setelah hak cipta kembali kepada pengarang, satu hal yang secara kasatmata tampak dari jeda 35 tahun antara publikasi versi pertama dengan kedua. Berbeda dengan itu, kedua versi cerpen “Kebaya Merah di Tebing Kanal” sama-sama dipublikasikan di surat kabar, tetapi surat kabar berbeda, Kompas dan Jawa Pos, dalam rentang waktu 20 hari, yaitu tanggal 18 Juni 2023 dan tanggal 8 Juli 2023.

Secara hukum, ketika seorang cerpenis mengirimkan cerpennya ke sebuah media kemudian dimuat, maka sudah terjadi kontrak pemberian lisensi terkait cerpen tersebut dari cerpenis sebagai pemilik hak cipta kepada media terkait. Lisensi tersebut berkaitan dengan pelaksanaan hak ekonomi atas cerpen terkait yang diwujudkan dengan diberikannya royalti pemuatan kepada cerpenis. Saat jangka waktu pemberian lisensi tersebut habis, barulah cerpenis berhak memberikan lisensi kepada pihak lain, semisal melalui publikasi ulang di media lain dan kemudian mendapatkan honor baru dari media lain tersebut. Dalam kasus “Kebaya Merah di Tebing Kanal”, ketika sudah terjadi publikasi cerpen oleh Kompas, maka Kompas menjadi pihak penerima lisensi cerpen tersebut dari Martin Aleida dalam jangka waktu tertentu. Konsekuensinya, Kompas harus memberikan royalti kepada Martin Aleida sebagai wujud pelaksanaan hak ekonomi cerpen tersebut, sementara Martin Aleida harus menghormati relasinya dengan Kompas dengan tidak mengizinkan media lain melakukan publikasi cerpen yang sama.

Salah satu poin paling dasar yang juga menjadi penentu sebuah karya merupakan hasil plagiarisme/swaplagiarisme atau bukan adalah pengumuman sumber. Plagiator/swaplagiator cenderung menyembunyikan sumber karya yang dia salin karena dengan cara itu dia sekaligus bisa mengklaim orisinalitas karya. Oleh sebab itu, publikasi ulang sebuah karya idealnya menyertakan informasi riwayat penerbitan, satu hal yang dalam kasus swaplagiarisme mengandaikan sudah adanya izin dari pihak pemegang lisensi pertama untuk memublikasikan ulang. Pada kasus H.G. Wells, mungkin karena dia melakukan pengubahan pada tataran anasir intrinsik cerpen, satu kasus unik dan jarang terjadi di ranah sastra, maka dia bahkan menyertakan pengantar yang menjelaskan sudut pandang dia terkait motif dan makna perubahan yang dia lakukan terhadap cerpen tersebut. Selain itu, pada publikasi tersebut juga disertakan cerpen “The Country of the Blind” versi 1904 sebagai lampiran.

Sebaliknya, publikasi “Kebaya Merah di Tebing Kanal” karya Martin Aleida di Jawa Pos tidak disertai informasi semacam itu. Jika disodorkan apologi bahwa informasi ekstrinsik semacam itu tidak diperlukan karena publikasi versi pertama di Kompas 20 hari sebelumnya mungkin masih hangat dalam memori publik sehingga tanpa adanya informasi semacam itu pun publikasinya di Jawa Pos bebas dari kategori swaplagiarisme, apologi semacam itu tertolak oleh 3 poin lain penentu sebuah karya merupakan produk swaplagiarisme yang sudah disebutkan terdahulu: (1) “Kebaya Merah di Tebing Kanal” versi Kompas dan Jawa Pos merupakan cerpen yang sama, penyuntingan tekstual yang dilakukan hanya menghasilkan varian, bukan menghasilkan cerpen baru, (2) Sama-sama dipublikasikan di media berkala, (3) Selisih waktu publikasi sangat pendek, yaitu 20 hari. Dengan kata lain, 4 poin tersebut bukan merupakan opsi yang untuk menghapus label swaplagiarisme maka boleh dihindari salah satu saja, melainkan semuanya harus dihindari.    

Dalam dunia cerpen Indonesia, pada waktu-waktu yang telah lewat ada beberapa kasus publikasi ganda sebuah cerpen di media yang sudah diekspos dan sanksi sosial terhadap pelakunya pun secara otomatis berlaku sebagaimana juga sanksi formal berupa pendaftarhitaman nama pelaku oleh media-media terkait. Kasus-kasus semacam itu tidak akan terulang jika redaktur mengikuti dengan cermat riwayat publikasi cerpen di berbagai media dan cerpenis memiliki niat baik menolak plagiarisme dan swaplagiarisme. Terkait hal ini, Soelistyo bahkan menyarankan pentingnya “tukar menukar informasi (exchange of information) di antara para redaktur media cetak dan jurnal” (Soelistyo, 2021: 52).

Tulisan ini merupakan telaah sederhana dan ringkas yang dilakukan secermat mungkin untuk meninjau publikasi “Kebaya Merah di Tebing Kanal” pada Kompas dan Jawa Pos. Berdasarkan telaah, bisa disimpulkan bahwa “Kebaya Merah di Tebing Kanal” yang Jawa Pos publikasikan pada 8 Juli 2023 hanya varian “Kebaya Merah di Tebing Kanal” versi Kompas 18 Juni 2023. Varian tidak memiliki orisinalitas mandiri terpisah dari arketipe, maka kedua cerpen merupakan cerpen yang sama. Bertolak dari itu, kasus tersebut merupakan kasus terbaru publikasi ganda sebuah cerpen di media dan karenanya termasuk kategori swaplagiarisme cerpen.

Sejauh ini belum ada apologi apa pun baik dari redaktur Jawa Pos, pihak yang menjadi saringan terakhir penentu bisa terjadinya publikasi ganda ini, ataupun dari pengarangnya, Martin Aleida, pihak awal yang memungkinkan cerpen tersebut tiba di meja redaktur Jawa Pos. Akan tetapi apa pun apologi yang mungkin dikemukakan, tanpa menihilkan poin-poin pembuktian yang sudah dilakukan dalam telaah ini maka apologi tersebut tidak akan menggugurkan status swaplagiarisme dan hanya memperjelas informasi proses terjadinya swaplagiarisme.  

Namun tak menutup kemungkinan juga tidak akan ada apologi apa pun. Jika melakukan refleksi ke belakang, penulis pernah membahas swaplagiarisme cerpen Risda Nur Widia “Surat Cinta Puluhan Tahun Cahaya” yang dipublikasikan di Republika edisi 21 Maret 2021 dan sebelumnya dipublikasikan dengan judul “Lima Puluh Tahun: Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta” di Tribun Jabar edisi 12 Februari 2017 dalam tulisan “Swaplagiarisme Cerpen Risda Nur Widia dan Seks Swalayan”. Penulis juga pernah membahas cerpen Edy Firmansyah “Vanisse Meertrudia dari Zoutlanden” yang dipublikasikan di detikHot pada 28 Maret 2020 kemudian dibukukan dalam antologi Yasima Ingin Jadi Juru Masak Nippon (Yogyakarta: Cantrik, 2021) yang memplagiat cerpen Iksaka Banu “Selamat Tinggal Hindia” yang dipublikasikan di Koran Tempo edisi 28 Oktober 2021 kemudian dibukukan dalam antologi Semua untuk Hindia (Jakarta: KPG, 2014) dalam tulisan “Salin Tempel Cerpen Edy Firmansyah dari Cerpen Iksaka Banu dan Teks Lain”. Akan tetapi tidak ada tanggapan apa pun dari redaktur-redaktur media terkait sebagaimana juga tidak ada tindakan yang dilakukan untuk menunjukkan bahwa mereka tidak menoleransi swaplagiarisme seperti lazim ditunjukkan oleh redaktur-redaktur media yang kredibel.

Publikasi ganda, mengutip Soelistyo (2021: 47), “mempermalukan pihak media massa berikut dewan redaksinya”. Soelistyo memang menyatakan itu dalam konteks publikasi ganda artikel di koran, tetapi pernyataan tersebut tentu berlaku juga untuk publikasi ganda cerpen. Kini, merupakan pilihan redaktur Jawa Pos apakah akan bersikap diam pura-pura tidak tahu publikasi ganda cerpen “Kebaya Merah di Tebing Kanal” dan menunggu publik melupakan peristiwa cacat tersebut seiring berlalunya waktu ataukah akan bersikap keras terhadap swaplagiarisme yang telanjur terjadi atas campur tangannya. Sikap mana pun yang dia ambil tentu berpengaruh terhadap level integritas dan kredibilitasnya sebagai seorang redaktur. 

Pengetahuan tentang batasan umum plagiarisme dan swaplagiarisme merupakan pengetahuan umum bagi penulis apa pun, termasuk cerpenis. Seorang cerpenis pemula pun pasti tahu batasan umum apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan olehnya terkait publikasi cerpen. Jika ada kasus plagiarisme dan swaplagiarisme didiamkan karena satu dan lain alasan, apalagi jika kasus yang didiamkan tersebut dilakukan oleh cerpenis senior yang jelas sedikit banyak merupakan teladan bagi cerpenis-cerpenis pemula, maka pengetahuan umum tersebut akan berubah dan batasan tentang plagiarisme dan swaplagiarisme akan bergeser. Dampak lanjutan dari pergeseran tersebut mungkin sangat buruk dan sangat susah dihentikan: seorang cerpenis yang cerpennya sudah dimuat di media a, akan menyunting ulang cerpennya lantas mengirim ulang cerpen tersebut ke media lain. Jika media lain itu memublikasikannya, dia akan menyunting ulang cerpen versi awal ataupun versi kedua dan mengirimnya lagi ke media lain.

Melakukan tindakan semacam itu jauh lebih gampang daripada menulis cerpen baru dan pembiaran kasus plagiarisme dan swaplagiarisme memungkinkan pola gampang semacam itu diadopsi oleh para cerpenis lain yang tertarik mengikuti seniornya menjadi cerpenis gampangan. Jika tradisi penciptaan varian cerpen, tradisi sunting dan kirim ulang cerpen yang pernah dimuat semacam itu sudah menular pada cerpenis-cerpenis lain, dalam satu dekade berikutnya dunia cerpen Indonesia akan menjadi dunia cerpen paling aneh yang belum pernah ada dalam dunia sastra mana pun di muka bumi: sebuah dunia sesak oleh cerpen-cerpen yang sangat mirip satu sama lain tetapi dianggap orisinal.

Selain itu, ketika para komentator meributkan swaplagiarisme yang satu tetapi mendiamkan swaplagiarisme yang lain maka pihak-pihak pelaku swaplagiarisme terdahulu yang berkat komentar-komentar para komentator lantas mengalami pahitnya sanksi sosial publik dan sanksi formal media akan terdorong merasa sudah diperlakukan tidak adil. Perasaan semacam itu berpotensi mengurangi integritas dan kredibilitas para komentator yang bisa dianggap bersikap tebang pilih, satu sikap medioker yang menandai kualitas karbitan.

Pada kasus-kasus yang sudah lewat, swaplagiarisme dalam bentuk publikasi ganda sebuah cerpen memiliki pola bermacam-macam, baik berupa “tebar jala”, yakni mengirim satu cerpen ke berbagai media pada satu waktu ataupun mengirim satu cerpen ke media lain setelah media yang pernah dikirimi cerpen tersebut tidak memberikan kepastian nasib cerpen terkait dalam waktu yang lama. Berkaca dari kasus-kasus semacam itu, swaplagiarisme harus dan bisa dihindari atas kesadaran semua pihak terkait: penulis mengirimkan surel penarikan naskah sebelum dia mengirimkan ulang naskah yang sama ke media lain, media menetapkan masa tunggu yang tidak panjang sehingga penulis bisa secepatnya mendapatkan kepastian nasib naskah dia.

Namun, apa yang lebih penting adalah kesadaran kolektif para penulis bahwa cerpen merupakan satu jenis tulisan kreatif yang dalam konteks Indonesia kini memiliki sejarah panjang satu setengah abad. Swaplagiarisme dengan alasan apa pun dari mulai tuntutan finansial sampai keinginan terlihat produktif, baik dilakukan oleh cerpenis pemula ataupun senior, merupakan penodaan terhadap sejarah panjang tersebut. Salam.

Referensi

Aleida, Martin. 2023. Kebaya Merah di Tebing Kanal. Kompas. Hal. 10. (18 Juni)

__. 2023. Kebaya Merah di Tebing Kanal. Jawa Pos. Hal. 5. (8 Juli)

__. 2023. Kebaya Merah di Tebing Kanal. Kalteng Pos. Hal. 6. (16 Juli)

Darma, Budi. 1980. Orang-Orang Bloomington. Jakarta: Sinar Harapan.

__. 2004. Orang-Orang Bloomington. Jakarta: Metafor Publishing.

Gardner, Martin. 1997. “Afterword” dalam The Country of the Blind and Other Science-Fiction Stories (New York: Dover Publications, Inc., 2011), hal. 99-103.

Prasetyo, Arif Bagus. 2005. Epifenomenon: Telaah Sastra Terpilih. Jakarta: Grasindo.

Soelistyo, Henry. 2021. Self Plagiarism: Sebuah Pergumulan Paradigmatik. Yogyakarta: Kanisius.

Turner, G.W. 1975. Stylistics. Middlesex: Penguin Books Ltd.

Wells, H.G. 1939. The Country of the Blind 1939. London: The Golden Cockerel Press.

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer

Sliding Sidebar

Tentang Penulis

Tentang Penulis

Cep Subhan KM. Lahir di Ciamis tanggal 6 Juni. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi bersama Ludah Surga (2006) dan Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (2007), sementara beberapa puisinya diikutkan dalam antologi penyair muda Ciamis Kota Menjadi Kata (2017). Sudah menerbitkan novel Serat Marionet (2011) dan dwilogi Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021), dan satu buku puisi, Hari Tanpa Nama (2018). Satu novelnya yang lain, Kosokbali (2021), bisa dibaca di portal Kwikku. Esai-esainya tersebar dalam Jurnal Sajak, Jurnaba.co, dan beberapa media daring lain. Esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 dan Juara 2 Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023.